Sujud Spiritual Sekaligus Sujud Sosial
Melekatkan mata dan telinga di bumi. Tentu berikut kening, hidung, bibir dan wajah, bersama dua telapak tangan, lutut dan sebagian kaki. Semua melekat di permukaan bumi. Itulah gerak sujud manusia. Gerak sujud yang masuk dalam bagian dari gerakan ibadah mahdlah shalat. Termasuk di dalamnya ada sujud tilawah atau sujud ketika dibacakan ayat sajdah, dan sujud sahwi atau sujud untuk merekoveri kealpaan.
Di luar shalat, ada sujud syukur yang bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja saat hati tergerak untuk mengekspresikan rasa syukur dalam bentuk gerakan sujud. Gerak sujud syukur ini seringkali kita saksikan ketika ada atlet atau olahragawan Muslim memenangkan pertandingan, atau mengukir prestasi berupa kemenangan dalam pertandingan olahraga. Sujud syukur pun sering dilakukan ramai-ramai oleh siswa Muslim setelah melihat atau mendengar pengumuman bahwa mereka lulus ujian akhir sekolahnya.
Juga ada gerak sujud karena menghormat berdasar perintah Allah Swt. sebagaimana Malaikat dan Iblis diperintahkan Allah agar sujud kepada Adam. Fasajaduu illa iblis, aba wastakbara wa kana minal kafiriin. Mereka semua bersujud keada Adam kecuali Iblis, dia merasa sombong dan takabur karena dia, berdasar filsafat materialisme yang dia pegang, merasa terbuat dari api sedang Adam terbuat dari tanah. Dia tidak mensyukuri kondisinya yang diciptakan dari api dan mensyukuri karena Allah telah menciptakan makhluk lain, sebagai friend atau jape methe, terbuat dari tanah, maka dia pun mendapat status sebagai kafirin. Padahal kalau dia, Iblis, sedetik saja mau merenung dan menggunakan filsafat spiritualisme atau pendekatan spiritual, maka hakikat dan manfaat antara api dan tanah jelas dunungnya atau posisi tanah lebih bermakna serta bemanfaat dibanding api. Tanah bisa ditanami pepohonan dan pohon yang ditanam di tanah bisa memberi penghidupan kepada hewan dan manusia sedang api tidak bisa ditanami apa-apa. Tanah atau bumi pun bisa melahirkan mata air dan memancarkan air segar dan bersih sedang api tidak bisa melahirkan mata air. Api hanya bisa melahirkan api dan asap yang bisa menyesakkan dada.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa seluruh isi alam yang berada di langit dan di bumi selalu bersujud Kepada Allah Swt. sebagai ekspresi ketundukan kepada Allah. Selain bersujud, segala yang berada di langit pun selalu dalam kondisi, posisi, dan melakukan aktivtias bertasbih, mensucikan Allah. Dengan demikian, jika manusia selalu bersiap sedia untuk melakukan sujud maka dia sesungguhnya sedang menyamakan frekuensi spiritualnya dengan frekuensi alam semesta. Saat frekuansi spiritual itu nyambung maka dia akan mendapat kelimpahan energi spiritual yang menyegarkan jiwa dan tubuhnya dan bisa membuat damai dan tenang hati serta dirinya. Dalam kondisi yang demikian dia sesungguhnya selalu siap menghadapi dan berhadapan dengan segala peubahan yang terjadi dalam pergaulan sosial antar manusia dan pergaulan bersama makhluk lain di lingkungannya.
Dalam konteks ini maka sujud itu jika dimaknai secara sosial, menjadi simbol dari sujud sosial maka upaya melekatkan mata, telinga, wajah, hidung, bibir dan bagian tubuh lain sungguh memiliki daya serap informasi dan daya deteksi dini terhadap segala perubahan, termasuk perubahan sosial yang terjadi di dekatnya atau yang terjadi dalam jangkauan radar kesadarannya. Melekatkan telinga di bumi bisa berarti bahwa dia senantiasa bisa mendengarkan arah gerak-gerik atau aspsirasi lingkungannya. Melekatkan mata di muka bumi bermakna dia akan sangat tajam dalam melihat fakta-fakta di sekitarnya. Melekatkan hidung di bumi bemakna dia selalu mampu mencium segala gerak gerik dan perubahan bau kebaikan atau bau keburukan yang memancarkan di sekitar dirinya sehingga selalu siap mengantisipasi. Dalam konteks ini seorang pemimpin misalnya, yang selalu bersedia melakukan sujud sosial maka segala pikirannya, segala gerak perasaannya dan segala arah kehendaknya akan paralel dengan aspirasi lingkugnan yang ia pimpin. Dia akan tampil bijaksana, ramah, dan besedia duduk bersama dengan warga tanpa merasa jatuh martabat atau wibawanya. Apalagi kalau aktivitas ini dilakukan secara otentik dan tulus.
Berbeda dengan pemimpin yang selalu dan cenderung mabuk panggung berdiri di podium dengan tangan mengacu ke langit, saat itu mata telinga bibir dan hidungnya berada pada jarak yang terjauh dengan bumi realitas dan bumi aspirasi lingkungan yang dia pimpin. Maka wajar kalau terjadi disparitas atau kesenjangan yang sangat jauh antara yang dia ucapkan dan dia pikirkan serta dia kehendaki dalam pidato-pidatonya dengan aspirasi dan bumi realitas rakyat atau lingkungan yang dia pimpin. Demikian juga kalau pemimpin lebih asyik duduk di atas tahta empuk dan lebih menikmati empuknya tahta ketimbang mendeteksi keluhan, aspirasi dan realitas riil yang diderita rakyat atau lingkungan yang dia pimpin.
Dalam konteks ini pula apa yang dilakukan Mbah Nun dalam segala pengajian Maiyahnya bisa ditadaburi sebagai gerak sujud sosial ini. Melekatkan wajah dan panca indra dan tangan serta kaki di bumi realitas dengan tanpa jarak sama sekali. Segala denyut warga yang berada di bumi dimungkinkan terdeteksi kemudian dihimpun untuk dijadikan energi dalam melakukan sujud spiritual dengan menghaturkan segala bentuk apsirasi dan inspirasi kemanusiaan yang sangat kaya nilai. Maka banyak peserta pengajian Maiyah yang sering heran kenapa tiba-tiba apa yang disampaikan di pengajian Maiyah adalah sesuatu yang pas dengan kebutuhan psikologis dan kebutuhan pribadi dan kebutuhan sosial dia. Pertanyaan dan kegelisahan ssosial yang belum sempat dilontarkan sudah terjawab di pengajian Mayah oleh Mbah Nun. Dengan bahasa dan istilah yang tidak selalu persis sama. Tetapi yang jelas substansi masalahnya sama dan paralel dengan yang ada dan nggenteyong di dada dan kepala peserta pengajian Maiyah.
Ini merupakan keajaiban-keajaiban yang dialirkan oleh Allah dari langit cinta dan langit barokah ke bumi kenyataan manusia ketika sujud sosial dan sekaligus sujus spiritual sama-sama dilaksanakan dengan penuh harapan. Agenda di bumi berupa berbagi pertanyaan, berbagi kegelisahan karena menumpuknya masalah duniawi dan ukhrawi pun, saat berlangsungnya pengajian Maiyah bisa paralel dengan agenda langit dalam membagikan jawaban dan percik pencerahannya. Termasuk arah datangnya pertolongan dari langit untuk memenangkan berbagai macam pertarungan di bumi. Insya Allah, Alhamdulillah dan Subhanallah.
Yogyakarta, 10 Juni 2022