RUKUN AGAWE SENTOSA
Setelah beberapa lama menyetiai hadir di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dalam Kenduri Cinta hingga edisi terakhir (sebelum dipause karena Covid-19), tidak pernah sekali pun terlintas di benak saya untuk mimpi bisa hadir di antara dulur-dulur Maiyah di Gambang Syafaat Semarang. Sampai pada suatu hari di tahun 2022, tepatnya Selasa, 25 Oktober, saya merasakan keajaiban berada di halaman sayap kiri masjid Baiturrahman Semarang.
Kalimat-kalimat di atas merupakan ungkapan saya pribadi bahwa dalam kehidupan ini tidak sepenuhnya mampu kita kendalikan. Saya mengira akan terus bertemu dengan Kenduri Cinta di Jakarta. Namun kenyataannya tidaklah demikian.
Tanpa perencanaan yang rumit, bahkan terasa sebagai momentum yang ujug-ujug alias tiba-tiba, tanpa dinyana, saya berada di Semarang dan bertemu dulur-dulur Gambang Syafaat. Barangkali demikianlah perumpamaan dari perjalanan manusia menemukan “jodoh”-nya. Bisa jadi “jodoh” itu berupa pekerjaan, tempat tinggal, pasangan hidup, atau apa pun.
Sebuah panggung dengan ukuran tak terlalu besar ditempatkan di bagian depan. Pada backdrop panggung sederhana terpampang tulisan: Pameran Komik & Ngaji Budaya – ModeART, Gambang Syafaat.
Hadir di atas panggung beberapa pembicara, yaitu Habib Anis, Pak Saratri (Saratri Wilonoyudho), Pak Fauzan (Nur Fauzan Ahmad), Pak Ilyas, Gus Aniq, dan last but not least, Noe Letto (Sabrang Mowo Damar Panuluh).
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Gerimis tipis menyiram tenda peneduh teman-teman jamaah yang duduk di atas terpal biru. Saat melepas sepatu dan bersiap duduk untuk bergabung dengan para jamaah yang hampir semuanya memancarkan wajah sumringah, saya menyadari alas duduk itu sudah terjajah air. Nggak apa-apa, cuma air, demikian batinku membujuk. Dan terbukti bujukan itu menjadi mantra ajaib sebagai permulaan keberadaanku di koordinat seputar Simpang Lima yang berlanjut hingga pukul 24.00 WIB. Selama itu saya hanyut dalam tarian sinau bareng khas Maiyah.
ModeART dan Moderasi
Pada flyer digital yang tersebar di akun media sosial, sinau bareng Gambang Syafaat edisi tersebut berjudul “Rukun Agawe Santosa”. Ketika menjelang giliran Mas Sabrang mendapatkan jatah mikrofon, saya amati dia mencari-cari tema apa yang jadi sajian utama malam itu. Ia tampak clingak-clinguk mencari-cari tema di backdrop.
Yang ia temukan adalah tulisan ModeART, nama acara pameran komik saat itu. Saya tersenyum ketika menyimak Mas Sabrang dengan cerdas menggubah kata ModeART menjadi Moderat sebagai titik simpul buah pemikirannya untuk dikupas bersama dalam sinau bareng malam itu.
Rukun Agawe Sentosa dalam konteks khazanah budaya Jawa, lengkapnya berbunyi rukun agawe santosa, crah agawe bubrah. Artinya, rukun menjadikan sentosa atau kokoh, bertengkar menjadikan rusak atau menimbulkan kehancuran. Itu pakemnya.
Namun, bukan Maiyah namanya, bila kita tidak diajak bertamasya dan berpikir secara out of the box. Semacam harmoni dua vokalis, baik Mas Sabrang maupun Habib Anis memiliki suara yang senada saling menimpali tentang kata “rukun”.
Dari diskusi itu terpercik pemikiran bahwa pada taraf tertentu “rukun” tidak selalu menjadi kondisi penunjang bagi terciptanya masyarakat yang sentosa. Justru diperlukan adanya “konflik” agar terjadi dialektika untuk menuju “sentosa”. Dengan satu catatan konflik yang dimaksud bukan dalam dimensi fisik.
Konflik yang menunjang terciptanya kondisi “sentosa” adalah “konflik” pada level ide atau gagasan. Semakin banyak gagasan dan ide kreatif yang heterogen semakin tercipta tatanan masyarakat yang sentosa.
Habib Anis mengisahkan kembali konflik pertama yang terjadi di muka bumi. Jika ditelaah konflik antara dua keturunan Adam yang terjadi itu bukanlah perkara remeh-temeh, misalnya memperebutkan makanan, tempat tinggal, maupun perempuan. Namun di luar semua itu, konflik tersebut bersentuhan dengan urusan ketuhanan.
Pangkalnya adalah situasi ketika manusia merasa dirinya benar. Padahal kebenaran tunggal sesungguhnya tidak ada. Manusia tidak pernah sanggup memegang kebenaran yang ultimate. Yang dimiliki manusia adalah kebenaran yang terpercik dari yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.
Faktanya, kehidupan atau bahkan ruang dalam kesadaran diri kita adalah semesta konflik yang dipicu oleh dua titik ekstrem. Mas Sabrang menyatakan hidup itu sejatinya adalah proses mencari titik tengah terhadap berbagai macam aspek yang saling bertentangan. Yaitu mencari titik keseimbangan terhadap dimensi ruang, dimensi waktu, atau dimensi lainnya dalam kehidupan.
Mencari titik tengah inilah yang disebut sebagai mencari dunung yang moderat. Kata ini memiliki jenis huruf yang sama persis dengan judul acara, ModeART, by the way. Proses mencari keadaan yang moderat tersebut dinamakan sebagai moderasi. Dunia modern memaknainya sebagai mentransfer energi secara lebih tepat. []