“MANUSIA TANPA SEKOLAH” BIOGRAFI PEMIKIRAN TOTO RAHARDJO
Sepak terjang Toto Rahardjo (Yai Tohar) selama tiga dasawarsa belakangan dari ranah pemberdayaan masyarakat hingga pendidikan kritis-alternatif memperlihatkan jejak-jejak genealogis. Pertama dan terutama jejak genealogis ini dilakoni oleh seorang otodidak, yang justru menempatkan orientasi keberhasilan “kerja-kerja kemasyarakatan”-nya bukan pada hasil, melainkan pada proses untuk bertumbuh. Pertumbuhan yang dilandasi oleh spirit bebrayan agung inilah kata kunci rekam jejak Toto Rahardjo.
Keseluruhan isi buku yang ditulis oleh Rony K. Pratama dan diterbitkan oleh Bentang Pustaka ini memuat rekam jejak pengalaman empiris seorang Toto Rahardjo sejak tahun 80-an sampai sekarang. Sebagai seorang otodidak, beliau mengguratkan kiprah di bidang pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat. Sebuah wilayah yang niscaya bersinggungan dengan wong cilik dan karenanya merupakan aktivitas pendidikan.
Keberpihakannya kepada kelompok marginal itu bukan tanpa sebab. Ia menghabiskan masa kecil di Lawen, sebuah dusun pelosok daerah Banjarnegara yang baru belakangan mendapatkan pasokan listrik. Dengan sendirinya Toto Rahardjo adalah bagian integral dari rakyat kebanyakan. Itulah sebabnya, tidaklah mengherankan bila sampai di usia sekarang ia terus mewacanakan desa berikut nilai otentik di dalamnya.
Desa menjadi pokok utama dalam buku ini. Ia ditempatkan sebagai pembuka untuk memperlihatkan betapa wacana modernisme begitu menggilas posisi desa. Akibatnya desa semakin mengkota, sementara kota mengarah menuju metropolis. Gejala ini hanyalah puncak dari gunung es yang diakibatkan oleh rezim developmentalisme, yang pada gilirannya melahirkan pemiskinan, penindasan, bahkan pencerabutan manusia dari akar kebudayaannya.
Latar belakang desa semacam itulah yang mendorong kerja-kerja pengorganisasian masyarakat Toto Rahardjo sedemikian penting dibicarakan. Ia telah melakukan itu selama berpuluh tahun. Dari pelosok Yogyakarta sampai dusun “pinggiran” di Indonesia Timur.
Semua itu dikerjakan beliau bersama para sahabat. Sebut saja antara lain dengan Mbah Nun dan Roem Topatimasang. Pergumulannya dengan masyarakat desa di berbagai dusun itu terekam detail di buku ini. Termasuk inisiatif Toto Rahardjo dan timnya dalam menyelenggarakan program Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Dengan demikian, buku ini berupaya menghadirkan Toto Rahardjo bukan hanya sebagai figur, melainkan juga kiprah dan khazanah pemikirannya selama ini di ranah pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat.
Buku ini merupakan biografi pemikiran Toto Rahardjo yang banyak memampangkan pertanyaan dan pernyataan filosofis seputar desa, pendidikan, dan gerakan sosial. Telah diluncurkan pada Kamis, 13 Oktober 2022 di DAHEIM kaffee kollab kultur Yogyakarta, Manusia Tanpa Sekolah dibedah oleh Muhidin M. Dahlan (Penulis dan kerani partikelir IBOEKOE dan Radio Buku) dan Ghofur Mohammad (Peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM).
Dalam waktu terdekat buku ini juga akan dibedah di Sanggar Anak Alam (SALAM) pada Jumat, 11 November 2022 pukul 15.00-selesai. Rencana bedah buku di SALAM bersamaan dengan serangkaian acara Prosesi Wiwitan Panen Raya. Elok Santi Jesica (Dosen Sosiologi UGM) dan Agita Yuri (Orangtua Murid SALAM) adalah dua pembedah buku Manusia Tanpa Sekolah berikutnya.
Jika teman-teman berminat memiliki buku ini, teman-teman bisa membeli di: tautan ini