POHON RINDANG TEMPAT BURUNG-BURUNG BERTEDUH DI KALA SENJA

Setelah semalam di Padhangmbulan Jombang, malam berikutnya (6/4/2023) Mbah Nun berada di Lumajang, tepatnya di desa Sumberjati Kecamatan Tempeh Kabupaten Lumajang. Beliau sendiri yang kangen untuk bisa mendatangi anak cucu simpul-simpul maiyah di wilayah timur yang meliputi Banyuwangi, Jember, Lumajang dan Probolinggo.

Tentu ini sebuah anugerah yang patut disyukuri, menggembirakan, sekaligus mengharukan, bahwa anak cucu Jamaah Maiyah benar-benar merasuk ke dalam hati beliau sehingga bukan hanya mereka yang kangen tapi Mbah Nun secara khusus kangen dan mendatangi mereka. Belum lagi bulan Mei mendatang usia beliau sudah 70 tahun.

Sebuah usia yang kebanyakan orang merancangnya sebagai masa pensiun. Sementara Mbah Nun tak pernah pensiun dan hingga kini terus mendatangi permintaan masyarakat luas untuk sinau bareng, menumbuhkan benih-benih kebaikan masa depan. Seakan tanpa lelah, tak peduli hujan, tak peduli jauh, Mbah Nun terus berjalan dan terus berjalan

Pada tahun 2011 Mbah Nun adalah orang yang pertama kali mendapatkan gelar Ngai Ma Dodera yang berarti pohon rindang tempat burung-burung berteduh di kala senja. Beliau mendapatkan gelar tersebut dari Kesultanan Ternate Maluku Utara. Dan Maiyahan di Lumajang malam itu bertema: Ngai Ma Dodera Sambang Anak Putu Semeru Bromo Raung.

Amsal atau perumpamaan pohon ini sangat menarik. Akarnya bersambung dengan asal-usulnya yakni tanah di bumi. Lantas tumbuh bergeraknya ke atas selalu berusaha mencari cahaya Matahari. Manusia memang perlu merenungi asal-usulnya. Kemudian harus bergerak menuju ke mana? Lantas buahnya bagaimana, apakah bermanfaat untuk dirinya sendiri atau orang banyak?

Bahkan begitu istimewanya sebuah pohon, hingga Tuhan pun melarang Nabi Adam jangan mendekati apalagi sampai menyentuh Pohon Khuldi hingga memakan buahnya. Larangan tersebut disertai konsekuensi jika melanggar akan diusir dari surga ke dunia. Dan kita boleh iseng-iseng menulis puisi: “Ah, pohon. Siapakah sebenarnya engkau? Engkau begitu ruhaniah dan penuh misteri, sampai-sampai tak sembarang orang dapat menyentuhmu…”

Di Lumajang itu, Mbah Nun hadir bersama Mas Ian L. Betts, sahabat Mbah Nun dari London. Saya datang agak telat, sekitar 15 menit menjelang Mbah Nun melantunkan Wakafa diiringi oleh musik gamelan Padhang Howo dari Pasuruan. Gamelan ciamik ini juga mempersembahkan lagu-lagu Umi Kulsum dari Mesir, seperti Al-Athlal dan Syukaro

Malam itu sangat terasa bahwa kehadiran Mbah Nun benar-benar bagai sebuah pohon rindang nan teduh. Suasana hujan pun menjadi “teduh” dan “ayem” tak mempengaruhi Jamaah Maiyah dalam menyimak paparan ilmu yang disampaikan Mbah Nun dan Mas Ian L. Betts. Meskipun bukan untuk pertama kalinya hujan turun namun Sinau Bareng Mbah Nun tetap berjalan tanpa jamaah bergeser hingga selesai.

Dari Lumajang saya baru menyadari, mungkin kita selama ini, khususnya saya sendiri, bergerak dengan melupakan akar asal-usul sejarah diri kita, tumbuh tidak mencari dan menuju cahaya, sehingga kita gagal menjadi pohon yang rindang nan teduh, yang memancarkan kasih sayang Tuhan bagi semua makhluk di alam semesta. 

Kalau dalam Islam penghayatan inna lillahi (sesungguhnya kita semua milik Allah) merupakan konsep substansi asal-usul kita. Wa inna ilaihi rojiun (dan sesungguhnya kepada Allah kita kembali) merupakan arah perjalanan yang harus kita tuju. Bahasa gampangnya: dari Allah menuju Allah, agar hidup kita bagaikan sebuah pohon yang indah dan rindang tempat burung-burung berteduh di kala senja.

Banyuwangi, 8 April 2023

Lihat juga

Back to top button