Tadabbur Hari ini (22)
”AKIK” AL-FATIHAH

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)

Sekedar orang punya keris dan menyimpannya di rumahnya bisa dituduh “musyrik” oleh tetangga atau teman-temannya. Sampai-sampai keris itu menjadi “lebih klenik” pada pandangan tetangga dan teman-temannya itu.

Kita bisa menyimpan keris, tombak atau pusaka apapun karena dititipi oleh almarhum Bapak kita sebagai warisan turun-temurun dari leluhur kita. Sementara kita tidak menjimatkan keris itu. Tidak mengklenikkannya. Hanya melaksanakan amanah dari orangtua.

Memang berbeda rasanya tangan kita menenteng keris dibanding membawa pisau, clurit atau pedang dan tombak. Sebagaimana ada bedanya kalau kita keluar rumah pakai celana dibanding hanya pakai katok dalam. Beda antara pakai baju dengan pakai kaos. Bahkan kalau ke kantor tidak memakai baju dinas rasanya kurang bisa jenak, tidak nyaman dan sukar berkonsentrasi.

Kita tidak bisa pergi menghadap Kiai pakai kostum sepakbola. Atau main sepakbola pakai sarung seperti kalau ke Masjid. Jangan biarkan Presiden memimpin Rapat Kabinet memakai pakaian seperti main Ketoprak.

Lihat juga

Menyandang bedil atau keris berbeda secara budaya dan psikologis, tetapi urusan “syirik” terletak di dalam konsep kita tentang apa yang kita bawa atau kita lakukan. Dan konsep itu tidak bertengger di keris atau di raket badminton, melainkan di dalam pikiran dan hati kita.

Kita jangan terlalu mudah dan ngawur menuduh atau menyangka orang “musyrik”. Jangan-jangan pandangan di dalam pikiran kita sendiri yang sebenarnya mengandung gagasan “syirik”.

Salah satu kemungkinan pemaknaan syirik adalah kalau kita menomorsatukan atau mengutamakan atau “mentauhidi” hal-hal keduniaan pada posisi yang seharusnya dihuni oleh Tuhan. Kalau kita memprioritaskan atau menyembah jabatan, harta benda, kepentingan politik, ambisi kekuasaan, dan banyak lainnya — itu malah cenderung “syirik” dibanding keris atau pusaka-pusaka.

Orang main “jathilan” atau “jaran kepang” kita tuduh musyrik karena kita anggap bekerjasama dengan Setan, padahal si penuduh ini sendiri yang membawa-bawa Setan ke urusan Jathilan. Mungkin karena si penuduh memang lebih memiliki pengetahuan, pengalaman, dan interaksi dengan Setan.

Saya pribadi sangat menyukai batu akik dan selalu memakai cincin berakik. Karena saya sangat mengagumi keindahan qadha qadar Allah yang membuat batu menjadi begitu indah dan berkilau sesudah diendapkan sekian ratus tahun di tanah.

Saya mencari batu akik yang secara alamiah otentik ternyata bertuliskan “Allah” atau “Muhammad” atau “ar-Rahman” atau “ar-Rahim”, “Alif”, “Lam”, “Mim”, atau minimal bertuliskan huruf “Nun” untuk kepentingan romantisme subjektif saya.

Akik memang punya kekuatan. Kalau kita memukul kepala orang dengan tangan kosong, kalah dahsyat rasanya dibanding kalau di jari tangan kita ada akiknya. Semua dikasih kekuatan. Batu, kayu, logam, tanah, air, udara, pada semuanya diletakkan kekuatan. Tetapi kekuatan itu milik Alah Swt.

Bahkan “la haula wala quwwata illa billah”, tidak kuasa dan tidak ada kekuatan kecuali hanya dari dan milik Allah. “Illa billah” saja. Titik. Tidak “illa bi-Muhammad”, “illa bi-Jibril”, “illa bi-Iblis”, “illa bi-Presiden” atau siapapun dan apapun lainnya.

Emha Ainun Nadjib
20 Mei 2023.

Lihat juga

Back to top button