MANUNGGALING DUKA DERITA

(Mukaddimah Pengajian Padhangmbulan, Jum’at, 29 September 2023 di Mentoro Sumobito Jombang)

Niscaya telah dihadirkan Duta yang berasal dari kalangan kalian sendiri, yang berat hatinya atas derita kalian, yang amat sangat menginginkan kedalaman keimanan kalian, serta jiwanya penuh kasih sayang kepada orang-orang yang beriman. (At-Taubah: 128)

Ini ayat kerap dibaca saat dibaan atau acara shalawatan. Sebagian besar santri hafal dan menjadikannya wirid harian. 

Tulisan ini akan mentadabburi At-Taubah: 128. Mbah Nun juga sering memaknai ayat ini melalui beberapa perspektif pemahaman. Yang menarik adalah perspektif Mbah Nun sering kali melompat dari pakem pemahaman khalayak. 

Sifat Nabi Muhammad: ”berat hatinya atas derita kalian” dimaknai sebagai rasa tidak tega. Ini pemaknaan khas dari Mbah Nun yang gamblang dipahami. Tidak tekstual tetapi kontekstual dengan ”kebutuhan” jamaah Maiyah.

Rasa tidak tega atau dalam bahasa Jawa gak mentolo merupakan ikon utama yang disebut dalam At-Taubah: 128. Ini bukan sekadar alih bahasa. Pertanyaannya adalah ada apa dengan rasa tidak tega? Mengapa tidak tega? Bagaimana mengejawantahkan rasa tidak tega dalam hidup sehari-hari?

Jawaban atas pertanyaan itu merujuk pada ”rosulun min anfisikum”. Kita boleh bertanya, ”Mengapa ayat tersebut menggunakan kata ’rosulun’, bukan ’nabiyyun’? Apa implikasinya pada internalisasi sifat Rasulullah Saw dalam diri kita?” Lebih sederhananya: bagaimana konteks pemaknaan “rosulun” pada ayat tersebut untuk gerak langkah hidup kita?

Mbah Nun menerjemahkan “rosulun” menjadi ”Duta”, orang yang diutus oleh Yang Maha Berwenang untuk menyampaikan risalah. “Otoritas untuk menyampaikan apa, tidak boleh mengemukakan apa, tidak terletak padanya, melainkan di genggaman kuasa Allah,” ungkap Mbah Nun.

Duta ini tidak berasal dari mana pun, melainkan dari ”Diri” mereka sendiri (min anfusikum). Kalau diderivasi ”Diri” memiliki ruang lingkup yang luas dan makna yang universal. “Diri” dalam ordinat budaya bangsa Arab hingga “Diri” sebagai sesama manusia.

Nabi Muhammad datang dari kalangan kehidupan orang arab, suku Qurasiy. Beliau bukan orang asing di masyarakatnya. Bukan makhluk yang tiba-tiba diturunkan dari langit. Bukan tokoh pembaharu yang diimpor dari timur atau barat lalu berkhutbah tentang monoteisme. Beliau adalah an-Nabiy al-Ummiy, seorang nabi yang autentik dan mendapatkan bimbingan langsung dari Allah Swt (Q.S. An-Najm: 3-4).

Latar belakang “min anfusikum” menunjukkan Rasulullah Saw memiliki akar perjuangan yang kuat kendati mengalami rintangan dan penolakan di Makkah. Justru karena itu, berat hatinya atas derita kalian (tidak tega) menemukan konteksnya. Rasa murni kemanusiaan mendorongnya melakukan liberasi (pembebasan) orang-orang kecil dan lemah dari penindasan. 

Misi ketuhanan (tauhid) meneguhkan tekad “manusia Muhammad” untuk membela martabat kemanusiaan, membebaskan orang-orang miskin dari penindasan politik dan ekonomi pembesar Qurasy, lalu menyelamatkan mereka dengan melakukan hijrah pertama ke Ethiopia. 

Antara Rasa Tidak Tega dan Baper

Mbah Nun menegaskan bahwa dalam lubuk terdalam hati para pemimpin seyogianya terdapat rasa tega terhadap pelecehan, penderitaan, dan penindasan yang dialami manusia. Rasa tidak tega akan menggerakkan hati, pikiran, dan perilakunya melakukan pembebasan. 

Manusia yang mendapat tugas mengemban “risalah” sebagai kepala negara, menteri, gubernur, hingga pengurus RT-RW atau tugas kepemimpinan dalam ruang lingkup yang lebih luas dan mendasar, seharusnya bertanya kepada dirinya, “Apakah aku merasa berat atas derita yang dialami manusia?”

Rasa tidak tega berbeda dengan baper dan mamel (macak melas) manakala kepentingannya tidak tercapai. Rasa tidak tega merupakan manunggaling rasa ketika penderitaan manusia adalah penderitaan dirinya. Sedangkan baper dan mamel merupakan ego yang mengkristal ketika milikmu adalah milikku, sedangkan milikku adalah milikku.

Kalau kita ingat pernyataan Mbah Nun bahwa menjadi manusia saja kita belum lulus—alias masih binatang, masih pohon, dan masih batu—ini artinya kita memang mentolo dan menjadi pelaku utama penindasan manusia. Sengkuni saja tidak sementolo itu!

Rasa tidak tega dengan derita manusia, dengan demikian, menjadi fondasi bagi doa dan harapan atas keselamatan manusia. Sifat Rasulullah Saw berikutnya adalah keinginan yang sangat kuat (harish) terhadap keimanan dan keselamatan umatnya. Ini sikap transenden ketika derita umatnya telah manunggal dalam diri Rasulullah. 

Manunggaling duka derita itu lantas ditransendenkan secara vertikal ke hadapan Allah Swt. Gerak vertikal transenden Rasulullah adalah membawa beban derita umatnya kepada Allah Swt. “Ummaty, ummaty…,” yang dibisikkan Rasulullah adalah puncak manunggal derita hidup pemimpin sepanjang zaman dengan Allah Swt.

Padhangmbulan pada Jum’at, 29 September di Mentoro Sumobito Jombang bertepatan dengan bulan kelahiran Nabi dan Rasul Kinasih Muhammad Saw. Kita kembali sinau bareng di Majelis Masyarakat Maiyah. 

Kita kembali mengingat dawuh Syaikh Nursamad Kamba bahwa jamaah Maiyah berkumpul, melingkar, berjamaah bukan terutama karena ilmu, melainkan Allah menganugerahi jiwa kita tetes-tetes kelembutan.

Mbah Nun menyebutnya Tetes Kelembutan Muhammad, dan cukuplah tetes itu ada dalam diri dan menjadi inti kesadaran kita.

Jombang, 28 September 2023

Lihat juga

Back to top button