Tadabbur Hari ini (30)
WASPADA SANAD
WASPADA SANAD
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)
Umpamanya dalam perjumpaan pertama kita dengan Al-Fatihah, ketika sampai pada “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”, tiba-tiba kita menangis. Kalau kemudian kita menceritakan atau mengisahkan peristiwa menangis itu kepada teman atau tetangga, mereka tidak akan bertanya “apa atau mana sanad”nya? Karena sandaran kisah itu adalah pengalaman otentik kita sendiri. Sisa masalahnya kita jujur dengan tangis itu atau berbohong.
Tapi umpamanya Rasulullah Muhammad Saw. juga menangis tatkala menerima wahyu Al-Fatihah, lantas kita menceritakan kepada siapapun, maka harus disertai “sanad”nya, atau sandaran faktanya. Harus kita sebutkan juga urutan siapa saja yang menceritakan hal itu sehingga sampai ke kita.
Menurut para ahli hadits, “Sanad adalah pegangan dalam teks hadits atau matan. Menurut bahasa, sanad adalah sandaran atau tempat bersandar. Sedangkan menurut istilah, sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada jalan hadits”.
Sudah dikenal oleh para pembelajar Islam, khususnya hadits, sanad adalah orang-orang yang meriwayatkan hadis dari tingkatan sahabat hingga hadits itu sampai kepada kita. Adapun “matan” menurut bahasa adalah ma irtafa’a min al-ardi atau tanah yang meninggi. Sedangkan menurut pemahaman keilmuan adalah “kalimat tempat berakhirnya sanad”.
Sanad tidak bisa dipisahkan dari “Rawi” atau Bahasa Indonesianya “Perawi”, yakni orang yang meriwayatkan hadits. Mungkin istilah menterengnya: Perawi adalah trans-informatornya, sanad adalah alur atau proses trans-informasinya.
Itu semua sangat diperlukan demi kebenaran sejarah. Ketegasan sanad menunjukkan derajat kesahihan sebuah hadits. Kewaspadaan terhadap sanad sangat menolong kita untuk mengetahui apakah hadits yang sampai ke kita itu valid atau invalid, shahih atau tidak, hasan, dhaif atau bahkan palsu.
Segala informasi tentang dan dari Al-Qur`an sudah diverifikasi berlipat-lipat berulang-ulang selama berabad-abad lamanya sedemikian rupa. Tetapi yang menyangkut hadits atau sabda atau sunnah atau sirah Nabi Muhammad Saw., sangat perlu kita saring lagi agar supaya kita tidak mengalami disinformasi, bahkan tertipu. Yang nanti efeknya bisa menimbulkan kekisruhan sosial dan keagamaan.
Tetapi kalau kita sendiri yang dalam perjumpaan dengan Al-Fatihah atau hadits-hadits Nabi tergetar hati kita sampai menangis, atau bahkan sampai pingsan, kemudian kita mengungkapkannya, atau mungkin menuliskan refleksi dan penghayatan dari mendalamnya keterharuan kita, perawi dan sanadnya adalah otentitas kita sendiri.
Demikian juga setiap atau seluruh persentuhan kita dengan isi Al-Qur’an atau muatan hadits, orang lain tidak akan menagih sanad kepada kita. Hanya saja kalau kita mengutip ungkapan sahabat Nabi umpamanya Umar ibn Khattab, Abu Hurairah atau siapapun, harus kita jelenterehkanurutan-urutan informasinya dari siapa ke siapa ke siapa sampai ke kita.
Rasulullah punya nuansa reaksi dan refleksinya terhadap setiap ayat yang difirmankan. Setiap Sahabat Nabi juga punya nuansa dan jenis refleksinya masing-masing. Kalau kita mengisahkan hal-hal itu, harus kita perjelas sanadnya. Tapi kalau kita mengalami penghayatan sendiri atas ayat Al-Qur`an atau Hadits, memang tidak ada sanadnya maupun perawinya selain kita sendiri.
Sanad adalah silsilah atau kumpulan rawi dari sahabat atau siapapun yang otentik pada waktu itu hingga orang terakhir yang meriwayatkannya. Kalau kita lapor ke teman kita bahwa sudah berbulan-bulan kita tidak sanggup membayar hutang, teman kita tidak bertanya “Menurut siapa?”. Ya menurut kita, lha wong kita yang berhutang.
Yang sebaiknya dilakukan oleh teman kita itu bukanlah menanyakan sanad hutang kita, melainkan menghutangi kita uang untuk membayar hutang kita. Dia juga sebaiknya mensyukuri bahwa kita tidak mengganggunya. Kita sendiri yang menafsirkan, mentadabburi dan menghayati hutang kita tanpa mengganggunya.
Mungkin kewaspadaan dan disiplin hal sanad ini dimaksudkn agar kita tidak membiarkan “tradisi budaya kefasiqan” sebagaimana yang Allah peringatkan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujurat: 6)
Disiplin dan kewaspadaan tentang sanad insyaallah menghindarkan kita dari terseret menjadi “almaghdlubi ‘alaihim” atau bahkan “dhollin”.
Emha Ainun Nadjib
28 Mei 2023.