Tadabbur Hari ini (37)
WAHYU AL-FATIHAH UNTUK KITA SEMUA

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)

Sudah valid. Sudah tak ada keraguan lagi. Al-Fatihah sudah sah, sudah melewati ujian dan memenuhi semua persyaratan metodologis akademis historis bahwa semua ummat manusia dianugerahi oleh Allah Swt. mutiara untaian ratna mutu manikam rohaniah yang tiada tandingannya, yang bernama Al-Fatihah.

Tentu saja wahyu Ibu Qur`an itu dititipkan atau melalui kekasih kita bersama Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Seakan-akan Allah men-tanazzul-kannya kepada dan untuk kita semua. Dan memang maksud Allah wahyu Al-Fatihah itu diperuntukkan bagi kita semua ummat manusia, bahkan juga ummat Jin. Kita sendiri merasa seolah-olah masing-masing kita dirahmati Allah dengan diwahyui Al-Fatihah. Kita secara sangat personal dan penuh intimitas serta kemesraan jiwa kita semua dan sendiri-sendiri menerimanya sebagai ungkapan cinta dan rahmat dari Allah Swt.

Meskipun, sekali lagi, secara syar’i keilmuan dunia ia diwahyukan kepada atau melalui Rasulullah Muhammad Saw. panutan kita semua sepenuh hati, lengkap dengan asbabun-nuzul-nya serta runutan sejarah sanad periwayatannya — tetapi kita mensyukuri dan mengkhusyuinya seolah-olah kita secara sangat personal mendapat anugerah dan rahmat itu dari Allah Swt.

Sebab firman-Nya itu “hudan linnasi wa bayyinatin minal huda”. Mutiara Al-Fatihah ini untuk kita semua manusia. Dan kita merasakan nikmat dan takjub betapa kita sudah menjadi muatan Al-Fatihah sekaligus Al-Fatihah merasuki seluruh jiwa, ruh, dan entitas hidup kita.

Lihat juga

سَنُرِيهِمۡ ءَايَٰتِنَا فِى ٱلۡأٓفَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمۡ
حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّۗ أَوَلَمۡ يَكۡفِ بِرَبِّكَ
أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ شَهِيدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru semesta dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah bagi kamu bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Fushshilat: 53)

Al-Fatihah menjadi kornea mata kita. Al-Fatihah menjadi jantung dan aliran darah kita. Al-Fatihah menjadi mata pandangan kita. Kita melihat, menilai, memahami dan menggambar kehidupan ini dengan Al-Fatihah. Al-Fatihah menjadi metodologi berpikir kita. Al-Fatihah menjadi kelembutan hati kita dalam merasakan segala sesuatu.

Bahkan kita merasakan usapan angin dengan rasa Al-Fatihah. Kita menatap gunung dan samudera dengan Al-Fatihah. Kita melihat daun-daun, pepohonnan, hamparan hutan dan kebun-kebun dengan Al-Fatihah. Kita bersilaturahmi dengan bumi, matahari, rembulan, semua bagian tata surya dan galaksi-galaksi “al’alamin” dengan Al-Fatihah.

Kita berinteraksi dengan sesama manusia dan semua makhluk lain ciptaan Allah dengan Al-Fatihah. Bahkan kita menghadap kepada Allah, sowan, membungkukkan badan serta bersujud kemudian kembali ber-takbiratul ikram dengan Al-Fatihah.

Kita membaca satu persatu ayat-ayat Al-Qur`an yang semuanya dikandung oleh Al-Fatihah, pun dengan jiwa raga Al-Fatihah. Kita bersentuhan, berinteraksi dan memahami tanda-tanda kekuasaan dan kasih sayang Allah di seluruh bangunan kebudayaan dan peradaban, sosial dan politik, sosiologi dan antropologi, fisika sunnatullah hingga artificial intelligence, dengan Al-Fatihah. Karena Al-Qur’an yang Ibunya adalah Al-Fatihah, menuntun kita agar seluruh bangunan zaman yang kita ikhtiari bersama seluruh ummat manusia, agar kita tidak teperosok ke dalam jurang “almaghdlubi ‘alaihim” atau bahkan terjebak “waladhdhollin”.

Karena tanazzul Al-Fatihah beserta Al-Qur’an seluruhnya dimandatkan oleh Allah “wa bayyinatin minal huda” kepada kita yang sejak awal di”ahsani taqwim”kan sehingga dilantik menjadi Khalifah di Bumi. Maka semua pembelajaran di lingkungan keluarga-keluarga, di Taman Kanak-kanak, Sekolah dan segala Universitas, dimerdekakan oleh “wa bayyinatin minal huda” dan Allah menunggu kita semua berjalan dan menjalani kehidupan menuju “an’amta ‘alaihim” dan jangan sampai “ghairil maghdlubi ‘alaihim waladhdhoolliin”.

Kita memproses penghayatan semacam itu dalam “Sinau Bareng” di puluhan tahun perjalanan Maiyah. Bahwa itu membuat kita terasing, karena mainstream peradaban termasuk dunia pendidikan tidak mempedulikan keutamaan Al-Fatihah sebagai ilmu, sebagai metodologi, sebagai sanad utama nasib kita di hadapan Allah, dengan segala output atau risiko-risiko keadaban yang kini kita alami bersama-sama semua penduduk Bumi, kenyataan itu tidak membuat Maiyah dan kita semua menyerah, berhenti atau berganti Haluan. Kita “wallahilladzi anfusana biyadiHi” tidak akan pernah menyerah untuk bersangka baik terhadap “an’amta ‘alal Maiyah” dengan Ibu Al-Fatihah.

Emha Ainun Nadjib
5 Juni 2023.

Lihat juga

Back to top button