MILAD SALIRA HANGRASA WANI
(Mukaddimah Majelis Masyarakat Warok Kaprawiran Edisi September 2024)
Sebelumnya, izinkan untuk ber-”disclaimer” serta memohon beribu maaf berjuta ampunan bila tema Warok Kaprawiran (WK) kali ini seolah mem”pleset”kan petuah Jawa. Dari Mulat bertranformasi menjadi Milad adalah bentuk ungkapan Mulat Salira Hangrasa Wani dalam pitutur Jawa yang merupakan ajaran mawas diri untuk mengenal potensi diri tentulah akan menjadi hidangan nikmat dalam menyambut Milad Majelis Masyarakat Warok Kaprawiran.
Kelahiran adalah salah satu peristiwa agung dalam kehidupan. Sehingga Milad sebagai penanda hari kelahiran tidaklah heran akan selalu agenda berulang dari tahun ketahun, ketahun, dan ketahun-tahun selanjutnya. Dua hal yang menjadi jamak lumrah dalam menyamput hari kelahiran, pertama ritualisasi rasa Syukur atas segala Rahman dan Rahim yang telah terlimpahkan . Kedua adalah momentum mawas diri, berproses memperhatikan apa yang telah diperbuat terutama untuk hari esok.
Dalam Milad Majelis Masyarakat Warok Kaprawiran kali ini marilah kita sejenak “menata hati menjernihkan pikiran” untuk kembali menjalani proses kelahiran. Benar, mari kembali menjalani proses kelahiran, bukan sekedar merayakan. Sebagaimana proses kelahiran Satriya Panenggaking Pandawa yaitu raden Wrekudara, atau Bratasena, atau Bimasena, atau Haryasena, atau Jagal Abilawa, atau Bayusiwi, atau Jayalaya, atau Prabanconosiwi, atau Kusumadilaya.
Kisah kelahiran Raden Wrekudara diceritakan dalam lakon Bima Bungkus. Wrekudara muda atau Bima lahir bukan sebagaimana saudara pandawa lainnya. Bima terlahir dalam bentuk bulat terbungkus. Tak ada satupun senjata yang mampu untuk merobek selubung yang membungkus wadag Bima. Sehingga boleh dikata, secara fisik Bima telah terlahir, namun esensi kelahiran belum terjadi. Mengingat Bima terbelenggu dalam selubung yang membungkusnya. Hal tersebut tidak dijalani dalam waktu yang singkat, dalam lakon Bima bungkus ada yang menyebutkan, tiga tahun, ada pula yang menyatakan 8 tahun, bahkan ada yang menyebut sampai angka 15 tahun.
Namun yang pasti Bima masih terselubung dalang bungkus tersebut setidaknya sampai adiknya Raden Arjuna lahir dan menginjak remaja. Terbukti dalam lakon terbut di kisahkan, Keprihatian Permadi atau Raden Arjuna muda akan nasib sang kakak mengantarkannya ke Wukir Retawu menemui Bagawan Abiyasa, untuk mendapatkan solusi yang amat sangat sederhana. Yakni membuang Bima bungkus di hutan Krendawahana. Singkat cerita di hutan tersebut akhirnya berkat Gajah Sena, Bima lahir sempurna, setelah mendapatkan wejangan dari Dewi Umayi.
Menelisik kisah Bima Bungkus bolehlah menjadi pijakan dalam kesadaran untuk mempertanyakan apakah keberadaan kita telah sempurna terlahir atau masih terselubung dalam egosentris kita, lantas tak mampu membedakan mana jalan mana tujuan, sehingga tak lagi bisa memilah dan memilih antara Fardu a’in dan fardhu Kifayah. Merasa cukup dengan kebenaran, kebaikan, namun abai pada keindahan.
Karenanya, dalam Milad Majelis Masyarakat Warok Kaprawiran edisi ini kita rayakan dengan Kenduri Cinta, santai rileks duduk melingkar merangkai nilai merajut makna, menikmati Padhangmbulan yang mencar dalam penatnya malam, sembari menunggu munculnya Bangbang Wetan.
(Redaksi Warok Kaprawiran/Koko)