DUALITAS DAN DIALEKTIKA KEBENARAN

Pertanyaan-pertanyaan Mbah Nun selalu menukik hingga makna dasar pengertian. Di hadapan jamaah Padhangmbulan Mbah Nun bertanya apa arti hayah? Kita semua mafhum kata tersebut jamak diartikan “hidup”.

Jawaban itu mungkin dirasa belum menyentuh dasar pengertian sehingga beliau melanjutkannya: mengapa dikatakan hidup? Belum ada respons dari jamaah. Saya juga menyangka pertanyaan akan selesai dengan jawaban itu.

Inti dari hidup atau hayah adalah tumbuh, tidak diam, tidak mandeg. Tanda kehidupan yang dibingkai oleh ruang adalah adanya pertumbuhan. Sedangkan dalam bingkai waktu hidup adalah aliran. Tumbuh dan mengalir, itulah hidup.

Pengertian itu tidak hanya berlaku pada jenis makhluk seperti manusia, hewan, atau tumbuhan saja. Semua makhluk Tuhan—makhluk hidup dan benda mati sekalipun—yang berada dalam bingkai ruang dan waktu mengalami pertumbuhan dan aliran. Mereka hidup karena dihidupkan oleh Allah Swt Yang Menghidupkan.

Demikian pula pemahaman, pengertian, pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran, penelitian, perenungan juga mengalami dinamika pertumbuhan.

Ringkasnya, kebenaran dalam lingkup right, truth, dan haq tidak statis. Mereka diberi titah mengalami dinamika pertumbuhan dan bergerak dalam aliran. Kebenaran pada level apa pun, dengan demikian, akan  terus bergerak, tumbuh, dan mengalir. 

Hari ini kita boleh meyakini kebenaran tentang suatu hal. Besok atau lusa, atau beberapa tahun yang akan datang kita akan meralatnya. Sudut pandang hingga lingkar pandang yang tumbuh dan berkembang akan merevisi kebenaran itu sendiri.

Bagaimana hal itu terjadi? Mengutip pikiran Mas Sabrang tentang dualitas (Baca: “Kenduri Cinta Membaca Ranjau Zaman”): kita menggunakan perspektif tersebut untuk memahami bahwa kebenaran adalah “makhluk hidup” yang mengalami pertumbuhan. Dalam konteks tulisan ini dualitas yang dimaksud adalah “dialektika internal” dalam “diri” manusia. Dialektika itu terjadi karena kehidupan digerakkan melalui prinsip dualitas

Salah satu realitas dualitas adalah al-haq dan al-batil. Keduanya menghasilkan dialektika dalam pikiran manusia. Dualitas tersebut bertemu dalam akal melalui kegiatan berpikir. Ibarat aliran listrik yang memiliki kutub positif dan kutub negatif, dualitas haq dan batil menghidupkan aktivitas pikiran. 

Selama masih berada dalam pikiran manusia “potensi kutub“ haq dan batil tidak dapat ditentukan status kebenaran dan kesalahannya. Ia harus bertemu dan dipertemukan dengan realitas objektif di luar pikiran. Mbah Nun menyatakan hal tersebut sebagai hukum “dak tentu” (Baca: “Makan Minum Dak Tentu”). Haq dan batil tidak berdiri sendiri; ia berada dan menjadi bagian dalam konteks realitas. 

Oleh karena itu, aktivitas berpikir yang menghasilkan kesimpulan atau keputusan dinyatakan benar atau riil (haq) apabila sesuai dengan realitas objektif. Sebaliknya, dinyatakan salah atau ilusi (batil) apabila tidak sesuai dengan realitas objektif. Realitas Objektif—dengan R dan O huruf kapital—adalah Allah Swt.

Kita tidak dapat mengunci kebenaran bahwa hukum mengerjakan shalat lima waktu adalah wajib. Kesimpulan atau keputusan tersebut perlu diverifikasi dengan konteks di mana hukum tersebut diberlakukan pada seseorang. Jika realitas objektif seorang perempuan sedang mengalami menstruasi, maka mengerjakan shalat fardlu hukumnya adalah haram.

Itu simulasi sederhana. Adapun realitas objektif yang berada di luar kesadaran pikiran tidak sesederhana simulasi di atas. Realitas tersebut memiliki dimensi, lapisan, lipatan, tikungan, nuansa, aroma yang sangat-sangat kompleks. Satu hal yang objektif—disadari atau tidak disadari—kompleksitas realitas objektif itu ditegakkan oleh prinsip dualitas. Dualitas inilah yang menyebabkan realitas, baik yang berada dalam pikiran manusia atau pun di luar pikiran, hidup dan mengalir.

Ringkasnya, apa pun yang diciptakan Tuhan, yang kita menyebutnya makhluk, pasti terikat prinsip dualitas supaya dialektika kehidupan berlangsung. Yang pasti tidak memiliki dualitas hanyalah Realitas Objektif bernama Allah Swt. Qul huwallahu ahad. 

Ketika dialektika kebenaran dihentikan melalui cara-cara yang ilusif (batil), misalnya dengan berupaya meniadakan salah satu unsur dari dualitas, selain hal itu mustahil berhasil, upaya tersebut tak ubahnya menghentikan kehidupan itu sendiri. 

Seseorang atau siapa pun tidak cukup bodoh secara terbuka mengumumkan dirinya adalah tuhan. Cara ini terlalu primitif, telanjang, dan tidak efektif. Yang efektif adalah dengan cara menuhankan diri, yakni melenyapkan salah satu unsur dualitas agar tidak terjadi dialektika sehingga kebenaran tunggal versi dirinya tidak seorang pun berani menggugatnya.

Tuhan dengan huruf “t” kecil ini justru mematikan kehidupan.

Jombang, 13 Februari 2023

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button