Tadabbur Hari ini (14), EMBARGO MR. NYUKLUN

غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 7)

Yok Koeswoyo manusia paling mendalam dan romantis. Si Sulung Tony Koeswoyo sangat fasih terhadap nilai-nilai kehidupan. Nomo Koeswoyo liberal dan “preman”, jiwanya merdeka dan melengking. Yon Koeswoyo sehari-hari dan bersahaja.

Yok bukan santri dan tidak punya latar belakang budaya Islam. Tetapi ia memasuki Al-Fatihah dengan jiwa merdeka dan hati universal. Penghayatannya diungkapkan melalui pilihan nuansa lagu, notasi nada yang sama sekali tidak ada anasir keberlebihannya.

Saya yang dididik di Surau dan sedikit Pesantren, merasa sangat awam keindahan ketika mendengar aransemen Al-Fatihah Mas Yok.

Kalau mendengarkan lagu itu, saya merasa saya adalah jenis manusia yang Allah pernah memfirmankannya melalui term “dholuman jahula”, lalim selalim-lalimnya (meskipun kepada nilai-nilai) dan dungu sedungu-dungunya terhadap diri sendiri sehingga juga kepada Allah dan siapapun.

Lihat juga

اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ
فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ
اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ

Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh”. (Al-Ahzab: 72).

Sayalah “dhaluman jahula” itu. Setidaknya dalam suatu dimensi, ranah atau wilayah nilai hidup, saya merasa dungu sedungu-dungunya dan lalim selalim-lalimnya.

Memang tidak ada manusia maupun makhluk Allah lainnya yang punya alat dan “receiver” pada level dan dimensi apapun untuk memastikan bahwa di hadapan Allah kita ini termasuk “almustaqim”, “an’amta ‘alaihim”, “maghdlub” ataukah “dhollin”. Kelak di akhirat mestinya akan baru ada kejelasan soal itu. Tetapi saya merasa lebih selamat dengan merasa sayalah itu “dhaluman jahula”.

Kalau mau tahu persis sesuatu, mengerti akurat tentang apa saja sebagaimana “qadar”nya, saya dan siapapun tidak punya potensi atau kemungkinan untuk itu. Allah menegaskan: “Anta la ta’lam wa Ana a’lam”. Engkau tidak tahu dan Aku tahu.

Posisi “dhaluman jahula” itu membuat saya banyak melakukan kesalahan yang bodoh selama hidup saya. Di Era Bung Karno, Pak Harto, dan dekade sesudahnya, saya melakukan “dhaluman jahula”. Di era pemerintahan terkini sekarang ini merupakan puncak “dhaluman jahula” saya. Bukan saya omong salah dan bodoh, tetapi seharusnya saya jangan mengucapkan itu.

Sehingga saya dibenci oleh banyak orang yang semula menyayangi saya. Saya dibuang dari hati dan pikiran mereka. Saya disingkirkan dari perhatian mereka. Saya dicekal oleh hak-hak mereka. Saya dikucilkan. Dialienasi hampir menjadi “persona non grata”. Saya diusir, diembargo sebagai “mathruda” (terusir) persis subatansinya seperti pada 1968 saya diusir dari Pondok Gontor. Kalau pakai bahasa dari desa saya Menturo: saya nyuklun….

Emha Ainun Nadjib
12 Mei 2023.

Lihat juga

Back to top button