BERTANYA DAN NAIK MOTOR

Malam itu, saya ajak kawan saya untuk silaturahmi ke poro sedulur Lingkar Maiyah Banyuwangi. Saya kontak salah satu penggiatnya. Saya bilang saya akan datang. Kirim share loc. Setelah isya’, kami meluncur ke lokasi maiyahan yang jaraknya sekitar 20 km dari rumah kami.

Nyampek lokasi, acara sudah dimulai. Teman-teman membaca wirid Padhangmbulan. Kami masuk menyisir lewat pinggir, hingga ketemu tempat yang enak untuk duduk. Tak lama kemudian mahallul qiyam. Kami semua berdiri, melantunkan shalawat indal qiyam.

Begitu selesai shalawat, kemudian hadirin dipersilakan duduk kembali, lha kok moderatornya memanggil saya untuk turut duduk di depan bersama beberapa penggiat yang lain. Saya menolak, namun saya dipanggil lagi. Wah, gawat. Akhirnya, bismillah, saya pun tancap ke depan.

Sekitar 2 atau 3 jam Maiyahan berjalan. Saya turut “memprovokasi” bahwa setelah yang di depan bicara panjang lebar, yang hadir hendaknya segera antusias untuk bertanya. Bertanya merupakan latihan agar kita bisa mengendarai sepeda motor sendiri.

“Janganlah kita boncengan terus. Kita harus menjadi subjek. Jangan melulu menjadi objek dan apalagi langganan dijadikan objek. Dalam sinau bareng seperti malam ini semua orang adalah subjek,” demikian kira-kira kalimat saya waktu itu.

Alhamdulillah maiyahan berjalan lancar. Beberapa orang antusias pada sesi tanya jawab dan diskusi. Diselingi grup musik Maiyakustik dengan membawakan nomor-nomor karya KiaiKanjeng, seperti Rampak Osing, Hasbunallah, dan lain-lain.

Nah, paginya sebuah pesan masuk ke ponsel saya: “Apa benar dalam lingkar maiyah itu tidak ada kiainya, melainkan kiainya ada di Yogya, yakni Cak Nun?”

Pesan via WhatsApp itu berlanjut: “Mohon maaf bos, saya beraninya tanya di WA. Kalau tanya langsung pas melingkar seperti tadi malam, saya nggak bisa ngomong bos, hehehehe…”

Tak sampai di situ, dia pandai juga bergurau: “Seperti kata Sampeyan tadi malam. Berlatih bertanya sama halnya berlatih naik motor sendiri, supaya saya nggak nunut terus, hehehehe….”

Semula akan saya balas agak nanti setelah saya gosok gigi dan mandi. Namun gara-gara ada bertanya dan naik motor itu, saya tak kuasa untuk menahan tawa. Bisa saja dia bercanda seperti itu. Asem tenan.

Maka, meskipun saya belum gosok gigi, terpaksa saya balas WA tersebut dengan serius: “Tidak benar. Cak Nun bukan kiai. Beliau adalah Mbah Nun, Mbah kita semua.”

Saya sengaja menjawab dengan serius, tanpa emoticon tertawa atau pun yang lain, justru agar dia tertawa terpingkal-pingkal. Dan ternyata benar. Dia semakin jadi menertawakan saya.

“Terima kasih bos. Sekarang saya sudah bisa naik motor sendiri, hahahaha….”

 

Banyuwangi, Februari 2023

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button