BERMAIYAH DENGAN MENGALIRKAN MATA AIR AKSARA DARI AL-QUR’AN

(Liputan Majelis Ilmu Mocopat Syafaat Yogyakarta 17 Desember 2022)

Seandainya di penghujung tahun 2022, ada survei yang menilai berapa persen dari jumlah kaum muslimin Indonesia yang tidak bisa membaca Al-Qur’an, maka besar kemungkinan prosentasi buta huruf Al-Qur’an dominan. Ketika mbah Nun bertanya pada audiens Maiyah pada malam itu, berapa banyak yang sudah bisa membaca Al-Qur’an? Yang mengangkat tangan juga sangat “sedikit” jumlahnya. Tema “belajar huruf Hijaiyah” ini menghadirkan beberapa narasumber pada acara Mocopat Syafaat 17 Desember 2022.

Metode “Manhal” diperkenalkan sebagai salah satu metode terbaru untuk belajar Hijaiyah Al-Quran.  Secara historis metode ini awalnya dibuat oleh alm. Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) yang ia peruntukkan untuk anaknya, lalu oleh Mbah Fuad (Marja’ Maiyah ustadz Drs. Ahmad Fuad Effendy, MA) disempurnakan dicetak dalam 4 jilid buku. (semoga karya metode Manhal ini menjadi amal jariyah bagi beliau-beliau tsb, amin). Nama Manhal dinisbatkan dari nama Rumah Maiyah Al-Manhal yang artinya “mata air”. 

Sebelumnya kita mungkin telah mengenal ada metode IQRA, metode Umi, metode Al Barqi, metode Qiraati dsb. Mbah Nun mengatakan sebaiknya ada presentasi yang dapat mengkomparasikan metode-metode pembelajaran membaca Al-Qur’an tersebut. Bukan untuk sekadar membanding-bandingkan, apalagi mencari kekurangannya. Namun mengkomparasikan dalam konteks ber-fastabiqul khairat, untuk menggali mana cara termudah yang paling efisien di antara semua metode yang ada. Karena hidup itu sendiri secara filosofis selalu bermuatan komparatif. 

Al-Qur’an juga mengenalkan kepada kita sistem binary; ada malam ada siang, ada terang ada gelap, ada mudah ada sukar, ada lurus ada bengkok dsb. Setiap metode tentunya memiliki keunggulan komparatifnya masing-masing. Dan yang terpenting lagi, setiap orang nanti bisa memilih metode mana yang lebih sesuai dengan kecenderungannya masing-masing (wijhatun) dalam belajar membaca Al-Qur’an.

Bila metode IQRA menekankan pengenalan pada wujud huruf hijaiyah (pendekatan secara visual) sementara metode UMI mengenalkan pembelajaran lewat mahkraj bunyi-bunyian (pendekatan secara auditory), maka metode Manhal merupakan wujud sintesa dengan merajut dari kedua model pendekatan tersebut. Menyatukan thariqah shautiyah (pendekatan lewat bunyi) dan thariqah abjadiyah (pendekatan lewat simbol).

Tak mengapa belum atau terlambat untuk mampu membaca Qur’an, karena sejak terpancang niat di dalam hati untuk mempelajari Al Qur’an, maka pada momentum itu kita sudah masuk dalam peluang “disenangi oleh Allah”. Agama menyampaikan kepada kita, setiap perjuangan membunyikan satu aksara dari Al-Qur’an, kita sudah mendapat ganjaran penghargaan dari Allah (pahala).

Di tengah atmosfer orang-orang nyaris di seluruh dunia, untuk nongkrong ingin pantengin nobar Piala Dunia langsung pertandingan Maroko lawan Kroasia, maka sungguh menarik menyaksikan acara majelis Maiyah malam itu yang memperbincangkan, berdialektika serta mengelaborasi teknik-teknik membaca Al-Qur’an secara sangat mendalam. Bayangkan betapa istimewa dan mungkin “langka” menyaksikan anak-anak muda yang hadir pada malam itu dengan segala ghirrah serta antusiasmenya lebih memilih berasyik masyuk menikmati mendiskusikan kalam Allah ketimbang larut dalam kesenangan euforia mainstream; menonton pertandingan sepakbola. Maiyah terbukti teruji dapat menghadirkan nuansa keindahan bagi yang mengikutinya. Suatu jenis keindahan yang sukar diartikulasikan, kecuali bila dirasakan ketika menghadirinya.

Cak Dil malam itu mengisahkan sepenggal nostalgia indah yang terjadi di masa sebelum tahun 70 an, di mana setiap petang anak-anak di desa-an pergi ke langgar dengan segala kegembiraannya untuk nderes Qur’an. Nderes berasal dari kata “tadarrus” yang artinya aslinya “meneliti”, kemudian secara popular dimaknai sama dengan tilawah yakni membaca Al-Qur’an itu sendiri. Mereka (anak-anak itu) belajar secara turutan. Nderes Qur’an adalah gaya hidup yang menjadi  wahana rekreatif menyenangkan bagi orang-orang dimasa itu. Tibalah masa kehadiran televisi masuk desa, yang membawa budaya baru lalu mengubah konstelasi tradisi tersebut. Sehingga suasana guyub belajar bersama di langar perlahan menghilang. Televisi merebut tradisi itu dengan menjadikan waktu magrib hingga isya sebagai acara unggulan (prime time) pilihan tayangan-tayangannya yang paling menarik. Dalam kondisi seperti itu, televisi menurut istilah mbah Nun kemudian menjelma menjadi “setan, iblis, dan dajjal” yang merusak tatanan klasik yang dulunya mengakrabkan orang-orang dengan Al-Qur’an. 

Dalam keprihatinan situasi tersebut maka lahirlah metode-metode baru itu untuk mensiasati pembelajaran tentang membaca Al-Quran di setiap rumah tangga kaum muslimin. Teknik-teknik baru itu merupakan usaha menjawab suasana krisis yang ada. Keberadaan metode-metode itu menunjukkan hadirnya para mujtahid di negeri ini, yang senantiasa berjihad lewat tenaga dan pikirannya untuk dapat tetap menggelorakan keakaraban kepada Al-Qur’an lewat kemampuan membacanya. 

Jika kita mencoba merefleksikan situasi saat ini dengan betapa dahsyatnya kehadiran berbagai platform media sosial dengan segala daya tariknya, maka pernahkah terfikir bagaimana distraksi, atau daya kompetisi yang terjadi antara relasi kaum muslimin dengan Al-Qur’an berhadapan dengan kecanggihan dunia IT yang sangat menggoda itu?

Metode Manhal menurut Cak Dil, diharapkan mampu menghidupkan kembali tradisi nderes Qur’an karena konsepnya digagas dengan menghadirkan tagline belajar secara menyenangkan, menyegarkan, mencerdaskan dan menggairahkan. Kelebihan metode ini juga pada aspek fleksibilitasnya yang dapat menyentuh segala model lapis masyarakat, sejak kanak-kanak hingga orangtua, sejak mualaf hingga mahasiswa. Artinya metode itu diharapkan dapat sampai ke situasi batin dimana orang menjadi kangen untuk membaca Al-Qur’an.

Mbah Nun mengatakan bahwa hambatan orang mampu membaca Al Qur’an bukan persoalan metodis semata, tapi juga ada problem kultural dan terutama yang paling mendasar sebenarnya berangkat dari keberadaan niat kemauan yang kuat. Manusia sebagai khalifah, idealnya dapat menyiasati segala persoalan dan tantangan zamannya. Mbah Nun sendiri membagikan kisah perkenalannya dengan Al-Qur’an sudah sejak ia masih balita dan bahkan telah menjadi qari keliling. Juz 4 dari Ali Imran : 95  قُلْ صَدَقَ ٱللَّهُ ۗ فَٱتَّبِعُوا۟ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ  (lewat bimbingan Ibunda beliau) menjadi momen pertama persinggungannya dengan kalam Allah itu. Pola pembelajaran Mbah Nun dengan Al-Qur’an adalah lewat “terjun langsung”, pembiasaan dan keteladanan (turutan). 

Kebetulan, saya yang juga mengalami masa kecil dalam rentang ujung 70-an hingga 80-an, mengalami pembelajaran Al-Qur’an lewat cara turutan. Saya hingga kini juga tidak faham mengeja huruf Hijaiyah, dan sama sekali buta terhadap metode-metode terobosan pembelajaran baca Al-Qur’an yang sangat canggih seperti yang ada di masa sekarang.

Al-Qur’an meski secara teknis menggunakan bahasa Arab, tetapi Al-Qur’an tidak sama dan sebangun dengan “bahasa Arab”. Custom-nya AL-Quran memang bahasa Arab, tetapi default-nya adalah mempelajari pilihannya Allah dalam berkomunikasi. Al-Qur’an merupakan “bahasanya Allah” (yang diperuntukkan) kepadamu. Terhadap siapa subjek tempat kita berkomunikasi, akan melahirkan konteks yang berbeda. Bersama Al-Qur’an niat komunikasi kita, ingin sambung dengan dawuhnya Allah dan tuntunannya Allah. Jika kita berkomunikasi secara formal dengan Allah lewat media do’a, maka Allah berkomunikasi secara formalnya kepada kita lewat Al-Qur’an.  

Bila Al-Qur’an itu identik dengan bahasa Arab, maka pada kenyataannya aksara seperti Alif lam mim misalnya, justru tidak dipahami oleh seluruh orang Arab. Selama ini Alif Lam Mim diterjemahkan oleh penterjemahan Al Qur’an dengan keterangan “Hanya Allah yang mengetahui maksudnya”. Tentu akan muncul pertanyaan, untuk apa ayat seperti alif lam mim diturunkan Allah, bila memang tidak dapat dipahami oleh siapapun? Pola tadabbur di maiyyah memberi jalan keluar dengan membebaskan mengelaborasi makna aksara alif lam mim, asalkan outputnya untuk kebaikan hidup. Karena setiap aksara Al Qur’an itu datang dari Allah, maka sebutlah walau dengan bermodal alif-lam-mim saja, maka seseorang sudah dapat melakukan sesuatu kemanfaatan untuk kebaikan hidupnya. 

Dalam bermaiyah, model pembelajaran tidak rigid dengan hanya melibatkan aspek ilmu atau intelektualitas saja, tapi rasa, naluri hingga seluruh sel-sel tubuh (yang jumlahnya 38 trilyun didalam tubuh) juga sebenarnya menjadi modalitas yang dapat diajak untuk belajar. Dalam bermaiyah, kita mencoba melihatnya secara holistik integral, mencoba semakin mendekati penilaian yang presisi terhadap kehidupan. 

Orang selama ini cenderung salah faham melihat acara-acara Maiyah. Bermaiyah dianggap “hanya” sekadar sebagai pengajian (dalam pengertian konvensional). Padahal ber-maiyah bisa aja disebut ngopi bareng, kegiatan mimbar bebas, forum rakyat yang merdeka, yang diselenggarakan secara terbuka buat siapapun. Maiyah adalah ruang, yang memperkenankan menampung siapa saja. Tidak ada istilah bagi yang hadir, “wah.. gue salah kostum datang kesini !” Majelis Maiyah memposisikan wujudnya seperti samudera, yang walau bangkai sekalipun yang masuk kedalamnya akan segera dinetralisir dan tidak akan mencemari wadah isi samudera itu. Mbah Nun menyampaikan, di maiyah tidak boleh berfikir firqah-firqah

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْ

..”Dan berpegang teguhlah kamu pada tali (agama) Allah bareng-bareng, dan janganlah kamu berfirqah-firqah”.. (terjemahan lisan mbah Nun dalam acara MS dari QS 3:103).

كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةً وَٰحِدَةً

Karena sesungguhnya …”Manusia itu adalah umat yang satu”… (QS 2: 213).

Mbah Nun juga menegaskan pentingnya kita mengetahui beda antara huruf dan aksara, yang oleh sebagian besar orang cenderung disamakan. Jika kita mempelajari sistem dalam bahasa Jawa dan bahasa Arab, setiap huruf dalam bahasa-bahasa tersebut merupakan aksara. Satu huruf dari satu aksara itu “sudah hidup”, berbeda dengan alfabet latin, di mana setiap huruf perlu dibantu untuk menjadi hidup. Jadi pada dasarnya beda antara Alif Lam Mim dengan alfabet  latin A L M. Juga berbeda honocoroko dengan alfabet latin HNCK.

Malam itu Mbah Nun juga menyampaikan dekonstruksi lain soal memaknai Nabi Muhammad yang kadung popular dipersepsi hanya sebagai Nabinya orang Islam sahaja. Nabi Muhammad adalah Nabi bagi seluruh umat manusia, beliau adalah Nabinya seluruh mahkluk Allah. Beliau diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (multiverse). Sejurus hal yang relevan dengan tema malam itu, juga pandangan yang kadung popular bahwa Al-Qur’an pada dasarnya bukanlah kitab yang diturunkan hanya untuk orang Islam saja. Al-Qur’an adalah hudalinnas, petunjuk bagi seluruh umat manusia. Setiap manusia, apapun suku, ras, etnis, serta identitas primordial lainnya pada dasarnya membutuhkan petunjuk Al-Qur’an. Huda menurut para ustadz memiliki akar kata yang sama dengan hidayah dan hadiah. Ya, Al-Qur’an adalah hadiah dari Allah, berupa 114 surat cinta dari Yang Maha Pengasih yang diperuntukkan kepada setiap hamba-hamba-Nya. 

Sangatta, 21 Desember 2022

Lihat juga

Back to top button