SINAU BARENG DI PUNCAK BUKIT: KETIKA MASA LALU, KINI, DAN DEPAN BERTEMU

(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Damar Kedhaton Gresik Edisi Oktober 2024)

Semilir angin terasa begitu segar dibalut dengan udara malam yang mulai dingin. Suhu pada malam hari itu terdeteksi menunjukkan di angka 27 derajat. Belakangan hari terakhir di bulan Oktober, di Gresik memang sudah mulai turun hujan meskipun tidak merata di seluruh wilayah. Berada di puncak bukit yang memang tidak terlalu tinggi, hanya beberapa meter dari jalan perkampungan; tidak lebih dari 30 orang berkumpul. Suasana dan atmosfer pun terasa makin hangat, syahdu, dan nikmat dirasakan.

Jum’at, 25 Oktober 2024, telah berlangsung Majelis Ilmu Maiyah Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi ke-94. Kali ini bertempat di pelataran depan Aula Ar-Rohmad, di samping kuncup bangunan Pesarean Makam Eyang Romo Jalan H. Ali RT 16/RW 03 Dusun Slempit, Desa Slempit, Kecamatan Kedamean.

Dengan spirit belajar sepanjang hayat, mereka berkumpul dan melingkar untuk menelusuri jejak waktu, berbagi ilmu, pengetahuan dan pengalaman dalam payung tema “Masa Lalu, Masa Kini, Masa Depan”. Tema yang dibahas pada malam itu berangkat dari tulisan Cak Madrim dengan judul “Hujan dan Shareloc”.

Tidak lupa dengan tradisi yang sudah dijalani sebelumnya, satu juz dalam Al-Quran dikhatamkan sebagai pembuka Telulikuran pada malam itu. Kali ini, Cak Ahmad bersedia untuk membaca dan mengkhatamkan Juz 4 dengan hati yang khusyu’. Sembari membaca, beberapa dulur Damar Kedhaton lainnya yang sudah hadir di lokasi tampak mondar-mandir menyiapkan uba rampe. Mulai dari menyiapkan hidangan jajanan ringan, minuman, tikar, dan lain sebagainya.

Beberapa dulur lainnya pun mulai berdatangan. Seperti biasa, diskusi tidak langsung dimulai. Mereka yang sudah hadir saling menyapa, membahas topik-topik ringan bagaimana situasi dan kondisi keluarga, pekerjaan, dan banyak hal lainnya. Obrolan basa-basi sebagai penambal kerinduan setelah disibukkan dengan waktu bekerja di bidangnya masing-masing.

Lagi-lagi, Majelis Ilmu Teluikuran nampaknya juga dapat disebut sebagai ruang rindu; tempat berkumpul kembali, rumah teduh keakraban, rumah kecil sebagai pelepas lelah dan gundah yang hangat.

Selanjutnya, tepat pukul 23.00 WIB dimulai Wirid, Sholawat, dan Tawashshul yang dipandu oleh Wak Syuaib dan Cak Fauzi. Getaran cinta dari tiap lafadz yang dilantunkan menambah kehangatan dalam suasana yang dingin. Momen sakral yang selalu dinantikan oleh segenap dulur Damar Kedhaton tiap kali bertemu.

Selesai Wirid, Sholawat, Tawashshulan, dulur-dulur Damar Kedhaton Desa Slempit terlebih dahulu menjamu hidangan berupa makanan khas pedesaan. Yakni, nasi jagung, kering tempe, dan lainnya. Kudapan yang disediakan makin menambah kemesraan momen Telulikuran kali ini. Bahkan, beberapa diantaranya yang hadir pun, tak segan sampai imbah-imbuh pula.

Malam itu, suasana di Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik terasa hangat dan penuh keakraban. Pada edisi ke-94 ini, diskusi bertema “Masa Lalu, Masa Kini, Masa Depan” berlangsung gayeng, mengalir tanpa sekat, seperti aliran sungai yang membawa setiap peserta terhanyut dalam gagasan dan canda tawa. Di bawah moderasi lihai Wak Kaji Bombom, forum sinau bareng ini bukan sekadar obrolan, tetapi menjadi ruang kontemplasi dan refleksi hidup dalam bingkai kebersamaan.

Sinau Bareng: Mengurai Makna Tiga Masa

Wak Kaji Bombom membuka diskusi dengan memantik peserta untuk urun pandangan tentang tema yang dibahas. Cak Fauzi langsung mengawali dengan kutipan dari Mbah Nun, yang menekankan bahwa hidup adalah misteri yang tak bisa dirumuskan, bahkan oleh ulama atau ilmuwan. Ia mengungkapkan bahwa, hidup ini bukan seperti yang kita pikirkan. Ada dimensi di luar pemahaman manusia.

Wak Syuaib kemudian menyusul, mengangkat konsep waktu sebagai busur panah. “Semakin jauh busur ditarik ke belakang, semakin kuat lontaran ke depan,” paparnya. Ia menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan: mengambil nilai luhur dari masa lalu untuk diterapkan dengan bijak di masa kini. “PR kita adalah menemukan ketepatan untuk menerapkan nilai-nilai masa lalu tanpa terjebak nostalgia,” tambahnya.

Doa, Refleksi, dan Tawa di Tengah Diskusi

Cak Ateng menyisipkan salah satu doa Nabi Khidir, mengajak dulur Damar Kedhaton untuk mengingat bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Ia mengutip doa Nabi Khidir yang berbunyi sebagai berikut : “Bismillahi masya Allah laa yasuqulkhaira illallah, bismillahi masya Allah laa yashrifu as-su-a illallah bismillahi masya Allah maa kana min ni’matihi faminallahi masya Allah la haula wa la quwwata illa billahil-aliyyil-azhim.”

Yang artinya, “Dengan menyebut nama Allah yang segala sesuatu terjadi atas kehendak dan kuasa-Nya. Tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Allah. Dengan menyebut nama Allah yang segala sesuatu terjadi atas kehendak dan kuasa-Nya, tidak ada yang menyingkirkan kebatilan kecuali Allah. Dengan menyebut nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak dan kuasa-Nya, tidak ada kenikmatan selain dari Allah.

Sementara itu, Cak Nanang Timur memantik diskusi tentang masa depan dengan menyebut prediksi hilangnya kelas menengah di tahun 2030, menambah lapisan baru dalam obrolan tentang tema yang sudah berlangsung mendalam.

Kang Joyo, dengan gayanya yang khas, mengingatkan bahwa masa lalu harus diambil hikmahnya. “Jangan diingat terus-terusan, tapi jadikan pelajaran. Yang baik untuk memacu semangat, yang buruk agar tidak terulang,” ujarnya, menegaskan pentingnya konsep “tahu diri” dalam tradisi Jawa.

Di sisi lain, Cak Pitro menambahkan, “Masa lalu, masa kini, dan masa depan itu satu paket. Tapi sayangnya, banyak yang sibuk mengingat masa lalu, tapi di masa kini masih mengulangi kesalahan.” Hal ini memantik tanya bagi para peserta: bagaimana menjaga agar masa depan bisa lebih baik?

Sementara itu, menurut Cak Hari, konsep tiga waktu yang dikaji dalam tema Telulikuran kali ini tidak pernah terputus atau tau boleh disebut sebagai siklus. “Masa sekarang adalah hasil dari masa lalu, masa depan adalah hasil dari masa sekarang. Ternyata, masa lalu telah menjadi literatur yang menjadi masa depan. Semua ini adalah sebuah siklus yang tidak akan pernah terputus,” tandasnya.

Forum yang Merdeka dan Penuh Canda

Diskusi terus mengalir tanpa perlu diarahkan oleh Wak Kaji Bombom. Para peserta—dari berbagai latar belakang—saling sahut, merespons, atau melontarkan pertanyaan. Semua merasa bebas berpendapat tanpa ada yang merasa lebih tinggi atau lebih pintar. Inilah ciri khas diskusi atau sinau bareng ala Maiyah. Tidak ada sekat antar peserta, semua duduk melingkar sebagai sedulur yang mencari ilmu bersama.

Tak jarang, di tengah obrolan serius, terdengar bunyi kentut dari beberapa dulur. Alih-alih merusak suasana, tawa riang malah membahana, menambah keakraban. Bahkan, beberapa peserta yang merasa lelah memilih untuk tidur sejenak tanpa ada yang merasa terganggu. Di Maiyah, kebebasan setiap orang dihormati selama tahu batasan diri.

Menutup Malam dengan Sholawat dan Qiro’ah Subuh

Tanpa terasa, waktu terus merambat hingga dini hari. Diskusi penuh makna ini akhirnya dipungkasi dengan lantunan sholawat yang dipimpin Wak Syuaib, tepat pukul 03.00 WIB. Sebelum beranjak pulang, para peserta berfoto bersama, mengabadikan momen kebersamaan yang begitu hangat.

Majelis Ilmu Damar Kedhaton edisi ke-94 bukan sekadar diskusi, melainkan perjalanan spiritual dan intelektual yang menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu kesatuan yang tak terputus. Sinau bareng ini bukan tentang siapa paling benar, tetapi tentang menemukan hikmah dalam setiap obrolan—dengan tawa, canda, dan rasa syukur sebagai teman perjalanan.

Lihat juga

Back to top button