MERASAKAN KEHADIRAN DZAT TUNGGAL

(Liputan Sinau Bareng Paseduluran Maiyah Pasuruan Jawa Timur Edisi Oktober 2025)

Suasana hangat dan penuh keakraban sudah terasa sejak awal di kediaman Mas Rizal di kawasan Tempel, Gempol. Pada Sabtu malam, 11 Oktober 2025, Paseduluran Maiyah Pasuruan kembali menggelar pertemuan rutinnya, mengusung tema yang mendalam: “Dzat Tunggal”.

Yang membuat diskusi kali ini begitu hidup dan relevan adalah ditemukannya benang merah dalam praktik spiritual sehari-hari para sedulur. Ternyata, banyak dari sedulur Maiyah yang sama-sama mempelajari dan mempraktikkan meditasi Mindfulness dalam kehidupannya, menjadikan diskusi bukan sekadar teori, melainkan berbagi pengalaman nyata.

Mas Rizal, sebagai tuan rumah, membuka sharing session dengan menceritakan perjalanan latihan meditasinya. Ia memaparkan dengan detail, mulai dari langkah paling dasar yaitu fokus pada napas, pergulatan untuk “mengalahkan monkey mind” atau pikiran yang terus melompat-lompat, hingga pada akhirnya timbul rasa syukur dan pasrah yang mengalir begitu saja tanpa paksaan. “Itu datang sendiri, sebagai buah dari konsistensi latihan,” ujarnya.

Pengalaman positif serupa diungkapkan oleh Mbak Marhamah. Ia bercerita bagaimana latihan meditasi yang dijalaninya membawa perubahan signifikan dalam kemampuannya mengelola emosi dan menghadapi berbagai masalah hidup. Meditasi memberinya kejernihan batin dan ketenangan dalam menyikapi setiap persoalan.

Diskusi semakin meluas ke bidang energi. Mas Wira, yang juga mempelajari penyembuhan Prana, banyak membagikan metodologi pengelolaan energi dalam tubuh. Penjelasannya memberikan perspektif lain tentang bagaimana energi hidup dapat diarahkan dan dimanfaatkan.

Lihat juga

Sementara itu, Mas Jufri, yang berlatar belakang pendidikan kimia, memberikan warna yang unik. Ia menjelaskan bahasan tentang energi, frekuensi, dan vibrasi—konsep yang sering dianggap abstrak—dalam sudut pandang mekanika kuantum. “Banyak hal spiritual yang sebenarnya bisa dijelaskan dengan logika ilmiah, meski tidak sepenuhnya,” tuturnya.

Dari dinamika diskusi, beberapa poin kunci berhasil dirajut. Dalam budaya Jawa, dikenal istilah otak atik gatuk, yang bisa dimaknai sebagai otak dan ati gatuk (otak dan hati selaras). Kesesuaian antara logika (otak) dan rasa (hati) inilah yang diyakini sebagai jalan untuk bertemu dengan Dzat Tunggal. Bahasan juga menyentuh tentang kondisi anak kecil yang jiwanya masih fitrah dan selalu terhubung dengan Tuhannya. Diskusi mengalir pada upaya untuk menjaga atau kembali kepada kondisi “default” tersebut dalam setiap fase kehidupan. Dari ranah teknis meditasi, diambil pelajaran tentang pentingnya menciptakan jeda antara stimulus dan respons. Jeda ini adalah ruang bagi proses kognitif untuk berpindah dari amygdala (pusat emosi) ke prefrontal cortex (pusat nalar), yang memungkinkan respons yang lebih bijak daripada reaksi impulsif.

Sebuah sharing yang begitu menyentuh hati datang dari Mas Upik, seorang penyandang disabilitas netra. Ia membagikan kisah hidupnya yang berubah drastis dari memiliki penglihatan normal hingga tak mampu melihat. Pengalamannya merupakan bukti nyata dan praktik paling otentik dari “praktik penerimaan” terhadap setiap ketetapan hidup.

Kehadiran Pa’i, tetangga Mas Rizal, seorang anak dengan kebutuhan khusus pada mentalnya yang seolah ingin ikut larut dalam vibrasi Maiyah terasa menjadi pelengkap Sinau Bareng kali ini.

Dari semua obrolan, diskusi, dan sharing yang berlangsung hingga lewat tengah malam, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya, apa pun jalan spiritual yang ditempuh—entah melalui meditasi, olah rasa, ilmu pengetahuan, maupun penerimaan total atas takdir—ujungnya akan bermuara pada satu titik yang sama: Dzat Tunggal, yaitu Allah SWT.

Kegiatan ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh Mas Jufri, mengiringi perjalanan pulang para sedulur dengan hati yang lebih tenang dan pikiran yang lebih terang.

(Redaksi Paseduluran Maiyah Pasuruan)

Back to top button