Menyusuri Semesta Maiyah

(Sejumlah Butiran Ilmu Maiyah Tahun 2022)

Semakin ke sini, waktu bukan lagi berjalan, tetapi berlari. Setahun berlangsung amat singkat. Kilat. Tak terasa, 2022 telah purna. Dan kini langkah kita telah memasuki halaman pertama di tahun 2023. Seiring bertambahnya angka tahun, tambah pula digit usia kita. Itu menurut kacamata awam manusia. Kacamata Tuhan malah sebaliknya. Jatah usia kita di dunia justru telah berkurang.

Sebuah hadits Kanjeng Nabi menyatakan, “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia beruntung. Barangsiapa yang hari ini sama saja dengan hari kemarin, maka ia merugi. Dan siapa saja yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia terlaknat.” Pertanyaannya, dimanakah letak posisi kita dari 3 level tingkatan di atas? Masing-masing dirilah yang pantas menjawabnya.

Dalam setahun terdapat 12 bulan. Dalam sebulan terdiri 28 hingga 31 hari. Hari demi hari sepanjang 2022 layak disyukuri. Suka-duka dicerna. Hitam-putih dirangkum. Sebagai bahan dasar refleksi—kontemplasi. Resolusi? Silakan dimulai hari ini, sesuai dengan proyeksi dan kapabilitas diri.

Seorang cendekiawan muslim masyhur yang sekaligus sahabat Rasul, Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Kenapa? Karena tulisan itu abadi. Maka sregep-sregeplah mencatat. Menggoreskan tulisan.

Spirit itu yang kemudian mendorong saya untuk menyimak, menyaring, mengidentifikasi pemikiran Mbah Nun yang diwedarkan di Majelis Sinau Bareng sepanjang tahun ini (2022). Paling tidak ada 12 poin penting yang saya rangkum. Itu tak lain sebagai rasa syukur cum merawat dan meruwat “buah pikir” Mbah Nun agar memberi maslahat dan “panjang umur”. Berikut uraiannya.

Pertama, yang selama ini dilakukan Mbah Nun di Maiyah adalah ndandani hati dan pikiran. Maka sangat tepat sekali Majelis ilmu Padhangmbulan (1992) sebagai “ibu kandung”-nya Maiyah menggunakan tagline “Menata Hati, Menjernihkan Pikiran.” Ini tak berhenti pada slogan semata. Namun merasuk dan mewujud dalam citra jamaah. Sepulang Maiyahan, hati lebih tertata, dan pikiran menjernih. Hal tersebut menjadi modal berharga bagi Jamaah Maiyah untuk mengarungi kehidupan dengan jiwa lapang, tenang, dan gembira.

Kedua, Maiyah setia bersifat cair. Tidak padat, memadat, dan tak dapat dipadatkan. Tidak untuk menjadi golongan, identitas, ormas, atau firqah. Siapa pun boleh nyebur dan berenang di telaga Maiyah. Outputnya kebaikan. Maiyah juga tidak hendak mengubah identitas siapa pun dan profesi apapun. Setiap individu berdaulat atas dirinya sendiri.

Ketiga, di Maiyah, Mbah Nun terus menanamkan benih spirit memberi. Menumbuhkan dan menyuburkan jiwa sadaqah (sedekah kepada Indonesia). Memberi karena diminta itu lumrah. Sedangkan memberi tanpa diminta, itu yang luar biasa. Memberi semampu-mampunya. Sebaik-baiknya. Kebahagiaan paling tinggi dan sejati adalah tatkala kita memberi, dan mereka merasa bahagia dengan pemberian tersebut.

Keempat, Mbah Nun selalu mewanti-wanti para Jamaah akan pentingnya menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang manusiawi. Di mana puncak tertinggi manusia adalah meyakini kesadaran bahwa manusia itu sejatinya tak berdaya apa-apa.

Kelima, Mbah Nun senantiasa menegaskan, satu-satunya sandaran sekaligus pengharapan hidup kita hanyalah Allah. Wa ilaa robbika farghob. Jangan sekali-sekali berharap kepada yang selain Allah, pasti ujungnya kecewa. Intinya, apa-apa itu yang nomor 1, ya Allah. “Kowe oleh putus asa karo kahanan, tapi ojok sampek putus asa karo rahmate Gusti Allah.” Begitu pesan beliau.

Keenam, secara umum, Mbah Nun selalu berpesan jangan sampai menghadapi persoalan hidup jenis apapun dengan ingah-ingih (ragu-ragu). Yen wani ojo wedi-wedi. Yen wedi ojo wani-wani. Kudu teges! (harus jelas). Sesuai firman Allah pada surat Yunus ayat 94.

Ketujuh, Mbah Nun kerap mengajarkan (juga mengijazahkan) wirid-wirid. Mulai dari wirid padhangmbulan, wirid perlindungan, wirid La Ubali, dan banyak lagi. Wirid/ wiridan ditempuh sebagai cara khusus untuk memperoleh jawaban/ solusi yang khusus pula atas sebuah permohonan/ permasalahan.

Kedelapan, selain puji-pujian (Asmaul Husna) dan wirid, Mbah Nun selalu menekankan kepada kita agar senantiasa bershalawat kepada Kanjeng Baginda Nabi Saw. Selama nama Muhammad masih disanjung dan digaungkan (dengan rasa cinta lahir dan batin), InsyaAllah hidup kita akan terhindar atau dijauhkan dari azab dan marabahaya. (At-Taubah: 128-129)

Kesembilan, Mas Sabrang memberikan perspektif dalam melihat Maiyah dengan menggunakan level keberadaan. Ada tiga level keberadaan: fisik, akal (pengetahuan), dan spiritual. Keberadaan fisik yakni tatap muka satu sama lain seperti selama ini Jamaah Maiyah bertemu pada setiap majelis/ simpul/ lingkar/ forum Maiyah. Keberadaan akal adalah keberadaan pada semesta akal atau intelektual di mana wujudnya adalah ilmu, nilai, gagasan, cara pandang, dll. Keberadaan spiritual ditandai oleh tumbuhnya sifat-sifat baik seperti rendah hati di dalam diri kita.

Kesepuluh, menurut Mas Sabrang, prinsip yang dijalani Maiyah adalah inklusivitas. Egaliter. Merangkul sebanyak mungkin orang, lintas batas, lintas agama, lintas latar belakang. Bersilaturahmi agung dalam buhul al muttahabbina fillah. Dengan jaringan luas silaturahmi akan membuka potensi manfaat (langsung maupun tak langsung) bagi seluruh Jamaah Maiyah dimana pun mereka berada.

Kesebelas, tak lelah-lelahnya Mbah Nun mengingatkan agar Jamaah fokus pada diri sendiri. Jangan sibuk mbiji (menilai) orang lain. Fokus pada diri untuk terus berproses menuju Tuhan. Karena ketika kita fokus pada diri sendiri, besar kemungkinan kita tidak akan terganggu pada hal-hal yang bukan urusan kita.

Wis pokoke nek apik lakoni. Ini sarujuk dengan penggalan doa Kanjeng Nabi yang sering disampaikan oleh Mbah Nun, “In lam yakun bika ‘alayya ghadlabun fala ubali.” Asalkan tidak ada kemarahan dari-Mu kepadaku, aku tidak peduli. Indikasinya mudah. Jika tutur, sikap, dan perbuatan kita dapat menyenangkan orang, InsyaAllah Tuhan pun senang, dan tidak akan marah. Sebab kalau sampek Allah marah, bahaya rek!

Keduabelas, sepanjang hidup, Mbah Nun memberikan teladan kepada kita yang amat sangat berat untuk diteladani. Ya, istiqamah. Sesuatu yang tampak sederhana, namun tidak sederhana. Coba kita tengok ke belakang sebentar. Menerawang jauh ke belakang hingga saat sekarang. Tak banyak tokoh yang tidak dapat dibeli oleh kekuasaan. Satu dari sedikit itu, adalah Cak Nun (dulu)—-Mbah Nun (kini).

Beliau tetap istiqamah di era siapapun. Tak pernah menginjak teras istana semenjak Soeharto lengser (1998). Itu baru secuil dari wujud nyata ke-istiqamah-an seorang Mbah Nun. Masih banyak lagi laku-laku istiqamah Mbah Nun (bersama Maiyah) yang menginspirasi dan patut kita teladani.

Demikianlah. Banyak kekurangan, saya mohon maaf. Semoga bermanfaat.

Gemolong, Januari 2023

Lihat juga

Back to top button