MENEMUKAN “MATA AIR“ NASHRON ‘AZIZAN
Beberapa waktu terakhir Maiyahan Mbah Nun dan KiaiKanjeng menyajikan dramatic reading sebagai metode komunikasi dan pembelajaran. Pada Ahad (20/11) Maiyahan HUT RSUD dr. Ishak ke-105 di Tulungagung dramatic reading Buyut Irodat, Mbah Geol dan anak cucunya kembali menyuguhkan dialog-dialog cerdas dan bernas.
Kali ini judulnya Nashron ‘Azizan, artinya pertolongan yang agung. Judul tersebut sengaja dikomunikasikan melalui dramatic reading untuk merespons tema membangun masyarakat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Buyut Irodat, Mbah Geol dan anak cucu tidak sekadar berbincang-bincang ngalor-ngidul. Muatan dialog yang berisi segala hal tentang sejarah, sikap pandang, dan harapan masa depan sengaja dikomunikasikan di hadapan jamaah untuk ajur-ajer kepada masyarakat Tulungagung.
“Saya belajar kepada Tulungagung,” ungkap Mbah Nun sebelum Nashron ‘Azizan ditampilkan. Ini pengantar menarik untuk dicermati karena Sinau Bareng adalah forum kebersamaan bagi setiap orang yang bersedia membuka pintu untuk saling belajar. Pengantar ini juga menegaskan bahwa setiap orang memiliki batas pengetahuan sekaligus ketidaktahuan. “Ojo dumeh!” kata nasihat Jawa.
Tidak lazimnya penampilan dramatic reading yang semata-mata untuk keperluan teater, alur dialog Nashron ‘Azizan disusun sedemikian rupa agar jamaah memiliki kuda-kuda berpikir. Buyut Irodat tidak langsung ngegas mengguyur anak cucu dengan nasihat-nasihat ke-Tulungagung-an.
Kita mengenal sesi pemanasan ini dengan istilah mbeber kloso. Mbah Nun sengaja melemaskan ketegangan pikiran jamaah melalui “qiroah” yang dibaca Mas Imam: “Pang poh jarot tak balang rutuho. Kuntul ngik ngik tak balang maburo…”
Bagaimana kuda-kuda pikiran dibangun? “Kabeh wulangan kuwi, seko Mbahmu, Bapak Ibumu opo seko Guru-Gurumu ning Sekolah – kalian semua harus pandai-pandai menyaring. Memfilter. Bahkan sinau nyaring itu jauh lebih penting. Itulah ilmu yang utama. Bisa malah lebih penting dibanding bahan-bahan pelajarannya,” tutur Buyut Irodat.
Sinau nyaring atau belajar memfilter informasi merupakan kuda-kuda berpikir agar tidak serta-merta menelan mentah dawuh otoritatif dari seseorang. Bahasa menterengnya, ontologi kebenaran itu milik Tuhan. Manusia dipinjami, diciprati, diperciki cipratan-cipratannya.
“Meskipun Bapak Ibu, meskipun Guru, Dosen, Profesor, Doktor, Kiai, Ustadz, Ulama, mereka semua tidak pasti benar. Yang mutlak benar itu hanya Allah dan Kanjeng Nabi,” ucap Buyut Irodat menegaskan.
Sinau nyaring adalah kemampuan mengembangkan metodologi berpikir untuk menemukan konteks kebenaran secara autentik.
Wasis, lantip, dan waskita pada konteks itu dapat merupakan output dari kualitas seseorang (Mbah Geol), dapat juga ditransformasi menjadi metode untuk menyaring informasi. Wasis itu artinya peka dan tajam pengertiannya terhadap segala hal. Artinya, pasang kepekaan dan ketajaman berpikir terhadap informasi, realitas, atau fakta di depan kita. Yang dipasang bukan kepekaan intelektual saja tapi juga kepekaan rasa dan spiritual.
Lantip, maa huwa lantip? Adalah ke-wasis-an yang spesial dan tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Ini tak ubahnya fadlilah yang ditanam Allah secara laten pada setiap individu. “Setiap orang berbuat menurut pembawaannya masing-masing.” (Q.S. Al-Isra’: 84).
Maka jangan kecil hati untuk tidak lantip karena Allah telah membekali setiap manusia karakter, bakat, talenta, passion yang menjadi gawan bayi. Ketika semua bawaan itu dipelajari, dimengerti, digali, dan didayagunakan, maka jadilah ia seorang ahli: tuan rumah yang memimpin dirinya.
Pada tahap itu ia memiliki kewaskitaan. Waskita itu tingkat tinggi kawruh batinnya, bisa melihat sesuatu yang sifatnya rohaniah, hampir-hampir seperti makrifat. Dari hanya mendengar bunyi mesin motor di depannya Markesot dapat memakrifati onderdil yang tidak beres.
Belajar kepada Tulungagung
Lantas apa hubungan Nashran ‘Azizan dengan Tulungagung? Kalau dikembangkan lagi: apa hubungan surat Al-Fath ayat 1-5 dengan HUT RSUD dr. Ishak ke-105 dan HUT Tulungagung ke-817? Apa kaitan antara Sinau Bareng di GOR Lembu Peteng dengan sejarah daerah bernama Ngrowo?
Belajar adalah memproduksi pertanyaan bukan terutama menjawab pertanyaan. Demikianlah, setelah beber kloso dan pasang kuda-kuda, Buyut Irodat dan Mbah Geol pelan-pelan memasuki tema Sinau Bareng. Allah menganugerahkan pertolongan yang agung. Nashron ‘Azizan. Di awal surat disebut juga idiom Fathan Mubina. Kemenangan yang nyata.
“Pertolongan yang agung dan kemenangan yang nyata itulah yang disiramkan dari langit tercurah ke semua penduduk Tulungagung sejak zaman dahulu kala,” tegas Mbah Geol.
Tentu ini bukan pelajaran sejarah tentang sejarah dan asal-usul nama Tulungagung semata. Sebagaimana kita tidak akan menemukan pelajaran biologi tentang sapi di surat Al-Baqarah. Mbah Geol dan Buyut Irodat sesungguhnya membimbing anak cucu untuk menemukan makna atas realitas dan fakta tentang Tulungagung sejak 817 tahun lalu hingga sekarang.
Pemaknaan itu ditemukan melalui nama Ngrowo, daerah rawa-rawa yang ditemukan banyak mata air. Penduduknya punya sikap Ngrowo, atau hidup masyarakatnya selalu punya kesadaran untuk mencari mata air. Mencari asal-usul. Mencari sangkan ben ngerti paran.
Makin jelas bagi kita bahwa nama bukan sekadar nama. Ngrowo adalah pandangan dan sikap hidup yang dimuati oleh keluhuran filosofi. Demikian pula Jawa bukan sekadar nama kumpulan manusia yang menjadi suku, tapi way of life bagaimana manusia bersikap dan berinteraksi di depan Tuhan, manusia, dan semesta.
Bagaimana cara pandang itu diproyeksikan untuk merawat kemaslahatan tradisi, sosial, budaya kekinian? Di mana sesungguhnya letak “mata air” baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur masyarakat Tulungagung berada? Apakah ia berupa mata air ekonomi, pendidikan, politik, atau budaya?
“Pemimpin yang dipilih oleh rakyat Tulungagung bukan tokoh politik, melainkan orang yang sudah membuktikan kesungguhan dan kesetiaannya untuk selalu menolong rakyat,” jelas cucu Doni. “Misalnya, bikin Rumah Sehat yang bisa diakses oleh semua penduduk Tulungagung, baik yang kaya maupun yang miskin.”
Mata air itu ternyata bersama kesehatan. Sehat wal afiat adalah anugerah tidak ternilai dari Tuhan. Pada konteks individual mensyukuri kesehatan dikerjakan dengan cara menjaga keseimbangan pola pikir dan pola perilaku. Sedangkan pada skala komunal-sosial disyukuri dengan cara membangun sistem dan mekanisme layanan kesehatan yang cepat dan akurat.
Saat ini “Ngrowo”-nya Tulungagung adalah layanan kesehatan yang “bermata air” di RSUD dr. Ishak. Tidak perlu sakit agar dapat merasakan layanan di rumah sakit. Kesehatan wajib dijaga. Namun, namanya bilahi atau musibah selalu saja ada. Sepanjang layanan kesehatannya beres dan memanusiakan manusia, cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur bukan mimpi.