“GEGOLET” MENYELAMI MASA SILAM UNTUK KINI DAN AKAN DATANG

Malam itu (Rutinan Maiyah Cirrebes, 28 Juni 2025, bertempat di Pendopo Desa Pasuruan, Pebedilan, Cirebon) kita berkumpul dalam semangat gegolet—sebuah kata sederhana tapi punya getaran makna yang dalam: proses pencarian. Kata ini umum dipakai oleh orang Jawa, khususnya rumpun Banyumasan, dan Losari adalah salah satu daerah yang masih aktif memakainya. Akar katanya adalah golet, yang berarti cari. Tapi ketika ditambahi imbuhan ge‐, maknanya bukan hanya jadi cari, melainkan menandakan proses. Proses yang pelan, penuh pertimbangan, dan tidak terburu-buru. Seperti saat kita kehilangan sesuatu yang berharga, lalu kita mencari—bukan dengan gegabah, tapi dengan penuh rasa. Kita menyusuri jejaknya satu demi satu, bertanya ke orang-orang, mengingat-ingat kembali kapan terakhir kita melihatnya.

Dan malam itu kita diajak gegolet bareng. Bukan pada sesuatu yang bersifat materi, tapi pada sesuatu yang hakiki: diri kita sendiri. Siapa kita sebenarnya? Dari mana kita berasal? Untuk apa kita hidup? Apa warisan yang dititipkan para leluhur kepada kita, dan bagaimana kita memaknainya di tengah zaman yang berubah begitu cepat?

Dalam proses gegolet itu, kita menemukan bahwa leluhur kita—orang tua yang hidup jauh sebelum kita—bukan sekadar petani, nelayan, atau tukang kayu. Mereka adalah manusia-manusia spiritual. Mereka hidup dengan akrab bersama alam, bukan sebagai penguasa, tapi sebagai saudara. Mereka bisa membaca tanda-tanda alam, tahu kapan musim akan berubah, tahu kapan tanah butuh istirahat, tahu kapan laut sedang murka. Dan pengetahuan itu bukan hasil riset laboratorium, tapi hasil kepekaan, perenungan, dan kesetiaan pada siklus hidup.

Di Losari, sampai hari ini masih ada tradisi sedekah bumi dan sedekah laut. Tradisi yang dulu begitu sakral, menjadi jembatan antara manusia dan semesta. Tapi kini, kita menyaksikan sendiri, banyak dari tradisi itu berubah menjadi seremonial semata. Kita rayakan, kita dokumentasikan, tapi sering tanpa kesadaran mengapa itu dilakukan. Nilai spiritual yang dulu menyala, kini redup. Yang tersisa hanya panggung, panggung yang hening tanpa jiwa.

Di sinilah kita perlu memakai anugerah terbesar yang kita punya: akal. Dalam filsafat Stoik, manusia disebut sebagai makhluk berakal/bernalar—yang punya kesadaran untuk hidup selaras dengan alam dan memahami takdirnya. Dalam Islam pun demikian, manusia diberi akal bukan untuk menguasai, tapi untuk memahami. Maka memahami tradisi leluhur bukan sekadar melestarikannya secara fisik, tapi merenungi maknanya. Kenapa leluhur kita melarung makanan ke laut? Apakah itu bentuk syirik? Atau justru bentuk syukur? Mungkin sesaji itu adalah cara mereka berbagi kepada semesta, memberi makan kepada ikan, kepiting, dan makhluk-makhluk laut lainnya, agar keseimbangan tetap terjaga.

Tapi kita hidup di zaman yang jauh berbeda. Zaman yang membuat kita semakin asing dari alam. Kita bangun rumah dengan tembok tinggi, kita hidup dengan AC menyala siang malam, kita belanja makanan dalam plastik, dan kita tidak pernah tahu dari mana air kita berasal. Keterhubungan kita dengan alam makin lemah. Yang kita lakukan terhadap bumi seringkali hanyalah eksploitasi—hutan ditebang, laut dicemari, tanah dikeruk sampai dalam untuk ditambang. Kita hidup dari alam, tapi sering lupa bersyukur padanya.

Di titik ini, saya melihat berapa jauhnya kita terseret dari nilai-nilai yang dulu dijaga oleh para leluhur. Mereka tidak sekolah tinggi, tapi mereka paham betul batas-batas hidup. Mereka tidak bicara soal “ekosistem” atau “konservasi”, tapi mereka tahu kapan harus berhenti mengambil alam. Mereka tidak menyebutnya spiritualitas, tapi mereka menjalankannya setiap hari.

Maka malam itu, kita gegolet bersama. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk memahami dari mana kita datang, agar kita bisa melangkah ke depan dengan lebih sadar. Kita mencoba menggali nilai-nilai spiritual yang selama ini mungkin tertimbun debu modernitas. Kita gunakan akal kita untuk merenung. Kita bertanya: Apakah cara hidup kita hari ini masih selaras dengan bumi yang menumbuhkan kita? Dengan laut yang memberi makan kita? Dengan angin yang menyegarkan napas kita?

Malam itu kita pulang membawa pertanyaan-pertanyaan itu, dan menjadikannya bahan renungan pribadi, maka saya rasa proses gegolet kita sedang berlangsung. Dan jika satu orang sadar, mungkin ia bisa membangunkan yang lain. Kalau satu komunitas sadar, mungkin akan lahir gelombang kesadaran yang lebih besar. Sebuah kesadaran komunal—yang lahir bukan dari ideologi tapi dari cinta yang dalam pada bumi, pada hidup, dan pada Tuhan.

Lihat juga

Back to top button