MENDONGENGI INDONESIA
(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Maiyah Dualapanan Lampung Edisi Desember 2023)
Slogan “Indonesia Emas 2045” berkumandang selalu—mengisi ruang-ruang seminar, ballroom hotel, dan workshop. Bahkan pidato kepala kampung juga tak mau kalah untuk mengutip slogan tersebut. Fasih memang diucapkan dan hal itu baik sebagai pengingat sebuah bangsa akan asal-usul dan akan kemana ia menuju.
Indonesia emas 2045 sebenarnya gagasan yang berangkat dari adanya hipotesis dari negara adidaya bahwa sebuah bangsa akan stabil, akan hebat, kuat, superior, mandiri ketika nanti sudah berusia 100 tahun atau seabad. Mungkin bisa jadi benar karena memang sudah ada yang melaluinya, namun rasanya tidak pantas jika “mengukur tubuh sendiri dengan pakaian orang lain” terlebih pemilik tubuh belum mengenal dengan baik akan tubuhnya. Boleh jadi karena keterbatasan pengetahuan pakaian yang digunakan malah kekecilan karena si pemilik tubuh sejatinya lebih besar dari pakaian tersebut.
Perumpamaan tersebut ada benarnya jika mengacu sebagai national state yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1945 oleh sang proklamator Ir. Soekarno di sebuah rumah di jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat. Namun jika berkenan ditarik kepada bentang sejarah yang lebih jauh, di era Nusantara sebelum adanya Indonesia. Bahkan bayangan akan Indonesia dihadapan mbah-mbah Nusantara seperti bayi kecil yang sedang ditimang-timang, yang sesekali menangis ketika kehausan, kelaparan, ketika digigit nyamuk atau ada gangguan apapun padanya yang tidak mengenakkan. Ya jangan protes sebagai seorang bayi. Hanya itu yang bisa dilakukan.
Jangan menuntut ia untuk berbuat lebih, jangan memaksa ia untuk memaksimalkan potensi dirinya, untuk menjadi poros maritim dunia, menjadi negara dengan ketahanan pangan dunia, apalagi merealisasikan gagasan para pendiri bangsanya yaitu “berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan”, sudahlah harus ya kita memaklumi dan jangan membebankan hal yang di luar batas kemampuan bayi, wong Tuhan saja tidak membebankan hamba-Nya melebihi yang ia mampu, lah ini kok kita sangat tega dan tak berpri-kebayian. Harusnya si bayi kita asuh, kita berikan pengajaran, berikan perlindungan dengan sebaik-baiknya itu juga kalau si bayi berkenan mendengarkan mbah-mbah nya, itu pun kalau si bayi tidak membantah, tidak membangkang, tidak mengecilkan mbahnya sendiri.
Diam-diam atau bahkan secara frontal tidak sedikit anak bangsa yang menolak ketika wacana ini diungkapkan, “Ngaco lah, Bangsa Indonesia ini sudah berumur bahkan tahun 2023 ini sudah berusia 78 tahun, sudah mbah-mbah ini kalau orang tua, sudah pensiun bahkan jika ia aparatur negara, sudah sepuh dan mulai mengasuh generasi selanjutnya. Jadi jangan mengecilkan Indonesia sebagai sebuah bangsa ya, sudah bukan asam garam lagi yang dimakan boleh jadi juga asam sulfat sangking tangguhnya lambung bangsa Indonesia, jadi jangan macam-macam ya sama bangsa Indonesia”. Kurang lebih begitu cuplikan pidato dari perwakilan kantor staf istana Bangsa Indonesia.
Gagasan Indonesia emas 2045 selalu beriringan dengan “Bonus demografi’ yaitu suatu keadaan di mana sebuah bangsa jumlah angka usia produktifnyya lebih besar daripada usia tidak produktif. Menarik memang bila keadaan tersebut dapat dioptimalkan, namun yang keliru adalah keinginan untuk memanen sedangkan sebelumnya tidak pernah menanam. Kekeliruan bonus demografi persis seperti itu jika dibandingkan dengan bangsa lain. Sudah sejauh mana Indonesia menyemai benih masa depannya, sudah seberapa besar invetasi kepada SDM unggul nya, sudah seniat apa mereka menjaga generasinya dari gempuran ancaman yang tidak hanya mengganggu proses penyemaian bahkan berakibat benih tersebut mati sebelum ditanam, atau bisa jadi benih tersebut ditanam di tanah yang salah, tanah yang bukan seharusnya dan berakhir bukan melanjutkan estafet generasi selanjutnya malah berkhianat membelot di barisan musuh yang terang-terangan ingin menghancurkan Indonesia.
Dan ketika nanti hancur Indonesia akan menjadi sebuah dongeng yang diceritakan kepada anak keturunan selanjutnya bahwa “dulu sebelum ini ada loh nak, bangsa yang bernama Indonesia yang begini dan begitu”
Bagi maiyah sendiri yang terpenting adalah kesempatan untuk mendapat akses yang berkeadilan antara anak bangsa tanpa pandang bulu dari latarbelakang yang bagimana ia, asalkan ia layak untuk mendapatkan hal tersebut maka tidak boleh ada satu pihak atau pihak lain yang lebih besar yang membatas-batasi kesempatan tersebut apalagi kesempatan tersebut hanya dimonopoli oleh segelintir orang dan kelompok maka Maiyah tidaklah berkenan jika dihadapkan yang demikian. Maiyah sebagai nilai tentu akan tidak nyaman dan lagi-lagi akan puasa di tengah zaman yang demikian.
Sebagai bentuk kecintaan anak Maiyah, selain dengan terus sinau bareng dan mengingat-ingat akan apa yang sudah pernah diajarkan oleh Mbah Nun oleh Marja’ Maiyah wabil khusus warisan dari Mbah Fuad dan Mbah Nun yaitu ada dua yang harusnya dapat terus menemani dan mengisi ruang-ruang kerinduan yaitu Mushaf Al-Qur’an Tadabbur Maiyah Padhangmbulan dan Tawashshulan media untuk nyuwun paring-paring atau mengemis kepada Allah agar terus menemai anak cucu Maiyah dimanapun berada.
Penggiat Maiyah Dualapanan pada edisi ini mengangkat tema “Mendongengi Indonesia” untuk mengajak para sedulur, anak cucu maiyah dan anak bangsa generasi penerus untuk mentadabburi nilai-nilai Maiyah dalam forum sinau bareng Maiyah Dualapanan yang akan dilaksanakan pada tanggal 28 Desember 2023 pukul 20.00 WIB, di panggung terbuka halaman SMP SMA Al Husna Kompleks Ponpes Al-Muttaqien Pancasila Sakti Kemiling Bandar Lampung.
(Redaksi Maiyah Dualapanan)