KULIAH SORE BERSAMA PAK NEVI BUDIANTO 

(Pameran Tunggal “Madhep Mantep” Novi Budianto, Pendhapa Art Space Yogyakarta, 19-30 November 2022)

“Mahasiswa ISI Yogyakarta menimba sumur ilmu dan pengalaman dari Novi Budianto. Kuliah banyak diwarnai dengan mengamati, mengalami, dan mengajukan pertanyaan”

Kamis sore, 24 November 2022, Galeri seni itu bersalin rupa menjadi ruang kuliah. Tanpa meja, kursi, dan papan tulis. Hanya ada lukisan, orang mengamati, dan setumpuk pertanyaan di pikiran. Kuliah sore bagi dua kelas mahasiswa Program Studi Film dan Televisi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, begitu istimewa. Tak ada tuntutan bacaan teoretis ataupun pengumpulan tugas makalah. Mereka kuliah seraya wisata di galeri seni, sembari menimba sumur ilmu dan pengalaman, melalui sosok Novi Budianto.

“Mengamati lukisannya Pak Nevi ini,” ucap Vincentius Aldi Pranata Yoga, “saya langsung flashback ketika saya ditugaskan pas mata kuliah Nirmana. Karena saya buat Nirmana garis di kertas ukuran A3 itu lama banget. Ini kayaknya pakai bolpoin dan tampaknya gede banget gitu. Saya ngebayanginnya wah pasti susah.” Mahasiswa semester satu ini mengaku karya besutan Pak Nevi amat mendetail.

Di antara karya-karya yang dipamerkan, Aldi terpukau pada karya berjudul Sekar Merah Putih (135 x 80 cm). Karya ini menampilkan objek berupa vas bunga. Di bagian tengah menyembul sorot mata tajam dengan lilitan bunga di samping kanan dan kirinya. “Kayak aneh gitu. Lukisan yang menurut saya paling aneh meskipun simple. Kayak vas ada mata terus ada bunga juga. Tapi sometime less is more. Bunga ini berasal dari kayak ada otot-otot urat-uratnya gitu,” ucapnya.

Setelah sepasang mata Aldi menyapu setiap tubuh lukisan, dirinya berdecak kagum tetapi sekaligus berefleksi terhadap proses kreatifnya sendiri. Selama ini saat membikin karya rupa ia masih merasa setengah-setengah. Manakala menikmati karya Pak Nevi, ia justru merasa terciprat energi dan keseriusan sang perupa. “Saya jadi kepikiran saya kuliah di sini serius nggak sih. Dan kalaupun saya punya karya lagi apakah saya juga cuma mengerjakannya aja supaya cepet selesai atau benar-benar serius,” imbuh Aldi.

Mengalami dan Merefleksi

Mata kuliah Nirmana—penataan kesatuan unsur rupawi seperti garis, tekstur, warna, dan bentuk—sore itu berjalan sesuai ekspektasi Heri Nugroho. Sebagai dosen pengampu, Heri mengawali kuliahnya dengan menyampaikan petunjuk kepada para mahasiswa. “Bagaimana beliau [Pak Nevi] bisa menyusun garis-garis. Bisa menyaksikan dan mengaitkan karya-karya yang dipamerkan ini dengan pengalaman-pengalaman kuliah estetika. Nanti teman-teman, setelah menonton lukisan, bisa bertanya kepada Pak Nevi,” ujarnya.

Kendati momen kuliah, menurut Heri, mahasiswa hendaknya jangan anggap sebagai pertemuan biasa. Ia menekankan makna refleksi dari gugusan pengalaman seniman. “Budaya estetika itu harus kita alami. Bikin nilai A itu berapa garis? Bikin nilai itu gampang. Kuliah itu gampang. Tapi menjadi SDM yang baik dan bagus itu tidak mudah. Setiap di frame lukisan selalu ada makna yang berbeda. Maka kumpulkan pertanyaan ya untuk nanti disampaikan kepada Pak Nevi,” pesan Heri membuka kuliah.

Perpindahan ruang kuliah dari Sewon ke Panggungharjo bukan tanpa sebab. Heri mengatakan, meski mahasiswa di kelasnya berlatar belakang film dan televisi, basis utama berupa garis-garis visual harus dikuasai mahasiswa. Kunjungan kelas Nirmana di pamerannya Pak Nevi ini diharapkan membekali keterampilan seni rupa bagi mahasiswa. 

“Kebetulan kami di kelas juga sedang ada materi tentang pengembangan garis. Jadi, ketika karya-karya Pak Novi ini bahan utamanya adalah garis maka sangat penting untuk teman-teman apresiasikan dan jadikan bahan untuk observasi,” ungkapnya lebih lanjut. Selain pertimbangan ilmu, ternyata Heri punya ikatan keluarga dengan Pak Nevi. “Kebetulan putranya Pak Novi, Mas Tegar, itu adik ipar saya.”

Dari teori ke praktik memang paripurna bila mengamati langsung di galeri seni. Heri menilai, elemen utama dalam kajian perfilman berakar dari seni rupa. Salah satu pokoknya adalah ihwal framing seperti tampak pada seni lukis. Karya-karya Pak Nevi yang kaya akan sapuan garis, titik, dan arsiran dianggap cocok bagi pengayaan pemahaman mahasiswa yang belajar film dan televisi.

“Kembali lagi bahwa awal framing itu terjadi pada seni lukis atau seni rupa. Sehingga temen-temen diharapkan akan lebih peka terhadap frame-frame. Nantinya mereka yang mereka akan bikin adalah frame yang bergerak, yang berawal dari frame-frame yang statis atau berawal dari frame-frame lukis,” terangnya lebih lanjut.

Sebuah Ledakan

Nanang Rakhmad Hidayat, dosen Prodi Film dan Televisi, menangkap energi luar biasa di balik sarana tematik karya Pak Nevi. Energi itu tampak pada visualitas yang merangkum antara dunia dan langit. “Aku menangkap energi yang luar biasa di situ dan kemudian ada nuansa wisata alamnya. Jadi, kayak di pameran ini kita dihadapkan pada wilayah-wilayah yang tidak kita lihat sehari-hari. Menurutku, ini sebuah ledakan yang luar biasa,” ujar seniman dengan panggilan akrab Nanang Garuda ini. 

Sejauh pengalaman Nanang selama menyaksikan pameran, dirinya belum pernah melihat karya dengan tinta bolpoin di atas kertas seenerjik Novi Budianto. “Kalau [karya bermediakan] ini sih mungkin nggak hanya Pak Nevi ya. Tetapi muatan pesan dan kekayaan dimensi spiritual, juga imajinasi, Pak Nevi luar biasa,” katanya. Kekagetan Nanang berlanjut saat melihat karya Pak Nevi punya aneka tema satu sama lain. “Mengamati satu lukisan iso setengah jam lebih karena detailnya itu memaksa kita untuk menafsir,” imbuh Nanang.

Ditanya soal kategorisasi karya, Nanang menjawab unsur surealis. Namun, surealismenya itu kadang disusun dengan anasir realisme. Di tengah “isme-isme” seni rupa, Nanang kurang bersepakat dengan pengkategorian kaku semacam itu.

“Saya capek hidup dikategorikan-dikategorikan begitu. Nek koyo ngono kuwi ngembangan. Intinya, [setiap karya] saling bersinggungan. Yang jauh lebih penting dari sebuah karya itu makna pesan yang dikandung. Tidak hanya skill tetapi maknanya apa. Nggak lengkap nek nggak ada penuturan langsung dari Pek Nevi sendiri. Tapi bukan salah benar tapi implementasi kemudian untuk melengkapi narasi dari banyak layer perspektif,” tandasnya.

Tatkala memasuki sesi tanya-jawab, berbagai pertanyaan mengucur untuk direspons “sang dosen” Novi Budianto. Pertanyaan itu seputar berapa lama waktu pengerjaan suatu karya, cara merawat energi kreatif, maupun masalah karya mana paling berkesan bagi perupa. Menjawab satu persatu pertanyaan, Pak Nevi banyak bercerita proses kesenimanannya. Ia menceritakan proses terjun ke dunia seni sejak tahun 1976. Berawal dari teater, seni rupa, musik, dan kegiatan kebudayaan lainnya.

“Dalam berkesenian jangan berpikir fakultatif. Nek seni rupa, seni rupa tok. Di dunia seni semua itu saling terkait. Dialog aja ada musiknya kok. Bagaimana geraknya bisa berkomunikasi, dalam dialog ada musik, dan lain sebagainya. Yang saya ingin tekankan kepada generasi muda itu mari kita peduli dan nyinauni. Nyinauni itu mau belajar. Dari apa-apa yang sudah dilakukan oleh pendahulu kita. Dengan demikian, kita bisa melangkah lebih jauh. Saya berkesenian 99 persen hampir semua dari pengalaman yang saya lakukan. Nggak menyangka saya sebagai guru seni rupa sudah 30 tahun diperjalankan bisa keliling dunia bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng,” papar Pak Nevi.

Lihat juga

Back to top button