STUNTING, SEHARUSNYA DIPERDENGARKAN KEPADA PEMERINTAH 

(Liputan 1, Sinau Bareng Mbah Nun, KiaiKanjeng, dan BKKBN, Ponpes Segoro Agung Trowulan Mojokerto 26 Desember 2022) 

Bertempat di komplek Pondok Pesantren Segoro Agung Trowulan Mojokerto, semalam berlangsung Sinau Bareng dengan tema ”Doa Akhir Tahun 2022 dan Promosi Kesehatan Reproduksi dan Percepatan Penurunan Stunting (Gizi Buruk Anak) berbasis Pondok Pesantren bersama Mitra Kerja”. Acara diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Segoro Agung memfasilitasi program Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) RI.

Merespons masalah stunting ini, Mbah Nun merespons dengan telah menyiapkan naskah dramatic reading setebal 20 halaman berjudul “Doni Kunthing”. Tentu saja tidak hanya melalui naskah dramatic reading. Respons juga beliau sampaikan secara langsung sesudah mendengarkan para narasumber menyampaikan paparan dan pesan mengenai stunting. Hadir tadi malam antara lain Bapak Prof. drh. Muhammad Rizal Martua Damanik (Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian, dan Pengembangan BKKBN), Ibu Dra. Maria Ernawati (Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Timur) , Ibu dr. Ikfina Fahmawati (Bupati Mojokerto), Pak Kyai Bimo (Pengasuh Ponpes Segoro Agung), dan Letjen TNI H. Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan RI).

Tidak hanya menanggapi para narasumber, yang terutama sekali sejak awal menjadi prioritas dalam hati Mbah Nun adalah para anak-cucu, jamaah, warga masyarakat yang hadir dalam Sinau Bareng ini. Mereka semua notabene adalah sosok-sosok rakyat Indonesia. Sejak sore ketika KiaiKanjeng tiba di Trowulan, deras hujan menyambut. Selama acara berlangsung, beberapa kali hujan lumayan deras datang kembali. Baju-baju yang klebus pada jamaah dan masyarakat dengan mudah kita lihat. Panggung pun juga terkena tampias. Beberapa bagian karpet player KiaiKanjeng basah hingga ngrembes ke celana bila kita duduk di atasnya tanpa alas.

Semuanya direspons Mbah Nun dalam proporsi dan keseimbangan yang tepat. Menemani jamaah yang kehujanan, Mbah Nun bergerak mendekat ke mereka dengan duduk langsung di bibir panggung. Payung di atas kepala beliau semata untuk melindungi mic yang beliau pegang agar tidak mengalami gangguan. Para pejabat BKKBN dan Menhan Prabowo melihat secara langsung hati Mbah Nun di sisi rakyat yang hadir dan setia tanpa sedikit pun beringsut walau hujan yang lembut tapi deras membasahi badan mereka dari awal hingga akhir acara. 

Kendati sudah kesekian kalinya menemani BKKBN sejak beberapa tahun lalu, Sinau Bareng tadi malam sangat spesial lantaran Mbah Nun mengekspresikan secara langsung independensi rakyat di mana sejatinya rakyat harus dipahami oleh pemerintah sebagai subjek yang mamiliki harga diri dan otonomi, bukan subjek yang menjadi audiens belaka dari program-program sosialisasi pemerintah. 

Independensi ini Mbah Nun tunjukkan salah satunya sesudah menyimak paparan Bu Erna dan Prof. Damanik. Beliau berdua memaparkan pengertian stunting (gagal tumbuh kembang pada bayi dalam masa 1000 hari kehidupan sejak dalam kandungan akibat gizi buruk yang kronis) dan menguraikan pentingnya mencegah naiknya angka stunting di Indonesia. Saat ini angka tersebut masih tinggi yaitu 24,5℅. Artinya, pada 4 kelahiran terdapat satu bayi yang mengalami stunting. Idealnya, angka tersebut kurang dari 20℅. Kondisi ini, menurut Prof. Damanik, tidak perlu terjadi karena Indonesia yang gemah ripah loh jinawi adalah negara nomor 2 paling kaya di Indonesia dengan subur dan banyaknya tanaman yang mengandung gizi yang dibutuhkan bayi. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Begitu Prof. Damanik menyitir bait lagu Koes Plus. 

Mbah Nun bertanya kepada jamaah dan semua rakyat yang hadir, ”Dengan kondisi Indonesia yang gemah ripah loh jinawi tadi itu, dan bahwa seharusnya prosentase stunting berada di bawah 20℅, itu siapa yang salah? Rakyatnya tak tahu gizi sehat yang membikin tumbuh kembang itu ataukah rakyat tidak punya kemampuan ekonomi untuk membeli makanan bergizi, dan jika demikian halnya, salah siapa?” “Pemerintah!” serempak jawab mereka. Lanjut Mbah Nun, ”Jadi bahasan tentang stunting ini harusnya diperdengarkan kepada siapa?” Jawab mereka, ”Pemerintah!” Sehingga, bukan rakyat yang pertama-tama harus mendengarkan, malainkan pemerintah, sebab menurut Mbah Nun dan sebagaimana sudah diterangkan oleh Bu Erna tentang tugas BKKBN, pemerintahlah yang harus menjawab ihwal stunting ini.

Mbah Nun sangat setuju bahwa kita harus mencegah atau mempercepat penurunan angka stunting di Indonesia. Bahkan Mbah Nun juga meminta masyarakat dan jamaah mendengarkan semua informasi terkait stunting dan kesehatan reproduksi, dan semalam jamaah telah melakukannya dengan baik dan penuh perhatian. Namun, beliau tidak ingin komunikasi seperti promosi dan sosialiasi seperti ini melupakan logika politik mendasar yakni negara atau pemerintah punya andil cukup besar pada kondisi masih tingginya stunting di Indonesia. 

Bila diteruskan, selayaknya pemerintah tidak merasa sistem pengetahuan yang dibangunnya merupakan satu-satunya pengetahuan yang perlu dimenangkan dalam ruang publik, sebaliknya pemerintah perlu melihat bahwa rakyat juga punya cara pandang dunia atau interpretasi tersendiri yang baik dan penting untuk didengarkan pula. Dalam soal stunting ini, lewat dramatic reading berjudul ”Doni Kunthing” (dalam bahasa Jawa kunthing berarti gagal tumbuh kembang (fisik/tubuh), atau biasa juga disebut kunthet), Mbah Nun memberikan contoh interpretasi di luar sistem pengetahuan pemerintah. 

Misalnya, pertama, Mbah Nun mengingatkan peristiwa stunting atau gagal tumbuh kembang pada diri manusia tak hanya berlaku dalam konteks bayi yang mengalami gagal tumbuh kembang fisik tubuhnya (termasuk fisik otaknya) karena kondisi kurang gizi kronis, tetapi terjadi pula pada manusia berkaitan dengan pemikirannya, mentalitasnya, dan akhlaknya sehingga bukan tidak mungkin tokoh-tokoh atau pemimpin yang berseliweran di depan kita di bidang politik, ekonomi, keagamaan, dan lain-lain juga mengalami gagal tumbuh kembang secara akhlak dan pemikiran, misalnya. 

Kedua, secara cermat Mbah Nun mengemukakan dalam dramatic reading  bahwa kondisi stunting pada bayi boleh dikata merupakan keadaan yang sudah terlanjur dan tidak bisa diapa-apakan. Upaya yang bisa dilakukan saat ini berkaitan dengan stunting hanyalah yang bersifat pencegahan agar tidak lagi lahir bayi dalam keadaan kurang gizi. Tetapi, menurut Mbah Nun dalam dramatic reading yang memerankan Doni dan Sariyanto sebagai dua orang yang menderita stunting, yang dapat dilakukan pada anak yang telah menderita gagal tumbuh kembang adalah nyuwukke mereka. Harapannya, semoga dengan didoakan oleh orang shaleh, sebagaimana Doni dan Sariyanto disuwukke kepada Mbah Geol, Allah menjadi tidak tega hati-Nya kepada anak-anak yang menderita stunting sehingga Allah berkenan menolong dan memperbaiki keadaan mereka. 

Ketiga, Mbah Nun menjaga agar kita tidak underestimate kepada anak-anak yang mengalami gagal tumbuh kembang dalam arti apakah dengan demikian mereka lantas tak punya fadhilah apa-apa. Mbah Nun membuka hati kita agar melihat di balik kondisi mereka, siapa tahu mereka mendapatkan anugerah berupa kemampuan dan keahlian yang bagus yang bisa dikembangkan. Sebagai contoh, Sariyanto yang memerankan anak stunting bersama Doni tersebut ternyata, sebagai anak yang pernah mengalami gagal tumbuh kembang, pandai memainkan alat musik seperti kendang, dlsb.

Itulah sekurang-kurangnya tiga poin respons Mbah Nun dalam dramatic reading “Doni Kunthing” yang dengan sangat padat menyuguhkan alternatif pandangan (dengan berperspektif ilmu, kemanusiaan, dan spiritual sekaligus) mengenai stunting ini yang benar-benar merupakan sumbangan wawasan yang sangat berarti dalam Sinau Bareng tadi malam. Namun, tentu saja yang kiranya berarti pula sebagai reminder politik dasar adalah ketika Mbah Nun menyatakan bahwa pemerintah memegang peran bagi terciptanya kondisi stunting anak karena pasti berkaitan dengan belum maksimalnya pemerintah mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Tentang hal ini, Pak Prabowo sampai meng-highlight beberapa kali tanda sangat sependapat dengan apa yang dikatakan Mbah Nun. 

Kita masih akan belajar politik dari Mbah Nun saat “bertiktokan” atau merespons paparan Pak Probowo setelah beliau diberikan kesempatan berbicara di hadapan jamaah atau rakyat serta setelah beliau menyaksikan dramatic reading ”Doni Kunthing”. (Bersambung). 

Lihat juga

Back to top button