PUASA, LÈBARAN, DAN MAKAN SECUKUPNYA

Lebaran identik dengan silaturahmi. Mulai dari acara halal bihalal, kumpul bareng keluarga besar-sanak famili, sampai acara reuni bersama kawan lama seperjuangan. Dan kesemua acara tersebut muaranya adalah makan. Ya, makan. Baik makan ringan, ngemil, hingga makan porsi besar. Menunya pun beragam. Ada opor, gulai, sambel goreng kentang, sate, lontong sayur, kikil, sop, gudangan, dan masih banyak lagi. Namanya juga lebaran. Semua dirayakan, termasuk urusan makan.

Sejak lebaran hari pertama (versi pemerintah tanggal 23/4) hingga sekarang, saya sudah berkunjung ke delapan tempat. Dan sudah bisa ditebak, puncak dari pertemuan itu ialah makan. Saat puasa kemarin, alhamdulillah berat badan saya turun 3 Kg. Dan jika sekarang disuruh nimbang, saya hampir yakin jarum timbangan pasti geser ke kanan paling tidak 3 sampai 5 digit. Faktanya, lèbaran memang bikin lébar badan. 

Puasa melatih kita untuk mengendalikan diri. Selama sebulan full kita ditatar untuk menahan hawa nafsu. Nafsu makan, nafsu marah, nafsu serakah, nafsu maksiat, dan nafsu-nafsu melampiaskan lainnya. Namun setelah Ramadan usai, dengan mudahnya pertahanan kita ambrol. Jebol. Kita ngiler melihat minuman aneka warna dan rasa. Kita tergoda untuk mencicipi segala rupa cemilan yang tersaji di atas meja. Kita pun kemaruk, memasukkan satu demi satu makanan apa saja ke mulut kita. Nafsu seketika berubah liar dan tamak.

Untung, Allah memberi metode supaya kita mampu menekan nafsu makan biar ndak kebablasan. Yakni kita disunahkan mengerjakan puasa 6 hari di bulan Syawal. Puasa sunah Syawal setidaknya bisa menjadi rem bagi kita. Semacam ruang jeda sejenak. Puasa Syawal juga terbilang fleksibel. Bisa dikerjakan langsung 6 hari berturut-turut, atau diselang-seling. Bebas. Situasional saja. 

Perihal puasa, kita juga diwelingi (dipesani) Mbah Nun. Bahwa lapar itu baik. Laparnya orang berpuasa justru menyehatkan. Dengan puasa, ritme kerja lambung menjadi teratur. Potensi racun masuk ke tubuh bersama asupan (makanan+minuman) menjadi berkurang. Akibatnya sistem pencernaan berfungsi normal. Daya tahan tubuh meningkat. Jiwa raga sehat. 

Jadi, lapar itu baik. Yang tidak baik adalah kelaparan atau kekenyangan. Intinya, segala sesuatu yang terlalu, over, berlebihan, pasti ending-nya tidak baik. Terlalu lapar tidak baik, karena akan mencederai sistem alat pencernaan. Kemudian bisa lemas, sakit, dan seterusnya. Sedangkan terlalu kenyang juga tidak baik. Pasti ujung-ujungnya begah, bahkan muntah. Lantaran lambung tak kuat lagi menampung. 

Berbekal nasihat Simbah itulah, kita bisa menerapkan ke diri sendiri dan (mungkin) kepada sebagian yang lain, ketika hendak makan ambillah secukupnya. Yang sekiranya habis untuk dimakan. Jangan berlebihan. Jangan sampai ada yang bersisa. Meskipun itu hanya sebiji nasi, atau secuil tempe. Sebisa mungkin habiskan! Itulah salah satu etika menghargai sebuah makanan. 

Mbah Nun kerap berujar tentang metodologi sangkan-paran. “Kalau kita makan nasi, jangan sampai lupa sama beras. Kalau kita melihat beras, kita juga mesti ingat gabah. Kalau kita ingat gabah jangan lupakan padi. Kalau kita tahu padi, jangan lupakan petani yang menanamnya.” Ternyata, ada proses yang amat sangat panjang sebelum sepiring nasi ada di hadapan kita untuk dinikmati. Dengan memiliki kesadaran tersebut, kita akan menjauhi mubazir. Akan memperlakukan makanan sebaik-baiknya. Memakannya, menikmatinya, menghabiskannya, seraya mensyukurinya. Percaya, bahwa itu semua adalah nikmat Allah Swt.

Masih dalam momen lebaran, tak lupa kami ucapkan minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga lèbar, lèbur, labur, segala kesalahan. 

Gemolong, 5 Syawal 1444 H

Lihat juga

Back to top button