TERUS BERJALAN DALAM KEBERSYUKURAN
Sabtu malam, 17 November 2022, telah berlangsung Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi yang ke-70 di Pos RT 04 RW 04 Perumahan Green Hill, Desa Sekarkurung, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik.
Bukan soal berapa jamaah yang hadir melainkan kualitas kesetiaan para Jamaah Maiyah Damar Kedhaton (JMDK) yang tidak pernah bisa diukur dengan parameter apapun, apalagi dengan kaca mata material. Buktinya, hingga kumandang adzan Subuh tiba beberapa jamaah masih asyik menuntaskan kerinduan melalui berbagai cara yang tak biasa.
Ada yang mengantre untuk mendapat sentuhan jemari pijatan dari Cak Madrim, bahkan dia seringkali dimintai memijat tanpa upah atau hanya bayar doa saja ketika ketemu dengan dulur-dulur, baik saat acara rutinan maupun di luar acara rutinan. Selain itu ada juga yang lanjut ngobrol sambat tentang pekerjaan, serta beberapa dulur lainnya tampak memberesi tikar dan beberapa sisa camilan.
Kurang lebih sekitar 20 sedulur Damar Kedhaton asyik bermesraan di dalam ruang yang kalau boleh disebut adalah kampus Universitas Kehidupan. Kenapa bisa dibilang begitu? Karena, beragam latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan pada masing-masing diri dulur DK yang hadir pada malam itu, mulai dari buruh pabrik, petani, petani tambak, pengrajin besi, desainer, guru, pelukis, pegawai negeri, advokat, dan pengusaha mewarnai berlangsungnya Majelisan rutin bulanan yang digelar setiap tanggal 23 dalam perhitungan kalender jawa.
Dalam sesi diskusi, turut hadir menemani dulur DK yakni sosok Budayawan, Sejarawan, dan Seniman asli Gresik, Pak Kris Adji AW. Pria yang memiliki nama lengkap Kriswanto Adji Wahono telah banyak berkiprah di dunia kebudayaan, kesenian, dan sejarah khususnya di Gresik.
Pada kesempatan diskusi yang mengangkat tema “Generasi Bunga”, Pak Kris membeberkan hal menarik mengenai kemunculan bukti-bukti budaya dan sejarah di masa lalu di tengah kehadiran generasi milenial, yang notabene tidak terlalu suka dengan sejarah.
“Peristiwa-peristiwa ini kayaknya bertentangan dengan generasi-generasi baru. Beragam hal unik dan aneh terjadi di masa kini,” jelasnya.
Atas peristiwa tersebut, Pak Kris mengajukan pertanyaan kepada jamaah yang hadir untuk membuka peluang-peluang terbukanya jawaban dari berbagai sudut pandang. Agar beragam persoalan dapat dimaknai secara utuh dan jangkep.
“Bagaimana menyiasati itu? Kita tidak mungkin mengajarkan anak-anak generasi sekarang untuk membaca transkrip kuno. Salah satu cara kita adalah dengan upaya digitalisasi. Saya mulai membuat digitalisasi terhadap naskah, manuskrip, atau apapun yang diduga hasil kebudayaan nenek moyang. Jadi, tujuannya memudahkan generasi muda sekarang untuk membaca secara langsung melalui handphonenya masing-masing,” penjelasan panjang lebar dari Pak Kris.
Lantas, apa hubungannya antara masa lalu dengan tema “Generasi Bunga”? Hal itu dikemukakan dan diulas secara merdeka dengan kesadaran belajar sepanjang waktu oleh beberapa jamaah yang hadir. Sehingga, tidak ada satu pihak yang merasa paling benar ataupun minder karena takut salah.
Perlu diketahui, penulis tidak bisa menulis secara utuh hasil dari sinau bareng malam itu. Apalagi tidak bisa hadir sejak awal dimulainya Majelisan. Padahal pelantunan wirid, dzikir, dan sholawat yang rutin menjadi tradisi sebelum dimulainya diskusi, merupakan puncak daripada rasa ketenangan yang selalu dirindukan.
Setiba di lokasi sekitar pukul 01.00 WIB dini hari, sambil menyalami semua dulur satu per satu penulis langsung bergabung di tengah-tengah diskusi. Tidak berselang lama duduk menikmati rokok dan gorengan, ada satu jamaah yang berpamitan pulang yaitu Cak Chabib. Apresiasi dan doa perlu dikhususkan kepadanya, lantaran di tengah istrinya yang sedang hamil tua, Cak Chabib masih menyempatkan diri untuk hadir ditengah-tengah Majelis Ilmu Telulikuran, “Salut dan berkah, Cak. Mugi barokahnya melimpah ruah kepada calon buah hatinya,” gumam saya dalam hati.
Beberapa pendapat terkait tema disampaikan oleh Cak Fauzi, Cak Irul Surabaya, Wak Syuaib, Cak Mustofa, Cak Menyeng, Cak Hari, Cak Nanang, dan Cak Hariri (Bangkalan-Madura). Jika ditarik garis benang merahnya, “Generasi Bunga” bisa diartikan sebagai simbol kebangkitan, kebermanfaatan, keindahan, dan harapan.
Banyak pula filosofi asli Jawa yang berpedoman pada bunga. Misalnya upacara tabur bunga. Selain itu, bunga yang sedap aromanya, indah dipandang; adalah bentuk manfaat kepada lingkungan sekitar. Tidak hanya itu, ada pula bunga bangkai; baunya busuk menyengat bisa dimaknai sebagai kerugian atau mudharat yang diterima oleh lingkungan sekitar. Dua poin utama dari hasil diskusi tersebut tentu tidak bisa disepakati sebagai kebenaran yang mutlak. Melainkan sebagai simbolisasi belaka.
Seperti yang dikemukakan oleh Kamituwa DK Wak Syuaib, bahwa wujud bunga yang mengembang dari berbagai jenis tanaman adalah bentuk syukur.
“Pandai-pandai bersyukur dalam keadaan apapun, sering disampaikan Mbah Nun. Ada tambahan kata ‘pandai’ yang mengawali kata syukur,” pungkasnya.
Sehingga, inti dan tujuan utama dari Maiyahan adalah bagaimana kita bisa mensyukuri hidup dan kehidupan itu sendiri. Tidak lupa juga menghadirkan Kanjeng Nabi Muhammad beserta Gusti Allah SWT. dalam menjalani segala macam problematika hidup ini, baik suka maupun duka.
Tidak bisa disangkal juga, bahwa kebersamaan dulur-dulur Damar Kedhaton pada malam itu adalah bagian dari usaha untuk mewujudkan ‘Generasi Bunga’ itu sendiri. Karena, akan menjadi permasalahan tersendiri apabila semua hasil diskusi yang dilakukan selama ini tidak dimaknai dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Terus berjalan. Semampu-mampunya. Bergandengan tangan, hati, dan pikiran.