JAMA’AH NONGKRONG MADHEP JALAN
Mata saya langsung terpaku pada sebuah bungkus hitam jingga. Di sana tertulis dengan huruf kapital: JAVA TIMOR. Sebuah biji kopi digambar di bawahnya, melengkapi tampilan kemasannya.
Saya ambil kemasan itu. Saya bolak-balik untuk mencari keterangan di sana. Tulisannya berukuran kecil. Terpaksa buka kacamata agar bisa melihat lebih jelas dan membaca sambil agak memicingkan mata.
Selanjutnya saya malah jengkel. Tulisannya berbahasa Perancis. Tidak ada inggris-inggrisnya blas. Saya ingin tahu kopi itu dari mana asalnya, kok merknya mirip nama propinsi di kampung.
Di tengah kejengkelan itu, tiba-tiba suara latar lagu yang diputar di supermarket ini berubah. Saya kenal lagunya. Sering dibawakan Gamelan KiaiKanjeng dalam sebuah komposisi medley. Oleh KiaiKanjeng, lagu Üsküdar’a Gider İken–lagu tradisional Turki–ini biasanya dimainkan beriringan dengan lagu Yahudi–Shalom Aleichem, dalam tempo cepat. Tetapi yang sedang mengalun ini bertempo lambat sesuai lagu aslinya.
Tanpa menunggu lagunya selesai, saya kembalikan kopi Java Timor itu ke rak. Kemudian mengambil merk lain yang sudah cocok untuk racikan kopsus saya sebelumnya. Di hadapan terbentang panjang rak tujuh susun. Semua isinya produk kopi disusun berderet dalam berbagai merk dan varian. Orang Maroko ini suka sekali kopi, pikir saya. Rak kopi ini saling berhadapan dengan rak teh yang juga panjang.
Saya sedang berada di Aswak Assalaam–salah satu jaringan supermarket besar di Maroko. Saya memang harus ke sini untuk mengisi stok kopi bubuk yang menipis di apartemen. Kini, ritual ngopi pagi saya balik kandang.
Ceritanya, sudah tiga minggu saya tidak ke warung kopi. Jemari ini rapuh kala disergap dingin. Niat hati ingin nongkrong sambil ngetik, tetapi darah menggigil di ujung jari menyebabkan kaku dan mengkerut. Meskipun siang hari terik, sinar mentari tidak mempan untuk menghalau dingin Januari.
Perpaduan kopi dan dingin ternyata tidak cukup baik buat saya–gampang beser. Karena itu saya memutuskan ngopi di apartemen saja. Toh sekarang istri sudah hapal rute jalan ke CLC. Tidak perlu keluar mengantarnya.
Saat di apartemen, ritual ngopi saya mulai dengan menjerang air. Kata ahli kopi, saat mencapai suhu 85 derajat, matikan kompor. Karena saya orang awam yang tak mau repot, bablaskan saja sampai umup.
Bubuk kopi yang sudah tergeletak pasrah di cangkir kemudian saya tubruk dengan air panas. Diamkan semenit, lalu diaduk perlahan. Akan muncul buih berminyak pada permukaannya. Itu namanya krema. Masukkan sedikit madu atau gula dan tambahkan susu segar secukupnya. Begitulah cara saya membuat secangkir kopi susu.
Perpaduan kopi, gula, dan volume air harus pas untuk menghadirkan secangkir kopi yang enak di lidah. Susu hanya pelengkap saja. Tanpanya pun sudah mantap. Mbah Nun berpesan, fungsi menyatunya pahit kopi dan manis gula itu hanya untuk cecapan di lidah demi menambah nikmatnya hisapan kretek. Istilah kami di Kadipiro, sekadar buat srup-srup. Kebanyakan gula hanya akan menjadikannya sirup kopi. Jika kebanyakan air, jadinya ya air kopi.
Tidak semua orang lulus menyuguhkan secangkir kopi yang pas untuk Mbah Nun. Di Kadipiro, tugas itu diemban oleh duo kakak beradik, Mas Agus dan Mas Awik. Saya pernah sekali diminta membuatkan kopi hitam. Waktu itu menjelang Maiyahan di markas seorang anggota dewan rakyat nasional di Kota Serang. Seingat saya hasilnya lumayan lulus. Tidak kepahitan dan tidak kemanisan.
***
Secangkir kopi yang dihasilkan dengan proses bubuk kopi yang disiram air panas, lazim berlaku dalam masyarakat nusantara. Ia sering disebut kopi tubruk. Ini berbeda dengan budaya menghadirkan secangkir kopi di Maroko.
Segala jenis kopi suguhan warkop-warkop di Maroko dihasilkan dengan berbahan dasar kopi espresso. Sebuah kopi hitam hasil dari bubuk kopi yang dipadatkan, kemudian dialiri uap air panas bertekanan tinggi. Proses ini menggunakan mesin espresso yang mahal itu. Volumenya sangat sedikit dalam cangkir imut dengan rasa yang pahit dan kecut, khas rasa jenis kopi Arabika.
Saya tidak bisa nyruput kopi espresso kalau di apartemen. Untuk itu perlu ke warkop. Rupanya bosan juga ngopi susu tubruk di apartemen terus tiga minggu. Meskipun nyaman tidak repot jika harus bolak-balik ke toilet.
Kali ini saya tidak ke warkop Reda maupun Poinsettia yang keduanya searah jalan menuju CLC di selatan. Sekarang saya mencoba berjalan dari rumah ke arah utara. Siapa tahu akan ketemu hal-hal baru.
Ternyata tidak perlu berjalan jauh untuk ketemu warkop. Lagi-lagi di pojokan pertigaan. Jika diingat-ingat, setelah menjelajah kota ini, rata-rata warkopnya berlokasi di pojokan. Khususnya di ‘Kota Baru’ yang berada di luar tembok ‘Kota Lama’.
Bila pada setiap pertigaan dan perempatan di Indonesia bisa ditemukan Warung Padang, di sini pada kedua lokasi itu dikuasai oleh warung kopi. Tentu saja posisi yang strategis menjadi alasan kunci. Jadi, kalau mau ngopi di warkop di ‘Kota Baru’ Marrakesh tidak perlu bingung, cari saja pertigaan atau perempatan.
Warung kopi yang saya tongkrongi kali ini tidak ada namanya. Tetapi yang jelas, tatanan wajib yang berlaku di tiap warkop juga berlaku di sini. Yaitu area outdoor di depannya.
Belasan meja kecil, baik bundar maupun kotak ditata sedemikian rupa berjarak. Masing-masing meja disertai dua kursi. Semua kursi disusun jejer menghadap jalan, bukan saling berhadapan.
Saya memilih duduk di meja yang mepet tembok depan warkop. Karena ada colokan di sana. Itu adalah spot suci bagi saya. Pelayan dengan seragam yang senada dengan seragam di warkop-warkop lain kemudian menghampiri. Saya memperhatikan bagian tengah celemeknya ada kantong kecil seperti kantong ajaib Doraemon. Isinya uang dirham untuk kembalian karena kalau sudah selesai ngopi, kita tidak perlu bayar ke kasir. Cukup ke mereka.
Sudah pasti saya pesan kopi andalan. Kali ini ditambah penekanan, “Nous Nous kbir, wahd!” Saya ingin gelasnya agak besar sedikit, biar lebih mantap dan enggak cepat habis.
Empat orang bapak-bapak bercengkerama di depan saya. Keempatnya mengenakan jelabah–gamis khas Maroko–tebal yang menyelimuti kulit kala musim dingin. Sementara di pojok lain, anak muda sibuk dengan laptopnya.
Pemuda lain bercelana jins dan berjaket hitam tebal ngobrol dengan tukang parkir yang berdiri di depannya. Bapak tua berjelabah dan berkupluk di sampingnya membaca koran pagi. Setidaknya dua hal yang menyatukan kami semua di sini pagi ini, selain ngopi.
Pertama, kami semua duduk berjama’ah menghadap jalan raya sebagai “kiblat”. Kedua, privilese udara segar buat kami para perokok. Pemandangan di hadapan kami adalah mobil melintas, jejeran motor bebek model Astrea Grand dan Honda Cup 70 terparkir, gerobak pedagang telur dan daun mint berdiri, dan sesekali bis kota berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang.
Awalnya saya pikir susunan duduk madhep jalan ini sesuatu yang khas Maroko. Sampai akhirnya saya nonton ulang film Inception karya Christopher Nolan dibintangi Leonardo DiCaprio. Ada adegan mas Leo ngobrol dengan gadis rekrutannya di sebuah warkop di kota Paris. Semua kursi di teras warkop pojokan jalan madhep jalan. Ah, ternyata lanskap warkop di Marrakesh ini impor dari Perancis. Termasuk istilah-istilah tertulis dalam daftar menunya.
Dunia perkopian di Maroko kabarnya bukan sesatu yang sangat tua. Ia baru dikenalkan pada abad ke-19. Pada masa itu memang masa keemasan perdagangan kopi, termasuk kopi dari pulau Jawa yang kala itu mendunia. Sementara konsep warkop tampaknya relatif lebih baru, bersamaan dengan penjajahan Perancis.
Warkop-warkop di Maroko juga merupakan wilayah kekuasan para lelaki. Ini mungkin berbeda dengan aslinya di Perancis sana. Sangat jarang perempuan nongkrong di sini, kecuali para turis.
Nongkrong untuk menghabiskan waktu di Maroko merupakan kultur yang sama dengan kita masyarakat nusantara. Sesekali mungkin bila Anda ke Syini Kopi di Kadipiro, perhatikan berapa lama orang-orang nongkrong di sana, termasuk Anda!
Kesamaan ini mungkin sebabnya, bila ditinjau lewat kacamata antropolog Edward T. Hall, kita orang Asia Tenggara, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin sekelompok dengan orang-orang Eropa selatan. Masyarakat Perancis, Italia, Spayol dan Portugal punya kesamaan dalam mempersepsikan konsep waktu.
Kelompok ini dipandang menganut waktu polikronik. Waktu itu bersifat siklikal, berputar kembali lagi. Interaksi dengan orang jauh lebih penting dari waktu itu sendiri. Interaksi kemesraan antar manusia dalam Maiyahan bisa berjam-jam lamanya. Kita cenderung santai dan wujudnya adalah nongkrong.
Dari sini saya kemudian paham mengapa warkop-warkop di Chicago tidak menyediakan tempat nongkrong yang luas. Budaya ngopi di Amerika itu umumnya minum kopi sambil mengerjakan sesuatu. Karena bagi orang Amerika dan Eropa utara seperti Inggris, Jerman, dan Swiss, waktu itu bersifat monokromik.
Mereka mempersepsikan waktu yang linier, dari masa silam ke depan yang menekankan penjadwalan dan kesegeraan waktu. Karena itu mereka terobsesi dengan ketepatan waktu. Kalau beli kopi ya dibungkus untuk take away, diminum sambil jalan atau nyetir. Karena nongkrong santai itu dianggap hanya buang-buang waktu.
Bukan berarti orang Amerika tidak nongkrong. Mereka tetap punya waktu nongkrong, seperti di bar atau saat janjian dinner di restoran. Tetapi bisa jadi waktu untuk itu sudah terjadwal dan ditentukan. Tidak luwes.
Sementara bagi orang Maroko, ngopi itu ya nongkrong berjam-jam, bebas dari waktu terjadwal. Kalau mau take away juga bisa tetapi hanya secangkir kecil espresso. Hanya kedai Starbucks yang menyediakan pilihan kopi untuk dibawa pergi dalam volume lebih banyak.
Kalau mau lebih praktis lagi, warga Maroko bisa membeli secangkir kopi melalui mesin-mesin dispenser yang tersebar di warung-warung kelontong pinggir jalan. Tinggal masukkan koin 5 dirham, pencet tombol pilihan menu kopinya. Di dalamnya tersedia kopi hitam atau kopi susu dengan berbagai variasinya, bisa latte atau capuccino. Tunggu satu menit, secangkir kertas kecil kopi panas akan keluar.
Saat kita nongkrong di warkop manapun di Maroko, sebenarnya varian menu kopinya sama dengan yang ada pada dispenser itu. Semuanya ala Perancis atau Italia. Tidak ada yang khas Maroko. Bila ingin mencecap yang khas, akan tersedia di rumah-rumah penduduk dan tidak diperjualbelikan.
Komposisi dalam seduhan kopi rumahan yang disebut Qahwa Ma’atra inilah yang membuatnya khas. Yaitu perpaduan kopi dengan rempah-rempah kapulaga, kayu manis, cengkeh, jahe bubuk, merica hitam, dan pala yang semuanya direbus bersama. Proses ini mirip dengan yang dilakukan masyarakat Turki.
Sebenarnya, yang lebih mendarah daging bagi masyarakat penutur Darija ini adalah atay alias teh. Budaya ngeteh mereka sangat khas. Kalau bosan ngopi, bisa ngeteh juga sambil nongkrong madhep jalan.[]
Marrakesh, 13 Februari 2023