GEMBIRA DAN MERIAH DALAM MEMAHAMI HIKMAH

(Liputan singkat Pengajian Padhangmbulan Menturo Sumobito Jombang, Selasa, 7 Maret 2023)

Pengajian Padhangmbulan (Selasa, 7 Maret 2023) berlangsung penuh kegembiraan, meriah, akrab, tetapi sekaligus padat pendalaman ilmu. Kegembiraan tak hanya terasa dalam setiap interaksi jamaah dengan Mbah Nun, tetapi juga pada setiap partisipasi jamaah, misalnya ketika Mas Nugroho naik ke panggung merespons Mas Madjid Lemud Samudro yang memberi kesempatan jamaah untuk berkolaborasi bernyanyi. Mas Nugroho adalah pimpinan produksi JTV yang merekam acara-acara Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng di Surabaya. Malam itu dia bawakan dua nomor Campursari. Kontan ini membuat jamaah yang lain terpanggil maju untuk berjoget. Jamaah pun tahu ternyata Mas Nugroho pintar menyanyi juga.

Selain itu, interaksi menyenangkan dan menggembirakan berlangsung ketika kelompok-kelompok workshop dari Jamaah tampil presentasi menyajikan hasil diskusi mereka. Clekopan apresiatif tiba-tiba terdengar dari jamaah, ”I love you…,” menanggapi satu kelompok yang terdiri tiga adik-adik perempuan yang cukup bagus jawabannya. Salah satu jawaban mereka atas pertanyaan pelajaran hikmah apa yang diperoleh dari mengikuti pengajian Padhangmbulan adalah dia terlatih untuk tidak terjebak pada cara berpikir dikotomis hitam putih alias binary opposition. Hidup tidak hitam putih seperti itu. 

Rupanya dua adik perempuan dari kelompok II ini adalah putrinya Pak Suroto. Ia adalah anggota kelompok I. Jadi, bapak dan anak-anaknya maju berpartisipasi. Luar biasa. Lebih luar biasa dan sangat menyenangkan mendengarkan Pak Suroto mengatakan bahwa mengikuti pengajian Padhangmbulan membuatnya semakin punya rasa cinta dan kasih sayang kepada keluarga, tetangga kanan-kiri, dan teman-teman Maiyah, serta dia merasa hidupnya menjadi lebih terarah. 

Ya, malam itu Padhangmbulan menghadirkan tema Jagat Hikmah. Mas Saiful yang telah menulis mukaddimah di awal memaparkan tadabbur atas surat An-Nahl ayat 125 yang di dalamnya terdapat seruan dari Allah agar kita mengajak masuk ke dalam jalan rabb (sabili rabb) secara hikmah. Di tangan Mas Saiful, ayat ini detail mengundang pertanyaan pembuka ilmu. Misal, mengapa yang diserukan itu menuju sabili rabb. Pada terminologi ini pun muncul pertanyaan. Mengapa Allah memilih kata sabil, bukan sari’, thariq, atau shiroth. Juga mengapa Allah memilih rabb, bukan ilah, atau malik. Demikian pula pada bilhikmah, mengapa Allah memilih hikmah dan bukan yang lain misalnya bilhaq. Mas Saiful membabar pertanyaan demi pertanyaan untuk meraih tadabbur atas ayat ini serta mengajak masuk pada etimologi kata hikmah dalam bahasa Arab. 

Mbah Nun tentu saja mendampingi proses tadabbur ini. Saat fokus pada pembahasan tentang rabb, Mbah Nun juga mengingatkan bahwa sifat Ahad itu bermakna pula ke-wungkul-an seluruh sifat-sifat Allah. Itulah sifat Ahad Allah menurut Mbah Nun. Jadi, tak ada sedikit pun yang krowak pada keseluruhan sifat-sifat Allah. Semua lengkap dan utuh. Selain itu, seluruh keutuhan itu terjadi tanpa dialektika. Tanpa pasangan. Allah Maha Tunggal. 

Jagat Hikmah secara implisit juga mengisyaratkan bahwa luasan hikmah itu bisa seluas jagat. Tidak hanya luasnya yang disinggung oleh Mbah Nun, tetapi saat merespons lagu beliau yang diaransemen oleh KiaiKanjeng dan malam itu dibawakan Lemud Samudro, Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu, bahwa sejatinya manusia dalam hal ilmu itu berguru kepada Allah. Hanya saja ungkapan seperti ini tidak lazim saat itu ketika kali pertama puisi itu ditulis Mbah Nun dan dimusikalisasikan. Bahkan sampai saat ini pun juga tidak familiar. Berguru adalah kepada guru, dosen, Profesor, syaikh, mursyid, dan yang sejenis. Namun, dalam konteks yang hakiki, sesungguhnya manusia berguru kepada Allah. Allah yang memberikan ilmu, ilham, inspirasi, dst. Kenyataan ini dijelaskan sendiri oleh Allah dalam sejumlah ayat. Misal, ’allamal insana ma lam ya’lam. Allah mengajarkan kepada manusia apa yang mereka tidak ketahui. 

Ayat lain adalah QS Al-Baqarah ayat 32 di mana Allah menjelaskan bahwa Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama segala hal. ”Kalian datang ke Padhangmbulan coba siapa yang sebenarnya memberikan ide, dorongan, dan inspirasi?, tanya Mbah Nun kepada anak-cucunya. Mbah Nun juga menegaskan bahwa Allah memiliki sifat Al-Khobir yang berarti Maha Memberikan kabar/petunjuk/ilham/gagasan, dll. Jalannya ada dua. Ada yang secara langsung dan ada yang melalui tanda-tanda atau sinyal. Malahan lebih jauh, Mbah Nun mengatakan jika kita mengalami situasi sulit, misalnya dalam bisnis dan membutuhkan ide-ide atau terobosan baru, maka Surat Al-Baqarah ini bisa dijadikan wirid. Sebab, dari ayat ini pun, sesungguhnya dapat dirasakan bahwa cakupan ilmu yang diajarkan Allah sangatlah luas, termasuk di dalamnya adalah ilmu berupa ide yang sedang kita butuhkan. 

Maka, demikian pula dengan hikmah, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kebijaksanaan walaupun kata hikmah juga diserap sebagai kata tersendiri, Allah Maha memberikannya. Tentang Allah memberikan atau mengajarkan hikmah juga terdapat sejumlah ayat Al-Qur’an yang menjelaskannya. Sementara itu, mempertajam pemahaman tentang jenis ilmu yang bersifat langsung dari Allah, Mbah Nun mengajak jamaah Padhangmbulan menyimak Al-Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 65. Pada ayat ini terdapat asal-usul kata Ladunni. ”Anda punya kans dan bakat untuk ladunni, karena di sini Anda dibiasakan untuk kontak langsung dengan Allah dengan mengasah kepekakaan ruh,” papar Mbah Nun. 

Penyelaman atas jagat hikmah juga melibatkan para jamaah Padhangmbulan melalui tiga kelompok yang telah maju ke panggung. Mereka diminta mendiskusikan tiga hal. Pertama, sejauh mereka memahami, bagaimana posisitioning antara kebenaran, kebaikan, dan kebijaksanaan. Kedua, bagaimana mereka mentadabburi QS. An-Nahl ayat 125. Ketiga, sepanjang mereka mengikuti pengajian Padhangmbulan, pelajaran hikmah apa yang mereka peroleh. 

Dari diskusi tiga kelompok ini ternyata muncul berbagai paparan yang menarik dan menggambarkan bahwa teman-teman dalam setiap kelompok ini adalah para pembelajar yang sungguh-sungguh. Hal yang sangat diapresiasi oleh Cak Dil dan Cak Nas yang malam itu turut membersanai Jamaah Padhangmbulan. Namun menarik bahwa hikmah yang lazim kita kebijaksanaan juga langsung diterapkan langsung oleh Mbah Nun dalam merespons jawaban ketiga kelompok. 

Ambil contoh, jawaban untuk pertanyaan pertama. Tidak ada yang menggambarkan positioning antara kebenaran, kebaikan, dan kebijaksanaan, melainkan mereka lebih melihat ketiganya dalam tatanan stratifikatif, atau bahkan melalui pengertian yang berbeda antara kebenaran, kebaikan, dan kebijaksanaan tanpa terlalu ada keterkaitan. Di sini Mbah Nun mengapresiasi semua jawaban dengan mengatakan bahwa ternyata positioning tersebut dapat berupa pola lingkaran, pola stratifikasi, dan pola jagat. Mbah Nun tidak mendesakkan pemahamannya kepada ketiga kelompok tersebut, sebaliknya mereka mendapatkan apresiasi dari Mbah Nun. 

Sementara itu pola lingkaran yang dipahami Mbah Nun adalah lingkaran paling dalam adalah kebenaran, kemudian lingkaran kecil kebenaran ini dilingkari oleh lingkaran kebaikan, dan dua lingkaran ini dilingkari oleh lingkaran. Artinya, kebenaran adalah hakikat, kebaikan adalah tariqat, dan kebijaksanaan adalah ma’rifat. Selain itu, dari pola ini ditemukan bahwa tidak mungkin kebijaksanaan tidak mengandung kebaikan dan kebenaran. 

Itulah sedikit petikan bahasan mengenai hikmah dari pengajian Padhangmbulan malam itu. Bahasan ini masih berlanjut dengan berkaitannya hikmah dengan silmi (universalitas hidup/pola jagat), bahwa berpikir hikmah berarti menjadikan semua hal dapat ditemukan mujadalahnya secara utuh (wa jaadilhum billati hiya ahsan), bahwa hikmah juga berarti kemampuan memilah mana yang ilusi dan mana yang kenyataan dan fakta. Bahkan Mbah Nun juga sampai pada rasa dan pemahaman bahwa hikmah adalah syariat. 

Kegembiraan di Padhangmbulan malam itu tidak hanya terasakan dari interaksi dengan kelompok-kelompok yang maju yakni dengan terbitnya kegembiraan ilmu, tetapi juga dengan kebersamaan bersama teman-teman Lemud Samudro yang selalu istiqamah menemani jamaah Padhangmbulan melalui wirid, dzikir, dan nomor-nomor shalawat dan lagu-lagu yang dihadirkannya. Malam itu teman-teman Lemud Samudro membawakan beberapa lagu KiaiKanjeng dengan apik. Pukul 00.30 WIB pengajian Padhangmbulan malam itu diakhiri dengan doa yang dipanjatkan oleh Mbah Nun dan diamini oleh semua jamaah yang hadir. []

Dok. Foto: Hariadi.

Lihat juga

Back to top button