TANGAN KANAN MEMBERI, TANGAN KIRI (HARUS) SELFI
Sore hari sepulang dari RSUD Banyumas, saya menelusuri jalan yang padat di sekitar Jl. Sudirman Purwokerto.
Sesuai petunjuk Wening yang tak lain wong asli sini, untuk mencari Mendoan, makanan khas daerah ini, harus nyari di daerah Sawangan. Alun-alun luruuus ke barat terus belok kiri di pertigaan besar. Begitu petunjuknya.
Sesampai di lampu merah, kami berbelok ke kiri di simpang tiga Sawangan. Tepat sesudah belokan simpang tiga, berderet toko-toko penjual mendoan, tempe kripik, gethuk goreng dan berbagai jenis kecap pedas, yang biasanya sebagai pelengkap makan mendoan.
Saya memesan beberapa lembar mendoan, buat berbuka nanti bersama Parmin yang selalu membersamai saya di setiap perjalanan ke daerah ini. Saya sebut ‘lembar’ untuk menyatakan satuan mendoan, karena memang tempe yang digoreng untuk mendoan berbentuk persegi panjang dengan ukuran kira-kira 10×15 cm, dan diiris sangat tipis, sehingga berbentuk lembaran.
Saya mengamati bagaimana proses menggoreng mendoan ini. Memang mendoan ini selalu dibikin fresh from the wajan. Tempe diambil kemudian dicelup dalam adonan tepung khusus untuk membikin mendoan, dan digoreng dalam wajan yang sangat besar dengan minyak yang sangat panas. Menggorengnya pun ada trik khusus. Selalu dibolak-balik setiap 10-15 detik. Sambil menggoreng, si mas tukang goreng menawarkan paket oleh-oleh tempe mendoan yang masih mentah.
“Ada juga lho Pak mendoan mentah yang nanti bisa digoreng di rumah,” kata dia menawarkan oleh-oleh tersebut dengan logat khas ngapaknya.
“Lha wong saya baru pulang ke Yogya besok siang, tempenya kan sudah jadi semangit nanti,” kata saya.
“Lhooo tempe itu hari ini masih bentuk kedelai Pak, baru siap digoreng nanti hari Minggu (du hari dari sekarang),” terang dia.
“Oooh gitu yaa… baiklah saya akan bawa 2 paket, ” jawab saya.
Isi paket adalah tempe mentah untuk mendoan, yang memang dibikin sangat tipis, sehingga dalam setiap bungkus tempe terdapat 4 lembar tempe yang tipis, dibatasi dengan sehelai daun pisang di antara lembaran tempe.
Selain tempe, di dalam besek paket tersebut terdapat pula tepung yang sudah dibumbui khas mendoan. Nantinya kalau menggoreng tempe tinggal bikin adonan tepung ditambah dengan irisan daun bawang yang akan menambah sedapnya rasa mendoan. Tidak ketinggalan kecap pedas di setiap paket oleh oleh tempe tersebut.
Sesudah mencangking beberapa lembar mendoan yang masih panas, kami berjalan ke arah stasiun KA. Kami ingin melihat situasi kota ini. Ternyata sore hari begini sangatlah padat. Menandakan aktivitas masyarakat di sini sangat dinamis. Kegiatan ekonomi meningkat, terutama di bulan Ramadan ini. Saya minta Parmin meminggirkan kendaraan, karena saya melihat penjual degan kambil ijo (kelapa muda) di pinggir jalan.
Saya memesan dua buah kelapa muda yang kelihatan segar. Sambil menunggu Pak penjual degan, saya lihat ada ‘keramaian’ di pertigaan seberang. Saya tanya kepada mas-mas yang lagi duduk duduk di situ, di lapaknya pak penjual kelapa muda.
“Ada apa itu Mas kok rame banget?”
“Biasa Pak itu bagi-bagi takjil di pinggir jalan,” jawab si Mas yang duduk-duduk itu.
“Waah….. lumayan nih kalo nanti saya putar balik lewat situ bakal kebagian,” kata saya.
“Iyaaa bener Pak…,” jawabnya.
Namun kemudian saya lihat rombongan tadi berfoto-foto, selfie sambil membagikan takjil. Kemudian berfoto bersama dengan membentangkan spanduk, dan sepertinya juga bikin video pendek, dengan merekam yel-yel, yang saya kira yel-yel kelompok pembagi takjil itu.
Saya iseng berkomentar kepada mas-mas yang duduk di lapak penjual degan itu.
“Kalo bagi-bagi takjil tidak lupa foto-foto ya Mas,” kata saya.
“Lha itu malah yang penting Pak, dan selalu harus ada atau wajib,” kata si mas.
“Kalo bagi-bagi tapi nggak foto-foto malah gak ada ya mas?” tanya saya.
“Waaaah gak ada pak…., lha wong sekarang itu prinsipnya adalah ketika tangan kananmu memberi, tangan kirimu bikin dokumentasi,” jawab si mas dengan enteng.
Saya terbengong karena tersentuh mendengar statement si mas yang duduk di lapak penjual degan itu. Sepertinya bagi mas-mas ini, fenomena yang barusan saya lihat tadi sudah menjadi hal yang umum terjadi. Sangat biasa terjadi, bahkan lumrah.
Saya tiba-tiba flashback ke masa SD, masa ketika ngaji di langgarnya simbah. Masa ketika guru SD saya, bernama Pak Zein, memberi pelajaran agama. Yang saya ingat dan yang saya tahu adalah ketika tangan kanan kirimu memberi sesuatu, jangan sampai tangan kirimu tahu. Tetapi kenyataan yang ada saat ini adalah seperti yang disampaikan si mas tadi. Ini sebuah kemajuan zaman atau kemunduran?
Perkiraan saya nantinya, foto-foto tadi akan tersebar/disebar di jagat media sosial, setidak-tidaknya di grup WA, dengan tak lupa diberi kredit “kelompok X berbagi” atau “takjil dari group X” atau semacamnya. Jadi menjadi ‘tidak sah’ kalo membagi sesuatu tanpa ada selfie, foto, yel-yel atau stempel dari pihak tertentu.
Aaaah kenapa saya jadi suudhdhon begini? Mestinya saya tidak boleh suudhdhon seperti itu, walaupun antara ikhlas dan riya’ itu adanya di dalam hati. Bahkan batas antara ikhlas dan riya sangatlah tipis. Tapi ada yang ngajarin sih…tengok ketika ada seorang anggota dewan membagi-bagi uang, dalam amplop berwarna merah, lengkap dengan foto si pemberi dan ada lambang di situ. Membaginya pun di tempat ibadah.
Sulit sekarang untuk menemukan orang yang sembunyi ketika memberi. Tidak berkata ketika berderma. Lha wong di hadapan saya sendiri hal itu terjadi. Ketika ada pihak-pihak tertentu memberi sesuatu ke ‘guru-guru’ saya tidak lupa harus berfoto, tidak lupa dalam foto itu membawa kertas yang bertuliskan nominal dan nama kelompok pemberi sumbangan, dan kemudian fotonya naik ke medsos.
“Ini lhoooo aku sudah memberi…,” kira-kira begitu.
“Astaghfirullah…! ingat saya tidak boleh berprasangka buruk!”
Sebab, di dalam Qur’an pun hal-hal yang seperti ini dibahas. Tentang berderma, tentang etika, tentang keutamaan, dan tentang kebaikan.
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu,” demikian terjemahan dari firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 271.
Pwt, 23 Ramadhan 1444 H