MBAH NUN DALAM KETULUSAN DAN KEIKHLASAN MENEMANI

Tepat 27 Mei 2023, usia Mbah Nun telah sampai 70 tahun. Sejak Sabtu 29 April 2023 hingga hari ini dan entah sampai kapan, beliau kembali menulis rutin setiap hari di website caknun.com dalam kolom Tadabbur Hari Ini. Sekian tahun yang lalu saat Covid-19 melanda dunia, Mbah Nun menulis rutin dua kali sehari. Yang rutin dan panjang lagi adalah di kolom Daur dan Kebon.

Dan tentu saja, semua khalayak sudah tahu, hal semacam ini sudah puluhan tahun silam telah rutin beliau kerjakan di berbagai kolom media massa lokal maupun nasional. Belum lagi menulis naskah teater, puisi, skenario film Rayya, serta masih banyak lagi tulisan-tulisan beliau.

Apakah gerangan semua ini? Apakah karena beliau hobi dan berbakat menulis, sehingga mudah saja bagi beliau menulis setiap hari atau kapan saja? Kalau kita suka, berbakat dan bisa menyanyi, apakah kita pasti mau menyanyi? Kalau kita bisa, berbakat dan suka mengajar, apakah kita pasti mau mengajar? Begitu pula dengan melukis, sepak bola, dan sebagainya.

Seseorang yang tak memiliki artikulasi bicara yang lancar, ngomongnya nggak enak, ilmunya pas-pasan, namun nekat bersedia diajak podcast, lantas misuh-misuh dalam hatinya karena mulutnya kecut pulang podcast tak ada rokok, meskipun kemudian mendapatkan kaos. Seorang guru sekolah yang fasih mengajar lantas bergeser menjadi guide turis di Bali. Seorang ilmuwan malah pilih jadi pelayan di restoran.

Maka inilah yang pernah ditulis Mbah Nun sekian tahun yang lalu dalam kolom Daur dengan judul Ta`dib dan Kepala Dinas Tipudaya, bahwa banyak orang tahu dan paham, bahkan berhasil mengerti, tapi belum tentu bisa atau mampu melakukannya. Belum lagi: tahu, paham, mengerti dan bisa, tapi tidak ikhlas mengerjakannya. Padahal jarak dari tidak tahu menuju tahu, kasusnya adalah ketidaklulusan ujian di antara tidak tahu ke tahu.

Tantangan “mampu melakukannya” ini bukan perkara sederhana yang bisa kita lihat dalam sehari dua hari atau sebulan dua bulan, bahkan setahun dua tahun. Lihatlah orang-orang yang kemarin telah mampu atau bisa melakukan, namun kemudian mulai berguguran satu demi satu dengan berbagai sebab: entah itu nafkah keluarga yang tak cukup, hutang yang menggunung, tekanan politik dan seterusnya.

So, apakah gerangan semua ini? Menulis rutin, pementasan teater, musik puisi, terbang ke Iowa Amerika Serikat, Amsterdam, Eropa, berkeliling ke berbagai penjuru dalam dan luar negeri bersama Gamelan KiaiKanjeng untuk Sinau Bareng memenuhi undangan masyarakat luas, terjun ke Reformasi 98, Lumpur Sidoarjo, hingga mengunjungi simpul-simpul anak cucu Maiyah.

Apakah karena beliau suka, hobi dan berbakat melakukan semua itu, sehingga mudah begitu saja melakukannya? Saya kira bukan hanya persoalan suka, hobi atau bakat belaka. Melainkan lebih karena sebuah ketulusan dan keikhlasan hati beliau dalam menemani kita semua. Itulah penggerak utama kesetiaan beliau. Tanpa ketulusan dan keikhlasan, seseorang yang bisa dan mampu melakukan belum tentu mau mengerjakan.

Hingga usia 70 tahun Mbah Nun tetap menemani kita semua melalui tulisan-tulisan beliau, kehadiran langsung beliau bercengkrama bersama anak cucu Jamaah Maiyah dan masyarakat saat Sinau Bareng, Maiyahan, Tawasshulan, dan berbagai acara forum-forum rutin bulanan yang beliau harus jauh-jauh dari Yogyakarta untuk mendatanginya. Tanggal 26 Mei kemarin beliau hadir di Kenduri Cinta Jakarta.

Semoga Allah senantiasa menjaga ketulusan, keikhlasan, serta kesehatan dan panjang umur Mbah Nun. Amin ya Rabbal alamin. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad.

Banyuwangi, 28 Mei 2023

 

Lihat juga

Back to top button