Biting Kuburan
Setelah selesai Maiyahan dari Bojonegoro, lanjut gerilya ke Surabaya. Saat itu waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 02.00 dinihari. Seperti biasa keadaan kota Surabaya sudah tidak seramai dulu lagi, beberapa tempat Wedangan telah banyak yang tutup.
Namun entah bagaimana caranya Allah, menggiring kami bersama Mbah Nun bisa mengarah ke Area Makam Kanjeng Sunan Bungkul, yang di dalam Komplek Makam itu ada Makam Cucu Mbah Sayyid Sulaiman.
Dulu sebelum taman bungkul ramai seperti sekarang ini, beliau juga pernah napak tilas ke makam tersebut, seperti masuk ke halaman rumah sendiri, beliau bahagia seakan-akan mengenang perjalanan hidup yang pernah beliau tempuh.
Alhamdulillah dari sekian depot ternyata masih ada warung yang buka, kemudian kami semua singgah di warung sederhana itu, sambil menikmati wedang teh kesukaan beliau. Mbah Nun selalu menganjurkan diskusi dan evaluasi tentang Sinau Bareng yang telah beliau persembahkan kepada Masyarakat Maiyah.
Sungguh beliau selalu menelaah setelah Sinau Bareng selesai. Bukan berarti tidak mengerti, namun beliau mawas diri kalau sajian lengkap beliau suguhkan kepada khalayak umum kurang menyenangkan atau kurang pas dan sebagainya. Beliau detail terhadap hal sekecil apa pun. Sudah baik pun beliau teliti untuk menemukan garis sempurna.
Padahal kalau boleh memuji, musik KiaiKanjeng tentu sudah sangat istimewa. Bahkan luar negeri pun mengakui. Para pemain musik KiaiKanjeng tak pernah sedikit pun meremehkan peranan masing-masing terhadap alat musik. Beliau semua sangat khusyuk. Mungkin saking halusnya para Pakde saat membunyikan alat musik.
Coba dengar dan lihat dengan fokus. Ketika Pakde Joko Kamto berteriak lengking, dengan nada suara khas unik dan magic, memandu awal gamelan KiaiKanjeng pertama dibunyikan. Dengar, lihat, dan rasakan dengan hati. Saya pribadi memberanikan diri menyatakan, suara teriakan Pakde Joko Kamto itulah, pertanda Bismillah-nya musik KiaiKanjeng dimulai. Musik Kiaikanjeng bukan hanya baik dan enak, tetapi sungguh “Asyik Lanaa” (wes talah gak kiro nemmu).
Baiklah, agar tak melebar kemana-mana kita kembali ke warung sederhana sambil menikmati wedang teh bersama Mbah Nun. Tidak begitu lama, hadirlah juru taman Makam Kanjeng Sunan Bungkul, datang menghampiri Mbah Nun. Seperti orang sudah akrab, dia langsung duduk di sebelah Mbah Nun sambil bersalaman. Dengan wajah ceria, dia nyeletuk ucapan khas logat surabaya, “Ngapunten Mbah, biasa sik tas mari main golf” (mohon maaf Mbah, biasa barusan selesai main golf)
Mendengar kalimat “main golf” kami spontan merespons, kalau yang dimaksud main golf oleh juru taman itu adalah “Nyapu Halaman”, sontak kita semua tertawa. Saat tertawa belum selesai, juru taman itu bercerita kalau semua barang miliknya berupa jam tangan, baju, sandal sampai sepeda motor bermerk Casio alias Kasih Orang.
Di dalam suasana warung sederhana itu terlihat gembira, sampai pemilik warung pun diam diam ikut tertawa pula. Beliau Mbah Nun menjelaskan kepada kita, betapa hebat Rakyat Nusantara, sudah jelas-jelas pekerjaan sebagai tukang sapu halaman, masih saja ia sikapi dengan rasa syukur mendalam. Menyapu halaman pun dinikmati bagai seorang Pemain Golf.
Walaupun Biting namun berada di tangan orang-orang yang gemar bersyukur, ia bukan hanya dapat membersihkan halaman, insyaAllah hati dan pikiran bersih dari segala dendam pun kedengkian.
Q.S. Al-Baqarah ayat 152.
فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ
Artinya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
Surabaya, 05-16/10/22