JANGANLAH JOGJA MENJADI STAGNAN

(Seri Memandang Kota (Jogja) — Prolog) 

Jogja adalah kota budaya. Adalah kota pelajar. Ia memiliki kalimat indah “Nguri-uri kabudayan”, tetapi sayangnya di balik kalimat indah itu ada kekhawatiran menyertai. Baik pemerintahannya maupun warganya bisa saja serasa dininabobokan dari realitas kahanan Jogja yang semakin tak ramah kepada warganya. Seolah selama pemerintah sekaligus lingkup Keraton masih mengadakan hajatan dalem seperti Sekaten, pentas-pentas tari, dan pekan kebudayaan seperti FKY, masalah lain yang lebih substansial di Jogja dianggap nihil.

Mengutip kanal resmi Pemerintah Provinsi Yogyakarta, dana keistimewaan di Jogja pada tahun 2021 mencapai 1,32 trilliun rupiah. Memang dana tersebut telah dialokasikan kepada masing-masing kabupaten. Ditambah dengan program-program berorientasi desa. Pertanyaannya. Apakah tambahan dari dana keistimewaan berpengaruh signifikan terhadap terpecahkan atau teratasinya problematika yang ada di Yogykarta? 

Wilayah Jogja sedang mengalami transformasi ke arah Jakarta dengan background satu dekade ke belakang. Simpul-simpul kemacetan mulai bertambah baik volume maupun frekeunsinya. Dan solusi kendaraan umum tidak berubah sejak 14 tahun silam ketika Trans Jogja diluncurkan. Ditambah lagi permasalahan perkotaan berupa minimnya hunian peka pendapatan. Sebagian tanah Jogja sudah terkooptasi oleh investor dengan pendapatan menengah ke atas. Bahkan yang berasal dari luar Jogja. Sedangkan masyarakat Jogja sendiri dibingungkan dengan kebijakan UMR yang tidak memperhatikan ruang hidup berupa hunian yang layak. 

Baca juga: ANTARA AKU, DIA, DAN JOGJA

Atau kita kembali ke beberapa bulan lalu di mana TPA Piyungan harus ditutup sementara karena over capacity. Juga masalah-masalah lain yang lebih kontradiktif dari sebuah wajah kota pariwisata. Dengan bejibunnya perguruan tinggi di Jogja, ternyata juga tak menjamin keragaman solusi yang ditawarkan kepada masyarakat. Atau justru malah semakin menunjukkan mandulnya institusi pendidikan di Jogja dalam usaha-usaha perbaikan. Baik yang sifatnya inisiatif maupun kolaboratif. 

Budaya secara sempit dimaknai sebagai tinggalan masa lalu. Bukan sesuatu yang bergerak dinamis mengikuti zaman. Budaya harusnya lekat dengan upaya-upaya pembentukan peradaban masa depan. Jika kita abai terhadap apa yang akan kita wariskan kepada anak-cucu kita, maka berarti kita tidak membentuk peradaban masa depan apapun yang lebih baik alias stagnan. 

Jogja, 28.10.2022

Lihat juga

Back to top button