BELAJAR BERMAIYAH TANPA MBAH NUN
Jikalau mendengar kata ‘Maiyah’ maka kita akan teringat sosok Cak Nun atau sekarang kita panggil dengan nama mesra Mbah Nun. Selama bertahun-tahun Mbah Nun menemani cucu-cucunya jamah Maiyah dari kota ke kota. Di usia beliau yang hampir 70 tahun, yang seharusnya beliau istirahat agar tidak sakit, beliau tetap hadir di majelis Maiyah seperti Padhangmbulan.
Saya sebenarnya sangat kesal jika ditanya “Mbah Nun rawuh nopo mboten?”. Saya berpikir apakah dulur Maiyah ini hanya akan datang jika Mbah Nun juga datang. Kalau Mbah Nun tidak datang apakah tidak ada yang bisa kita dapatkan dari majelis Maiyah?
Memang kurang lengkap rasanya kalau Maiyahan tapi tidak ada kehadiran Mbah Nun sebagai sumber utama ilmu kita. Namun apakah pernah terpikirkan dalam benak kita bahwa di setiap majelis Maiyah yang diadakan di beberapa simpul Maiyah, ilmu yang beliau sampaikan juga turut hadir di tengah-tengah kita. Meskipun kita tidak dapat berjumpa secara fisik tetapi kita masih bisa menerapkan ilmu Maiyah itu di mana pun kita berada.
Saya sempat menitikkan air mata ketika beliau hadir di Mocopat Syafaat setelah beliau sakit tahun lalu. Entah di edisi ke berapa, dalam pembukaannya beliau berkata jika kita harus bersiap belajar Maiyahan tanpa Mbah Nun. Hati saya tersentuh dan mulai berpikir bagaimana caranya agar saya tetap bermaiyah jika hal itu terjadi. Saya belum siap menerimanya, dan saya yakin belum ada yang siap untuk menerimanya.
Dalam Padhangmbulan dua hari lalu, beliau juga menyampaikan lagi hal serupa. Beliau mengatakan “Kita sudah kehilangan beberapa sumber ilmu Maiyah, suatu hari aku ya ninggal awakmu rek, masio gak eroh kapan”. Mbah Nun menyampaikan kekhawatirannya jika beliau meninggalkan jamaah Maiyah apakah Maiyah ini akan tetap ada. Jikalau Maiyah tetap ada apakah tujuan kita bermaiyah ini sudah benar.
Saya merenungkan kembali apa yang dikatakan Mbah Nun, jika sekarang saja di majelis Maiyah yang lebih kecil kalau tidak ada Mbah Nun jamaah Maiyah juga banyak yang tidak hadir, apalagi nanti kalau simbah benar-benar meninggalkan kita apakah Maiyahan ini sangat sepi atau bahkan terancam bubar.
Saya telah mengikuti beberapa majelis Maiyah seperti Paseban Majapahit di Mojokerto yang juga terlihat nampak sepi di setiap edisinya. Tidak seramai Padhangmbulan atau Mocopat Syafaat ketika Mbah Nun hadir. Saya paham di sini tidak ada kehadiran Mbah Nun, oleh sebab itu tak banyak jamaah Maiyah yang hadir. Atau mungkin sungkan karena yang datang tidak banyak dan hanya itu-itu saja. Padahal majelis seperti ini selalu diadakan di beberapa kota secara rutin dan dibuka untuk umum. Saya melihat di kota lainnya juga sama saja seperti di Mojokerto, tidak banyak jamaah yang hadir bahkan bisa dihitung dengan jari.
Hal tersebut sepertinya tidak menyurutkan semangat penggiat simpul Maiyah atau lingkar Maiyah hingga saat ini. Setiap bulannya mereka tetap melingkar meskipun hanya beberapa orang yang datang. Dengan judul-judul yang beragam setiap edisinya disertai desain poster yang menarik, para pegiat itu tetap istiqomah menjalankannya. Saya yakin mereka membawa ilmu Maiyah itu tidak hanya ketika di lingkaran besar, mereka bahkan membawanya hingga di lingkaran-lingkaran kecil.
Saya berharap besar suatu saat jamaah Maiyah akan memiliki kesadaran bahwa Maiyah ini bukan hanya tentang Mbah Nun saja. Maiyah itu luas, kita bisa sinau bersama siapa saja. Ada Mas Sabrang, Mbah Fuad, dan marja Maiyah lainnya. Ilmu itu bisa didapatkan dari siapa saja meskipun sumber ilmu Maiyah utama kita adalah Simbah. Saya bukan pegiat simpul, tapi saya juga ingin simpul Maiyah kecil itu bisa dihadiri oleh jamaah Maiyah lainnya. Karena itu, mulai sekarang kita perlu belajar Maiyahan tanpa Mbah Nun.
Maiyahan memang sepi kalau tidak ada Mbah Nun, tapi Maiyahan akan terasa lebih sepi lagi kalau jamaah Maiyah tidak mau datang dengan alasan Mbah Nun nggak hadir. Seperti yang dikatakan Mbah Nun, saya juga merasa khawatir jika suatu saat Mbah Nun tidak ada, apakah eksistensi Maiyah juga akan tetap seperti sekarang ini?