Tadabbur Mbah Nun atas “wa la-in kafartum inna ‘adzabi lasyadid”

Salah satu prinsip Sinau Bareng adalah menumbuhkan ketersambungan antara pikiran dan hati, antara kepala dan dada. Jangan sampai pikiran dan hati berjalan sendiri-sendiri tanpa ada saling keterkaitan dan kerja sama. Karenanya, keduanya harus mendapatkan asupan yang seimbang. Keduanya harus sama-sama hidup. Di dalam Sinau Bareng prinsip itu dijalankan oleh Mbah Nun dan KiaiKanjeng.

Saat Sinau Bareng di Sugihan Toroh Grobogan (8/10) beberapa hari lalu, hati jamaah dan masyarakat yang duduk dengan alas di atas lapangan yang basah dan becek disentuh melalui doa dan shalawatan, dihangatkan dengan sapaan penguatan batin serta melalui workshop-musik persatuan-kesatuan oleh KiaiKanjeng di mana berlangsung interaksi yang akrab dan menyenangkan antara vokalis KiaiKanjeng dan jamaah, serta tentu saja lewat nomor-nomor musik KiaiKanjeng yang dihadirkan. 

Sementara itu, sisi pikiran atau kepala diajak oleh Mbah Nun untuk, terutama, menyelami dan menganalisis ilmu syukur melalui paparan beliau maupun dengan jalan workshop kelompok di mana tiga kelompok diberi tugas menjawab beberapa pertanyaan Mbah Nun seputar Sinau Syukur yang menjadi tema malam itu. Salah satu pertanyaan itu adalah mengapa kita harus dan butuh bersyukur kepada Allah. 

Melengkapi jawaban yang telah dipresentasikan jubir setiap kelompok, Mbah Nun ikut mengemukakan pandangan. Ayat al-Qur’an mengenai syukur yang sama-sama sudah banyak dihapal adalah Wa idz ta-adzdzana robbukum la-in syakartum la-azidannakum wa la-in kafartum inna ‘adzabi lasyadid. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu kufur atas nikmat-Ku, maka pasti adzab-Ku sangat berat.””(QS. Ibrahim: 7). 

Menurut Mbah Nun, kita butuh dan harus bersyukur kepada Allah karena kalau kita tidak bersyukur, maka terkena statement Allah dalam ayat tersebut yaitu kufur. Masalahnya terletak di sini menurut Mbah Nun: kalau yang mengatakan kita kufur itu orang lain tak masalah, sebab orang lain bisa saja salah, tetapi kalau yang mengatakan itu Allah, modar lah kita. Kalau yang mengatakan kita kafartum adalah Allah, mampuslah kita. 

Apa yang barusan disampaikan Mbah Nun mengenai alasan bersyukur yaitu agar kita tidak terkena statement Allah mengingatkan kita pada metode tadabbur terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditradisikan dalam Maiyah. Tadabbur mendorong hati kita tersentuh oleh ayat-ayat al-Qur’an sehingga kita terdorong melakukan kebaikan atau perubahan diri. Mbah Nun barusan saja memberikan contoh kepada jamaah tentang tadabbur atas ayat Syukur di atas. 

Sinau Syukur malam itu, dengan demikian, tidak hanya berlangsung lewat pendekatan ilmu (kepala) , melainkan juga tadabbur (dada). Sehingga, tadabbur menjadi salah satu menu untuk memberikan asupan hati dalam Sinau Bareng. Jika dirasakan lebih dalam, tadabbur sangat bermanfaat secara sosial karena membimbing kita untuk mewaspadakan pernyataan-pernyataan Allah menyangkut, misalnya, kemungkinan kufurnya manusia kita arahkan kepada diri kita sendiri, bukan kepada orang lain sebagai tuduhan seraya kita merasa benar dan tidak termasuk ke dalam yang dituju oleh pernyataan Allah tersebut. Jika kita menudingkannya kepada orang lain, bukankah tidak mungkin hal itu akan memicu konflik antara kita dengan orang lain? Sinau Bareng secara tidak langsung menuntun kita untuk menghindarkan hal itu terjadi. 

 

Lihat juga

Back to top button