Tadabbur Hari ini (19), ALLAH MELUASKAN MANUSIA MENYEMPITKAN

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)

Kita lihat bangunan, pola, dan bentuk Al-Fatihah atau bahkan seluruh Al-Qur’an, yang urutan isinya diawali Al-Fatihah dan diakhiri An-Nas.

Allah seakan menggambar kehidupan ini. Yang bagian awal kemahaluasan Allah dan bagian akhir keamat-sempitan gara-gara polah Jin dan manusia. Diawali maha luas dan agungnya Rahman Rahim, diakhiri dengan “sumpeg” dan pengap hasil karya “yuwaswisu fi shudurinnas” oleh “minal jinnati wannas”.

Untung kita dikasih default doa: “Ihdinash-shirathal mustaqim”? Karena jelas kita hanya tahu sangat sedikit, dan tidak tahu sangat banyak. Kesumpegan hati, pikiran, jiwa, dan hidup membuat pekerjaan yang kita lakukan banyak salah, dosa, “geseh”, bias, bentrok, dusta, maksiat, destruktif dan seterusnya

Kalau kita kerjakan itu umpamanya karena tidak mengerti nilai, lantas kita juga tidak belajar, maka Allah jengkel dan murka, sehingga kita “maghdlub”. Mau tapi tak tahu.

Lihat juga

Tapi kalau kita bisa, mampu, cakap, dan prima mengerjakan sesuatu, entah dalam urusan profesi, nafkah atau ibadah, tetapi kita tidak mau melakukanny — maka kita menjadi lebih dari dijengkeli Allah. Kita “dhollin”. Tahu tapi tak mau.

Atau sebaliknya, kita tahu bahwa secara moral dan kemanusiaan kita tidak boleh mengerjakan sesuatu. Mungkin karena merusak nilai, menghancurkan kemanusiaan, bermuatan fitnah, dusta atau penistaan. Tetapi kita tetap melakukannya. Apalagi kita melakukan itu karena dibayar. Dan menyebar kelaliman, fitnah serta penistaan itu menjadi semacam profesi kita.

Di lubuk hati dan di dasar pikiran kita mengerti bahwa seharusnya kalau kita memang manusia jangan melakukan itu, namun kita tetap melakukannya. Apalagi dengan merasa puas, lega, merasa menang dan hebat. Maka levelnya mungkin itu “dhollin”. Sampai-sampai Allah di dalam firman-Nya di ayat terakhir Al-Fatihah itu menggunakan kosata “ghoiri” serta “wala”.

Mungkin yang pantas kita dapatkan tingkatnya memang adzab, di dunia maupun akhirat. Artinya, tidak akhirat saja. Mungkin sekarang juga di dunia sudah menimpa hidup kita, kesehatan jiwa raga kita, bahkan mungkin keluarga, masyarakat, dan negara kita.

Maghdlub” dan “dhollin” itu ibu atau induk dari berbagai macam gejala dan fakta perilaku manusia yang istilahnya berbeda-beda bergantung bidangnya. Bisa secara mental dan psikologi, bisa budaya dan keadaban, bisa sosial dan politik, bisa apa saja “akhlaq” atau “khuluq”-nya manusia.

Saya tidak mencari-cari bagian mana dari ummat manusia atau bangsa kita yang cocok diidentifikasikan dengan idiom tersebut. Saya tidak meneliti minoritas atau mayoritas, atau semua. Saya tidak mengklaim segmen mana, level, kelas, jaringan atau kelompok mana yang tepat untuk diterapkan padanya istilah itu.

Kita anggap saja manusia Maiyah mungkin baru sampai di “A’udzu billahi minas-syaithanirrajim”. Baru sibuk “tidak” terhadap” setan, belum “ya” melahap menikmati “Bismillahirrahmanirrahim”. Sambil waspada selalu berjuang jangan sampai menjalani hidup dengan tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti (“rajulun la yadri wala yadri annahu la yadri”). Dan berusaha keras menjadi “rajulun yadri wa yadri annahu yadri” (mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti).

Dengan ternyata banyak sekali variabelnya di antara empat kategori yadri wa la yadri itu. Misalnya, orang yang tahu bahwa itu tidak baik dan kejam, tapi ia tetap mengerjakannya. Orang mengerti bahwa itu kekejaman sekaligus kebodohan, tapi ia tetap melakukannya. Akibatnya kemudian tak terasa ia benar-benar akhirnya menjadi manusia bodoh yang kejam.

Kalau diacukan kepada “qaumun la yakaduna yafqahuna qaulan”, orang yang terseret oleh kebutuhan hidup sehingga melakukan kebodohan yang kejam itu akhirnya sungguh-sungguh menjadi manusia yang tidak paham perkataan, tidak paham sebab akibat interaksi, tidak ngerti hulu hilir silaturahmi, tidak lagi punya manajemen akal tentang baik buruk dan benar salah. Sampai akhirnya terperosok menjadi yang Allah nisbahkan:

أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ

Mereka seperti hewan, bahkan lebih hina dari itu

Maka “ihdinash-shirathal mustaqim” adalah induk segala doa, Ibu semua pengharapan manusia. Supaya tidak menjadi “ghairil maghdlubi ‘alaihim waladhdhollin”.

Emha Ainun Nadjib
17 Mei 2023.

Lihat juga

Back to top button