Tadabbur Hari ini (20)
”JIMAT” AL-FATIHAH
”JIMAT” AL-FATIHAH
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)
Kalau dilihat dari spiritualitas budaya bangsa Jawa, terkadang Al-Fatihah itu disebut jimat. Dan begitu kata jimat disebut, asosiasi spontan hampir setiap Muslim adalah menganggapnya “syirik”, karena dipahami sebagai alat untuk meminta sesuatu tidak kepada Allah.
Sebenarnya tentu tidak ada masalah di antara manusia saling meminta dan memberi. Hanya saja biasanya kandungan yang diharapkan di balik penggunaan jimat itu memiliki level atau kadar yang di atas materi. Bukan seperti minta makanan atau uang, melainkan muatan hajat yang lebih tinggi atau lebih abstrak dari itu.
Dan karena tidak ada ruang pembelajaran tentang level atau substansi itu, apalagi di kelas-kelas Sekolah atau Universitas termasuk juga Pesantren pada umumnya, maka masyarakat akhirnya “menyerah” secara ilmu dan memilih “stigma” yang muncul secara umum.
Kebanyakan orang, termasuk banyak pemuka Agama dan kaum cendekiawan, bersikap stigmatik, membiarkan diri bersama banyak orang untuk melakukan pen-ta’rif-an terhadap hal secara “gebyah uyah”, serampangan dan spekulatif. Dalam hal jimat ini, baik yang dituduh maupun yang menuduh tidak berperan positif untuk menuju kebenaran asasinya.
Kata jimat berasal dari kata ‘adhimah. Artinya keagungan. Allah al-‘Adhim adalah Allah Yang Maha Agung. Kosakata “agung” itu mengandung banyak dimensi: kebesaran, kehebatan, ketinggian, kedahsyatan dan atau keunggulan.
Lho memang Al-Fatihah itu sangat agung. Tidak melenceng orang Jawa menyebutnya “jimat”. Masalahnya adalah bagaimana konsep di dalam pikiran dan hati orang yang menjimatkannya. Mengandung gejala penuhanan selain Allah apa tidak. Kita sih sudah pasti tidak mentuhankan Al-Fatihah.
Maka sangat bisa dipahami secara kultural bahwa “jimat” itu sesuatu yang eksklusif dan diam-diam diincar oleh kebanyakan orang. Banyak masyarakat sangat terserap oleh wacana jimat, diam-diam ingin memilikinya, bahkan bisa terseret men-jimat-kan beberapa hal yang mereka dramatisasikan sendiri.
Mungkin kita bisa berupaya untuk mengeliminir dimensi-dimensi seram yang membungkusnya. Orang menganggap Al-Fatihah adalah jimat mungkin karena Al-Fatihah memang pada praktek budayanya begitu sangat penting, sangat khusus, sakral, mengandung “rasa ketuhanan” setiap kali membaca atau bahkan sekedar membatin dan mengingatnya.
Dan pada realitasnya Al-Fatihah memang diperankan sebagai sesuatu yang sangat penting. Orang berdoa mengalfatihahi Rasulullah Saw, leluhurnya, orang tuanya, para Auliya dan almarhum-almarhum yang diziarahi. Bahkan segala masalah yang menimpa seseorang biasa dimintakan Al-Fatihah sebagai sarana untuk mendoakan permohonan solusinya.
Segala macam urusan manusia, problem, dan harapan solusinya, sakit dan dambaan sembuhnya, cita-cita dan idaman tercapainya, atau apapun, sangat lazim kita libatkan Al-Fatihah ke dalamnya. Al-Fatihah memang agung, memang mengandung keagungan, memang memuat “’adhimah”, memang jimat.
Karena mendengar saya sakit, seorang Jamaah Maiyah membawa air dengan wadah sangat besar, yang sudah ia bacakan Al-Fatihah 1000X. Saya menerimanya dengan rasa syukur, bukan karena jimat Al-Fatihahnya, melainkan karena dia mencintai saya dan memohonkan kepada Allah kesembuhan saya melalui Al-Fatihah seribu kali itu.
Sebagaimana setiap Dokter, Dukun, Tabib atau macam-macam penyembuh lainnya, yang ngasih saya obat — saya menerimanya dengan rasa syukur. Dan saya masukkan ke dalam jasad dan jiwa saya serta saya laporkan kepada Allah adalah iktikad baik dan rasa sayangnya kepada kepada saya.
Adapun hal tentang kebenaran obat, minuman, pil, jimat atau apapun, saya serahkan sepenuhnya kepada Allah. Karena saya tidak punya pengetahuan yang seksama untuk memverifikasinya.
Sejauh pengalaman pribadi saya, tidak pernah siapapun yang memberikan obat, jimat, keris, pusaka bentuk apapun kepada saya yang bergejala syirik. Mereka semua tidak mentuhankan selain Allah. Mereka semua bertauhid, dan membawakan macam-macam kepada saya itu hanya sebagai sarana atau washilah, sebagaimana Al-Fatihah itu sendiri adalah sarana penyambung hati, jiwa, sukma, dan nyawa saya serta kita semua ke Allah Swt.
Saya berlindung kepada Allah dari segala kesemberonoan dan ketergesaan untuk menuduh siapapun melakukan “syirik”. Jangan-jangan “sok tahu” saya akan menjerumuskan saya menjadi “maghdlub” atau apalagi “dhollin”.
Emha Ainun Nadjib
18 Mei 2023.