SWITCH MANAJEMEN DENGAN TIRAKAT

(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Juguran Syafaat Edisi Februari 2023, Purbalingga, Sabtu 11 Februari 2023) 

Angin sore mulai menyapa Joglo Waroeng Juguran, tempat diselenggarakannya rutinan Juguran Syafaat. Ruang yang masih menyisakan kegembiraan karena anak-cucu dan Simbahnya dipertemukan dalam forum Juguran Syafaat bulan kemarin. Bersama, di hati yang masih terselimuti mendung atas kepergian Marja’ Maiyah Mbah Fuad. Sugeng tindhak Mbah Fuad. Alfatihah.

Juguran Syafaat malam itu bertema “KOHESI KAPAL NUH”. Tawashshul dan Tilawah Al-Qur’an dikumandangkan oleh Hedi. Salah satu penggiat yang hatinya selembut suaranya, menjalani hidupnya lempeng, ora ana nakal-nakale. Sungguh ceminan penggiat Juguran Syafaat adalah anak baik-baik.

Kusworo selaku moderator mengawali dengan pertanyaan “Sami sehat Mas?” kepada jamaah. Sebuah ungkapan keakraban kepada orang yang sudah lama tak bersua. Kalau diteruskan pertanyaannya adalah “Lagi mangsan apa mas? Udan bae ya mas ket wingi?”. Tapi ini acara Juguran Syafaat jadi pertanyaan pembuka tadi adalah benar-benar sebuah pertanyaan. Kalimat pertama tadi tidak merupakan basa-basi belaka yang pada peristiwa endang-endong pada umumnya ending-nya adalah berujung pada maksud sebuah maksud “Anu lg omber ora ya? Arep nyebrang—pinjam uang  sedela, mas”. Hehe, begitulah indahnya sesrawungan

***

Sesi awal diisi dengan saling sharing sesama jamaah. “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha rahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli”. 

Do’a tersebut adalah ketika Nabi Muhammad dilempari batu di Tha’if yang mengingatkan salah seorang jamaah bernama Tegar terhadap kondisi yang ditimpakan kepada Mbah Nun di medsos tetapi Mbah Nun tetap dalam kesabarannya, tetap menyayangi semua orang. Masih menyempatkan rawuh ke Juguran Syafaat menyambangi anak-cucu, betapa perhatiannya.

Sesuai pada Sirah Nabawiyah karya terjemah Syekh Nursamad Kamba, yang ditunjukkan adalah sisi Nabi Muhammad sebagai manusia. Beliau itu Nabi tapi juga sebagai manusia, tetap mengalami perjuangan penderiaan kehidupan. Salah satu pesan Mbah Nun pada Juguran Syafaat bulan kemarin adalah dalam hidup ada entitas fisik, akal, dan ruh. 

“Sebagaimana pada komunitas lain, satu dekade Juguran Syafaat juga mengalami dinamikanya sendiri, pasti ada perbedaan pendapat, ada sisi manusianya,” sambung Kusworo sebelum alunan musik dari Tita dan kawan-kawan KAJ dilantunkan.

Riswanto, penggiat kawakan Purbalingga yang malam hari itu pada posisi musisi dan pemandu shaplawat kemudian menyambung bahasan tentang awal mengenal Maiyah. “Saya tidak mengenal intelektual, teman-teman lama berangkat dari pencarian yang luar biasa. Mulai dari kungkum—berendam di pertemuan sungai, Sholawatan di candi-candi, hujan pun tetap dilakukan. Secara tidak langsung dari laku-laku tirakat seperti itu mendapat ketenangan bathin kemudian yang mempertemukannya dengan Maiyah, Juguran Syafaat dan mendapat kepercayaan untuk menjadi tuan rumah Siatnas 2014”.

Berbeda dengan lingkungan teman-teman penggiat dari Purwokerto. Mereka cenderung pada kegiatan-kegiatan pelatihan, motivasi, self-improvement sampai mendatangi ke berbagai kota. Kemudian dipertemukan dengan culture shock—kebudayaan yang berbeda dengan Purbalingga saat awal Juguran Syafaat diselenggarakan. “Paling berkesan pertama kali bertemu dengan teman Purbalingga adalah ketika shalawatan Rifangi dan Riswanto yang saat itu kultural shalawat masih sangat asing, apalagi kungkum. Belum pernah mendengar tips sukses dengan ber-kungkum,” Rizky merespon kisah dari Riswanto.

Satu nomor “Ya Imamma Rusli” dilantunkan oleh Tita dan kawan-kawan. Menjadi salah satu tanda akan beralih ke sesi kedua dalam Juguran Syafaat malam ini. Terlihat ada jamaah yang baru datang, ada pula yang membetulkan posisi duduknya, ada yang berdiri mengambil kopi lagi karena kopi di hadapannya sudah habis, ada yang mengambil rokok pada tangan kanan sedangkan tangan kirinya mengambil korek untuk nyumed. Ada yang merenung, bersama sayup Sholawat melantun.

Lanjut Rizky, mengulas Rocky Gerung ketika di Kenduri Cinta kemarin malam, “Rocky bilang kalau mengenal Cak Nun sudah dari zaman Orde Baru. Jaman Orde Baru itu politik ada dua. Satu politik pemerintah, yang kedua adalah politik Cak Nun. Jadi Mbah Nun memang arus tersendiri dari dulu. Orang-orang sekarang saja yang baru tahu kemarin ketika viral.” Paparnya lagi, “Demikianlah, di satu sisi politik Mbah Nun yang sangat kuat secara karakter dan dari sisi lainnya bahwa Mbah Nun selain sebagai tokoh aktivis yang sangat kuat beliau juga yang memiliki ‘sinyal batin’ yang betul-betul menyentuh hati jamaah Maiyah.” 

Dari itu, kita harus memperhatikan, satu faktor yang sifatnya internal, kedua yang sifatnya eksternal. Internal itu seperti refleksi diri, menenangkan batin, memiliki kewaspadaan terhadap reaksi-reaksi. Kalau eksternal adalah bagaimana kita observasi, membaca berita kejadian-kejadian secara objektif. Kedua faktor itulah yang akan menjadi bekal menghadapi tantangan jaman. Alhamdulillah kedua faktor itu terfasilitasi di Maiyah.

***

Kemudian Mas Agus Sukoco yang sudah bergabung di tengah-tengah jamaah menyambung bahasan,”Mendengar cerita dari Riswanto, Saya sungguh merasa nggrentes—tersentuh hatinya”. Mas Agus melanjutkan, “Teringat romantisme penderitaan hampir 20 tahun lalu kita masih sama-sama seperti Bima mencari Dewa Ruci, menerobos rimba raya sampai samudera. Tapi karena tekad Bima kuat akhirnya sampai pada kesejatian diri. Ilmu itu kelakone kanthi laku. Kegagahan kita terhadap teori kehidupan akan tiba-tiba runtuh ketika dihadapkan pada realitas kehidupan. Dari tirakat-tirakat seperti itulah yang mungkin menjadikan kita terlatih mengalami penderitaan.” 

Beranjak kemudian mengintervalisasi, Bunda KLC mempersembahkan alunan shalawat dengan iringan seruling. Alunan Shalawat yang dibawakan dengan nada Sunda yang esok harinya akan ditampilkan di Drama Musikal “Welas Asih Ing Buwono” secara istimewa dibawakan di Juguran malam hari itu, sungguh membuat syahdu suasana. 

Diskusi kemudian makin mengeskalasi, “Kiat sukses dengan ber-kungkum itu belum ada yang mempunyai metodenya. Maraknya hari-hari ini adalah kiat sukses dengan metode belajar kelas-kelas. Pertanyaan saya adalah ketika kungkum itu apakah ada energi tersendiri atau bagaimana?” tanya Abi, Penggiat muda asal Padepokan Rupak Picis.

“Selain kungkum, waktu itu kita juga berperjalanan ziaroh,” ungkap Rizky. “Itu menjadi salah satu hal yang membangun kerekatan satu sama lain, yaitu berperjalanan bersama. Dengan proses tirakat yang dilakukan bukan terus tidak menghadapi masalah, tapi ketika ada sesuatu hentakan dalam hidup kita memiliki kuda-kuda untuk menghadapinya. Pola pendidikan yang sekarang tidak ada metode seperti itu. Kita tidak dilatih untuk menghadapi situasi hidup yang tak pernah kita sangka,” ungkapnya lagi. 

Mas Agus merespons apa hubungannya kungkum dengan sukses. Bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi. Maka dalam kehidupan manusia zaman dulu, untuk mendapatkan satu piring nasi, seorang anak harus mencari kayu bakar dulu. Menunggu beberapa jam, melalui serentetan perjuangan. Kungkum, salah satu hal untuk menempa diri dan menyambungkan hubungan romantik dengan Tuhan. Sampai Tuhan mengambil keputusan di luar sunatullah yang sudah ditetapkan. Tuhan bisa saja mengubah ketetapan, terserah-serah Tuhan. Maka dengan tirakat bisa saja menjadi short-cut untuk membuat Tuhan terharu dan mengambil keputusan yang sedang kita angan-angan.

Salah satu jamaah putri yakni Nur Rohmah merespons dengan pertanyaan yang relevan dengan zaman. Di zaman sekarang untuk mencari keromantisan dengan Tuhan itu sangat sulit terlebih saya sebagai seorang perempuan. “Sebagai seorang perempuan saya akan kesulitan untuk kungkum,” celetuknya yang membuat gerrrr para kaum Adam. Apakah ada cara lain untuk membangun hubungan dengan Tuhan?

Mas Agus merespons, bahwa keadaan hari ini di satu sisi memang memberikan kemudahan tetapi membunuh instrumen-instrumen kemanusiaan kita yang ruhaniah menjadi mati. Saya pernah mengalami ketika dulu belum ada listrik, gelap menurut pendangan sekarang, tapi waktu itu saya tidak merasakan gelap. Bermain di malam hari itu tidak pernah tersandung, ada kepekaan dalam diri. Kalau sekarang ketika mati lampu bahkan orang di samping kita saja kita tidak mengenal. 

“Kalau dulu belum ada fasilitas yang memudahkan, bentuk tirakatnya memang ekstrem ketika dipandang dengan sudut pandang sekarang. Hari ini dengan berbagai kemudahan itu ada, Anda tinggalkan sedikit saja bentuk kemudahan itu sudah bernilai tirakat. Misalnya puasa HP sehari, dua atau tiga hari. Mengalahkan dan menaklukan diri itu esensi dari puasa, bukan hanya menahan makan dan minum,” lanjut Mas Agus.

Jamaah putri lainnya, yakni Fatimah ikut merespons, “Kalau melakukan hal-hal tirakat agar bisa konsisten kan harus mempunyai tujuan, entah tujuannya karena sedang dalam penderitaan akhirnya melakukan tirakat agar bisa mengubah nasib atau apapun. Tapi misal ketika kita sudah melakukan puasa HP, terus tujuannya untuk apa? Terus untuk melakukan puasa HP lagi mau buat apalagi ya? Timbul pertanyaan seperti itu, tidak ada motivasi untuk melakukannya lagi.”

Mas Agus kemudian mengurai, “Orang tantangan awalnya pasti sifatnya lahiriah. Sebenarnya itu sebagai langkah awal saja seperti Tuhan memotivasi kamu shalat supaya mendapat pahala. Kalau shalat untuk mendapat pahala itu masih semester satu. Sebagaimana kalau tirakat untuk mendapat dagangane laris. Selanjutnya, nanti akan ada kenikmatan ketika orang tidak terlalu tergantung kepada apapun, dia akan mempunyai kuda-kuda batin yang lebih kuat, akan lebih tenang menghadapi hidup. Jadi ketenangan itu sesungguhnya adalah sumber kebahagiaan. Jadi targetnya tenangkan mental dan kejiwaan. Dalam posisi seperti itu keputusan-keputusan hidupnya akan lebih berkualitas. Keputusan berualitas itulah yang akan menjadi jalan menuju pintu sukses selanjutnya.”

“Perjuangan semakin berat itu akan mencapai kenikmatan yang sejati. Nikmatnya sampai ke puncak gunung pasti lebih nikmat dari pada sekedar menaiki gundukan pasir. Kehendak kita dengan kehendak Tuhan adalah hubungan cinta. Misal kita ingin makan soto tapi pasangan kita ingin bakso. Aslinya kita ingin soto tapi pasangan kita ingin bakso kemudian kita ikuti kehendak pasangan kita, itu aslinya nikmatnya bukan bakso tapi nikmatnya adalah mengikuti kehendak pasangan kita. Kalau kita tidak terlatih tirakat dan tetap memilih soto ya bubar,”ulasnya.  

“Kalau hubungan dengan Tuhan, misal kita sedang mencuci motor, kemudian kita berharap agar jangan hujan tatapi kemudian hujan, ya tidak apa-apa. Kita mengikuti kehendak Tuhan. Kita turuti saja kehendak Tuhan, nanti Tuhan akan ‘rikuh’ sendiri. Di situlah letak ud’uni astajib lakum. Jadi kalimat tersebut disampaikan kepada para pelaku tirakat yang sudah mampu menahan dan mengalahkan keinginan dalam dirinya dan merelakan keinginan Tuhan terjadi,” Mas Agus lanjut mengulas.

***

Lewat tengah malam, saatnya landing session. Sebagai closing statement, Rizky menyampaikan bahwa apabila di Juguran kemarin mengulas tentang tabiat, hari ini itu tentang sifat. Tabiat itu bermakna internal, sesuatu yang berasal dari dalam diri kita. Sedangkan sifat karena pengaruh lingkungan. Dua hal itu, terhadap yang sifatnya internal kita perlu menginventarisir lagi yang kaitannya dengan olah bathin. Pilihan-pilihan tirakat personal kita mau mengerjakan apa, yang paling tepat untuk kebutuhan diri kita itu apa. Syekh Nursamad Kamba menulis buku tentang Tarekat Virtual. 

Beliau menggambarkan tarekat virtual itu dari apa yang beliau alami di Maiyah. Salah satu ciri dari tarekat virtual menurut definisinya Syaikh Kamba adalah kuncinya satu, konsisten. Sesederhana apapun kalau itu sudah menunjukkan konsistensi itu sudah bernilai tarekat. Kita yang menemukan sendiri jenis tarekat kita, kita yang mengikrarkan sendiri, menentukan sendiri tujuan dari tarekat itu apa. Hal seperti itulah yang di luar Maiyah masih sangat minim, yang namanya tarekat ya apa-apa yang menjadi target semester satu—tujuan materiil semata. 

Mestinya ketika rohani kita sudah lebih dewasa, kita harus menemukan kenikmatan-kenikmatan yang lebih tinggi dibanding target-target yang sifatnya materialistik. Itulah yang kaitanya dengan olah bathin. Efeknya adalah mudah-mudahan kualitas tabiat kita meningkat. Kalau tabiat itu di-treatment dengan olah bathin, sedangkan sifat dengan bagaimana kita menambah wawasan dan pergaulan kita. Hari ini, yang perlu disadari adalah di jaman modern ini hanyalah satu jenis budaya dan apa yang sudah diluas malam ini itu kita diajak Melancong ke Masa Lalu melihat budaya yang berbeda. 

Kita perlu mengolah asupan eksternal kita, salah satu dengan melancong, melihat budaya yang berbeda. Jadi bulan kemarin kita mengulas tabiat, malam ini kita mengulas sifat. Kemudian terkait kohesi, kohesi adalah peristiwa unsur-unsur yang berbeda tetapi merekat satu sama lain. Tapi tidak melebur tapi bersatu dengan unsur perbedaanya. Itu yang terjadi di kapalnya Nabi Nuh, yang dibawa itu harus berbeda karena akan membangun sebuah peradaban baru. Sama halnya seperti di sini tadi sudah diceritakan ada penggiat yang Maiyahan dengan jalur langit, jalur darat, jalur laut. Ber-Maiyah berangkat dari perbedaan, bukan untuk disamakan tapi perbedaan itu justru untuk kita saling melengkapi satu sama lain. 

Juguran Syafaat malam itu ditutup dengan shalawat Hasbunallah dilantunkan mengiringi salam-salaman. Belum jenak berdiskusi, sesudah ditutup sejumlah jamaah masih tinggal di joglo sembari bersih-bersih. Meski sudah ditutup, tetapi topik diskusi seperti baru dimulai. Elaborasi tentang pilihan tirakat personal, “Jadi, pada saat berangkat kungkum di kali seringnya awang-awangen—timbul rasa malas itu kan, tapi coba sesudah selesainya, pasti yang ada rasa puas hati. Kewilang mau disidakna mangkat bae,” ujar Mas Agus. “Rasa ‘puas hati’ ini betapa berharganya untuk diri kita, kan?” 

Kemudian, bab tirakat switch off HP tiga hari, Mas Agus kembali menjelaskan bahwa ya sebenarnya tidak harus merumuskan tujuan pun kita akan tetap mendapatkan manfaat dari pilihan itu kok. Coba beberapa hari libur main hp, lalu apa yang terjadi sesudah itu? Minimal, manfaat yang kita petik adalah, sesudah saatnya pegang HP lagi, kita sudah punya manajamen yang baru di dalam memandang HP, di dalam menggunakan HP. 

Ini kalau Pak Rustam security tidak mulai mematikan lampu-lampu saat itu, bisa bablas sampai Shubuh diskusinya. Sampai Jumpa di JS bulan depan. 

Lihat juga

Back to top button