Tadabbur Hari ini (44)
CAKRAWALA ‘ALAMINAL FATIHAH

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)

Semakin hari semakin kita temukan indikasi dan bukti bahwa kita manusia bukan saja tidak mampu menjalankan amanah “inni ja’ilun fil ardli khalifah*, bahkan gagal “menjadi diri kita sendiri” sebagaimana yang Allah titahkan.

Di seluruh dunia manusia ditumbuhkan, dikembangkan, dan dididik tidak untuk menjadi manusia (tidak ada sistem dan kurikulum untuk itu), apalagi dengan konsep khilafah. Manusia disekolahkan, dikampuskan untuk menjadi ekspert atas suatu hal yang eksklusif spesialistik dan fakultatif. Itu pun sebagian besar di bidang materislistik dan teknologis. Sebagian menjadi ahli atau pakar, sisanya menjadi tukang, karyawan atau pesuruh. Kalau ada Pendidikan rohani yang mengolah hubungan dengan Sang Pencipta, itu pun dipenuhi oleh dogma dan pengetahuan normatif formalistik.

Apakah itu kegagalan Allah dengan manusia yang gagal produk? Allah khaliqunnas, Allah ja’ilul-khalifah. Allah menciptakan manusia, seratus persen kualitasnya “ahsanu taqwim”. Sedangkan untuk “khalifah” Allah “ja’il” bekerja sama dengan manusia yang sudah dianugerahi peralatan-peralatan fisik dan kejiwaan.

Allah kasih padi, manusia mengolahnya menjadi beras hingga nasi. Allah menganugerahkan tanah, manusia mengelolanya menjadi bangunan dan pesawahan. Allah memberikan pepohonan, manusia mendayagunakannya untuk meja kursi almari dan regenerasi bebuahan.

Lihat juga

Tetapi Allah bikin “insan” dan kumpulan-kumpulan “nas”, manusianya gagal berfungsi “khalifah”. Bahkan tatkala manusia membangun dirinya menjadi pedagang, pengusaha, politisi, cendekiawan, pun Ulama dan Kiai, semua itu malah banyak mengancam manusia kehilangan manusianya.

Mungkin mayoritas manusia di muka bumi tidak mengenal Al-Fatihah, yang “sakaguru”nya atau tiang utamanya adalah “Maliki yaumiddin”, sehingga manusia memposisikan diri untuk “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Bahkan ummat manusia yang merupakan penduduk planet Bumi, kebanyakan menyembah figur yang bukan Allah. “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasya’in”-nya tidak ditujukan kepada Tuhan semesta alam, bukan kepada Allah ‘azza wajalla.

Apa yang sebenarnya bisa diandalkan dari dan pada mayoritas manusia? “Laisa kamitslihi syai`un”, “walam yakun lahu kufuwan ahad”, “tan kinaya ngapa” dan “tan kena kinira” saja sampai kurun semilenial sekarang ini pun tidak lulus. Kita optimis untuk hampir meyakini bahwa itu karena peradaban pemikirannya tidak menjangkau, atau memang tidak mempedulikan “Maliki yaumiddin”.

Manusia seprono-seprene tak sembuh-sembuh dari penyakit merasa pandai dan hebat. Bahkan merasa paling pintar dan paling sukses di antara semua makhluk-makhluk Tuhan. Sedemikian rupa congkaknya sehingga merasa sah dan berhak untuk secara resmi melakukan eksploitasi atas alam dan mengeruk sebanyak mungkin kekayaan bumi.

Kita beruntung mengenal Al-Fatihah yang Al-Qur`an berasal dari rahimnya. Qur`an, yang keluar menjadi bayi-bayi nilai, ilmu, dan hikmah asal dibidani oleh daya akal, kreativitas dan nurani yang kita aktivasi.

Bahkan limpahan hidayah Allah tidak terbatas dan berhenti pada Al-Fatihah dengan Qur`an anaknya. Dari bumi kita menatap cakrawala. Di seantero semesta-semesta, terhampar cakrawala-cakrawala tak terukur.

قُل لَّوۡ كَانَ ٱلۡبَحۡرُ مِدَادٗا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّي
لَنَفِدَ ٱلۡبَحۡرُ قَبۡلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّي
وَلَوۡ جِئۡنَا بِمِثۡلِهِۦ مَدَدٗا

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk menuangkan kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Al-Kahfi: 109)

Sangat terang benderang oleh ayat ini bahwa kalau kita mencucup asupan dari Rahim Ibu “Al-Fatihah” dan “menyelami samudera Al-Qur`an”, maka itu berarti kita sedang memasuki ruang makna yang tak terhingga. “Walau ji`na bimitslihi madada”.

شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ
هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ

Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda.” (Al-Baqarah: 185).

Lebih terang benderang lagi cakrawala hidayah Qur`an beserta rentangan tak terhingga “wa bayyinatin minal huda”. Asalkan penghayatan kita di-Ramadlan-kan. Kehidupan kita dipuasakan dan dipuasai.

سَنُرِيهِمۡ ءَايَٰتِنَا فِي ٱلۡأٓفَاقِ وَفِيٓ أَنفُسِهِمۡ
حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّۗ أَوَ لَمۡ يَكۡفِ بِرَبِّكَ
أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ شَهِيدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segala ufuk semesta serta pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Fusshilat: 53).

Apalagi alam dan segala isinya adalah ayat-ayat Allah. Apalagi diri kita ini sendiri dengan semua muatan dan mekanisme serta algoritma fisik maupun kejiwaannya adalah ayat-ayat Allah.

Emha Ainun Nadjib
12 Juni 2023.

Lihat juga

Back to top button