Maiyah dan Transformasi Sosial

Mukaddimah Mafaza, September 2022

Seperti setiap fenomena pada umumnya, selalu terdapat berbagai sudut pandang dalam melihat permasalahan, bahkan yang saling bertentangan sekalipun. Juga terkait dengan fenomena belakangan di mana golongan muda berlenggak-lenggok di sebuah jalan di bilangan Dukuh Atas, Jakarta. Khalayak menyebut dengan istilah Citayam Fashion Week; merujuk pada asal para pemuda berasal. Sekelompok pemuda dari luar Jakarta menggebrak hegemoni ruang eksekutif di wilayah Sudirman Central Business District (SCBD). Lebih radikal lagi, mereka mendobrak budaya fashion yang erat dikaitkan dengan sesuatu yang luxurious.

Memang sudah seharusnya, ruang publik dapat dinikmati tanpa kelas. Fashion di halte Dukuh Atas adalah bukti kreativitas. Di ruang antara gedung perkantoran yang biasanya hanya dilewati seperlunya oleh karyawan yang bekerja di Sudirman, mendadak riuh dan penuh sepanjang trotoar dan ruas penyeberangan. Mereka membuat alternatif pertunjukan. Masyarakat terhibur dengan hiburan dari warga di pinggiran Jakarta. 

Pertunjukan baru, ditambah dengan pemberitaan yang bombastis, menimbulkan keramaian yang akhirnya tidak terorganisir. Entah masyarakat yang menonton, fotografer yang menangkap peristiwa, kumpulan yang nongkrong, dan wartawan yang mencari berita semua tumpah di kawasan tersebut. Ruang publik yang seharusnya digunakan dengan prinsip berbagi kepentingan, berubah menjadi ruang yang otoriter. 

Zebra cross yang dialihfungsikan sebagai pengganti catwalk berimbas kepada arus lalu lintas yang melewati di kawasan tersebut. Juga trotoar yang seharusnya mengakomodasi pejalan kaki, mendadak sukar dilewati karena banyaknya pemuda yang memenuhi trotoar. Konflik tidak terelakan antara pengguna yang memanfaatkan fungsi awal fasilitas publik, dengan pengguna lain yang manjadikan ruang publik menjadi ruang kreativitas baru. 

Konflik yang muncul dari perbedaan kepentingan adalah sebuah kewajaran. Dalam kaitannya dengan konflik di ruang publik, permasalahan dapat disederhanakan jika pengguna ruang publik memahami fungsi, peran, dan kewajibannya sebagai pengguna. Trotoar misalnya sebagai ruang utama pejalan kaki. Ruang jalan sebaiknya tetap diprioritaskan kepada pengguna trotoar. Pengunjung yang memang sengaja menonton, harus tetap memahami sejauh mana trotoar bisa difungsikan sebagai ruang nongkrong. 

Lihat juga

Permasalahan ruang publik seperti fenomena Citayam Fashion Week hanyalah satu dari sekian gejala ketidakpahaman masyarakat tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam suatu ruang bersama. Gejala ini juga menunjukkan ketidaksambungan antara infrastruktur fisik dan infrastruktur sosial. Sekaligus juga pendidikan di Indonesia masih meletakkan faktor kognitif dalam pendidikannya. Menanggapi fenomena seperti ini, mampukah Maiyah–sebagai ruang diskusi dan pendidikan alternatif–menjadi bagian dari transformasi sosial yang lebih komprehensif?

Lihat juga

Back to top button