Sinau Bareng Masyarakat Toroh Grobogan, Lapangan Basah dan Becek Bukan Kendala

Liputan Sinau Bareng di Lapangan Sugihan Toroh Grobogan, 8 Oktober 2022, bagian 1

Semalam (Sabtu, 8 Oktober 2022) Mbah Nun dan KiaiKanjeng berada di Desa Sugihan Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan Jawa Tengah untuk Sinau Bareng di lapangan Sugihan. Sejak sore hujan lebat mengguyur yur Grobogan. Tetapi, kita tahu bukan hanya Grobogan yang mendapatkan limpahan hujan.

Daerah-daerah lain, termasuk Yogyakarta sendiri, pada saat yang sama juga hujan. Musim penghujan memang telah tiba. Hari-hari kita telah ditemani dengan hujan. Dan, ketika pukul 17.15 WIB, rombongan KiaiKanjeng bergerak dari pusat kota Grobogan menuju lokasi, deras hujan itu makin menumpah ke bumi. Guyuran hujan itu seakan menegaskan, Sinau Bareng ternyata mengenal musim. Masyarakat tetap membutuhkan kehadiran Mbah Nun dan KiaiKanjeng baik di musim kemarau maupun musim hujan, dan dalam apapun keadaannya di lapangan atau kokasi nanti.


Usai maghrib, saat KiaiKanjeng melakukan sound check, meski sudah berkurang derasnya, hujan masih turun. Lapangan tak sekadar becek, tetapi terlihat jelas banyak genangan air di sana sini. Belum ada jamaah yang sudah ambil tempat di depan panggung seperti lazim kita jumpai di Sinau Bareng. Tinggi atap panggung pun masih separuh dari semestinya karena dimaksudkan agar menghindarkan tampias air ke panggung. Dari jalan menuju panggung, panitia telah menyediakan papan-papan kayu yang sudah ditata rapi untuk menjadi jalan bagi rombongan KiaiKanjeng dan jamaah agar tidak berjalan di atas bletokan lumpur.

Lapangan ini berada di tengah hamparan sawah. Dari atas panggung, ke arah tempat audiens, sejauh mata memandang adalah kekosongan. Lampu-lampu rumah warga atau jalan terlihat jauh di sana. Ketika usai Isya’ acara diawali dengan hadroh adik-adik SMK setempat, baru bisa dihitung jari berapa orang yang sudah duduk di depan panggung. Di kiri dan kanan panggung, ada disediakan tempat yang beratap. Sebagian kecil jamaah untuk sementara berada di situ.

Ajaibnya, pada saat Mbah Nun dan KiaiKanjeng naik ke panggung, bersamaan dengan kelompok hadroh SMK ini sampai pada bagian ‘indal qiyam, satu per satu jamaah bergerak mengambil tempat di depan panggung. Perlahan-lahan jamaah memenuhi area depan panggung. Saat itu hujan sudah benar-benar reda. Kata Mbah Nun, hujannya tidak tega kepada kita semua yang akan Sinau Bareng. Dari panggung terlihat pula, arus kendaran bermotor bergerak menuju lokasi. Meski dingin dan lapangan basah dan becek, para jamaah telah siap dengan kondisi apapun. Mereka bawa alas duduk tempat mereka akan lesehan. Anyep pun bukan kendala. Makin lama jamaah makin memenuhi lapangan.



Sebenarnya Mbah Nun sendiri juga tidak tega, dan ingin duduk di antara mereka, tetapi itu tidak dimungkinkan. Mbah Nun mengajak semua hadirin memulai dengan membaca surat Al-Fatihah dan kemudian mengungkapkan, “Sing angel golek nggon, sing lungguh lan teles, InsyaAllah ganjarane akeh. Ora nesu tho karo udan? Nek udan, syukur opo nesu? (Yang kesulitan cari tempat duduk, yang duduk dalam keadaan basah, InsyaAllah mendapatkan pahala yang banyak. Tidak marah kan sama hujan? Jika hujan, bersyukur atau menggerundel? (Syukurrr. Jawab jamaah). Dengan turunnya hujan, air menjadi lebih banyak dan akan berfungsi untuk banyak hal, membersihkan apa yang harus dibersihkan, untuk daur ulang, siklus dll. Cara berpikirnya, kalau hujan itu berarti yang terbaik. Kalau pas tidak hujan, itu juga terbaik.”

Sesaat itu juga Mbah Nun menangkap kekhususan acara ini. Tidak hanya suasana usai hujan deras yang tidak mengurangi sedikit pun semangat masyarakat untuk mengikuti Sinau Bareng, tidak hanya bahwa acara dimulai dengan mengungkapkan rasa cinta kepada Kanjeng Nabi dengan shalawatan, tetapi juga Mbah Nun teringat akan hadis Nabi yang menuturkan Nabi merespons seseorang yang mengatakan kepada beliau bahwa beruntunglah orang yang melihat atau berjumpa dengan beliau dan beriman kepada beliau. Nabi merespons dengan bersabda, “Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku. Kemudian beruntunglah, kemudian beruntunglah, kemudian beruntunglah mereka yang beriman kepadaku padahal ia tidak melihat/berjumpa denganku.”

Mbah Nun meyakini jamaah yang tadi malam datang dan memulai acara dengan shalawatan dengan kondisi yang basah dan becek insyaAllah adalah bagian dari orang-orang yang digambarkan oleh Rasulullah. Orang-orang yang beruntung. Mereka tak hanya tak pernah bersua dengan Kanjeng Nabi. Mereka berada di tempat dan kurun waktu yang sangat jauh dari Nabi. Di desa Sugihan, habis hujan deras pula, rela duduk bersama untuk bershalawat dan Sinau Bareng.

Usai shalawat ‘indal qiyam bersama adik-adik hadroh SMK, Mbah Nun membuka perjumpaan dengan menyampaikan uluk salam, tetapi dengan cara meminta para vokalis KiaiKanjeng melantunkan ucapan salam itu dengan lagu yang berbeda-beda, ditambah penjelasan dari Mbah Nun bahwa ketika menjawab salam kalau bisa secara utuh pada bagian wa alaikum salam warahmatullahi wa barokatuh. Nah yang lebih tepat adalah wa alaikumus salam warohamatullahi wa barokatuh.

Antara kata, ‘’alaikum’ dan kata ‘salam’ terdapat ‘al’ yang melekat pada kata ‘salam’. Karena ‘sin’ termasuk huruf syamsiyah, maka cara membacanya lam-nya lebur kepada sin menjadi wa alaikumussalam. Tetapi yang dimaksud Mbah Nun adalah ‘al’ di situ harus dibaca, sebab ia punya makna. Yakni, sesuatu yang ditunjuk adalah sesuatu yang khusus. Seperti fungsi ‘the’ dalam bahasa Inggris yang beda dengan ‘a’. Jadi, limpahan salam yang kita mohonkan diberikan oleh Allah kepada yang mengucapkan salam kepada kita adalah salam yang khusus.

Selepas lantunan salam ini, para jamaah diajak memadukan suasana dingin, tanah basah dan becek dengan suara magis gamelan KiaiKanjeng melalui nomor Pambuko yang disambung langsung dengan shalawat Nariyah. Semua ikut bershalawat. Benar-benar khusus. Beberapa kali, Mbah Nun meminta musik KiaiKanjeng memelan, untuk memberi ruang bagi lebih terdengarnya suara jamaah. Mbah Nun berdiri lebih mendekat ke jamaah, mengarahkan mic kepada mereka.


Suara jamaah makin terdengar sebagai suara yang utama, yang memohon limpahan shalawat dan salam kepada Kanjeng Nabi yang dengan shalawat dan salam itu mereka memohon pula Allah berkenan melepaskan kesulitan-kesulitan, menghilangkan kesusahan, memenuhi hajat-hajat, menyampaikan kita kepada apa yang kita damba, mengantarkan kita kepada akhir yang baik, memperkenankan hujan turun, sebagaimana terkandung dalam kalimat shalawat Nariyah yang sedang mereka lantunkan.



Sedikit demi sedikit suasana makin menghangat. Kegembiraan lebih terpancar dari wajah-wajah jamaah meski mereka duduk di atas rumput yang basah dan diliputi hawa dingin. Sebenarnya sejak mereka duduk pun, tak ada pancaran lain kecuali gembira dan siap Sinau Bareng. Perjumpaan dengan Mbah Nun dan KiaiKanjeng adalah perjumpaan yang istimewa. Biar hujan dan dingin, tak mungkin mereka melewatkan kesempatan ini. Terasa bahwa acara yang dapat berlangsung dengan hangat, penuh semangat, meski habis hujan deras, adalah sesuatu yang khusus dan khas Sinau Bareng.

Tema Sinau Bareng di Lapangan Desa Sugihan ini adalah Sinau Syukur, dan Mbah Nun telah menyiapkan di antaranya Dramatic Reading dan pertanyaan workshop dengan tema seputar Sinau Syukur ini. Di atas panggung dengan mengenakan jaket Kopassus, Mbah Nun ditemani Wakil Bupati Grobogan, Danramil, perwakilan Polsek Toroh, serta Tuan Rumah yang menginisiasi Sinau Bareng malam ini. Semangat tak hanya milik jamaah, di pinggir-pinggir jalan, para pelapak kakilima tetap membuka lapak mereka, menjajakan apa yang mungkin dibutuhkan jamaah, termasuk yang menawarkan alas tempat duduk. (bersambung).

 

Lihat juga

Back to top button