SANG PENYUSUN WIRID PADHANGMBULAN

Terdengar wirid Padhangmbulan mengawali acara Tahlil malam bakda Isya di Sentono Arum, Menturo, Jombang, 20 Januari 2023. Saya berada di tempat ini seraya mengingat tempat di saat saya pertama kali berkunjung di sini, tepat di hari kedua bulan Syawal 30 tahun yang lalu.

Saya diajak Cak Nun untuk berlebaran ke Menturo. Sebuah kebahagiaan yang tak terkira bisa diajak Cak Nun untuk mudik ke kampung halaman yang penuh dengan cerita yang membuat beliau seperti sekarang ini. Kami bertiga, Cak Nun, Mas Arief Afandi (Jawa Pos), dan saya sendiri, dengan satu mobil menuju Jombang. Kami berangkat jam satu dinihari lebih dan sampai Jombang sesudah subuh. Mas Arif sendiri turun di Nganjuk, untuk melanjutkan perjalanan mudiknya ke Blitar.

Betapa bahagianya saya ketika sampai di Menturo disambut ibunda Cak Nun, Swargi Ibu Halimah. Saya dipersilakan istirahat di kamar besar di rumah induk Menturo. Hanya baring-baring saja serta tidur-tidur ayam di dalam kamar, sampai akhirnya Cak Nun masuk kamar mengajak sarapan dan mengajak ke pertemuan keluarga besar di daerah Mojoagung. Di situ saya dikenalkan dengan keluarga besar Cak Nun, yang memang besar. Disitulah saya berkenalan dengan Cak Fuad, Cak Mif, Cak Nang, Cak Zakki, dan lainnya. 

Agak susah bagi saya untuk mengingat detail acara syawalan dan acara-acara sesudahnya. Yang jelas saya ingat adalah malam harinya sesudah Isya’ saya diajak bergabung di Mushalla/Langgar kecil di depan rumah dalam satu majelis, yang lebih merupakan sebuah rembugan keluarga yang dipandegani oleh Cak Fuad dan Cak Nun. Di dalam rembug keluarga dan tetangga kiri kanan, diputuskan bakal ada pengajian bulanan yang akan dimotori oleh duet Cak Nun dan Cak Fuad, di mana Cak Fuad lebih fokus dan mengajak kita untuk mentadabburi Al-Qu’ran. Kejadian itu kira-kira terjadi pada tanggal 3 Syawal 1413 H. 

Itulah cikal bakal Padhangmbulan. Saya melihat sosok Cak Fuad yang sangat lembut, tenang, sangat mendengarkan, selalu senyum, dan kedalaman ilmunya sangat luar biasa. Bahkan kepada saya yang jauuuuhh lebih muda, beliau menghormati saya, sehingga saya seringkali kikuk dalam berhadapan dengan Cak Fuad. 

Dalam menjawab kondisi zaman, dalam menyelesaikan permasalahan beliau selalu kembali kepada Al-Qur’an. Pribadinya sangat sederhana, banyak rahasia rahasia yang beliau simpan. Bahkan sampai akhir hayatnya, saya tidak tahu kalau beliau (pernah) menjabat sebagai Dekan. Hal ini pun saya ketahui dari sambutan Cak Nun di acara pemakaman beliau.  

Saya meneteskan air mata ketika mendengar ini. Lebih karena bagaimana beliau menjaga rahasia ini. Di saat orang-orang bangga dengan kedudukannya, apakah sebagai dekan, rektor, bupati, gubernur bahkan menjadi menteri. Namun tidak begitu dengan Cak Fuad.

Pertemuan saya yang terakhir dengan Cak Fuad terjadi di lantai 2 Gang Barokah 287 Kadipiro pada tanggal 16 November 2021. Pada waktu itu bersama Cak Nun, Cak Fuad, dan Mas Banar, kita shooting youtube caknun.com dengan tema sejarah cikal bakal berdirinya Padhangmbulan. (Lihat tayangannya di YouTube caknun.com dengan judul Mozaik Sejarah Padhangmbulan #1 hingga #4). 

Saya ingat di pertengahan tahun 1990-an, sebelum acara Padhangmbulan Cak Nun bilang kepada saya, “Dot, iki ono wirid… jenenge wirid Padhangmbulan. Sing gawe Cak Fuad.”

Wirid Padang Bulan pun mengangkasa di desa Menturo di acara Padhangmbulan malam itu, di mana saya mendapat tugas me-record audio jamaah dalam sebuah perangkat digital yang terbilang modern di saat saat itu. Dan saya gagal me-record-nya di awal-awal.

***

Saya sampai di Menturo tidak menangi prosesi pemakaman beliau, saya mengikutinya lewat siaran langsung di channel Youtube. Belum sempat bersalam dengan Cak Nun saya digeret oleh Cak Yus, untuk menemui Bu Ut (istri Cak Fuad). Saya langsung bersimpuh di hadapan Bu Ut, dan menangis sejadi-jadinya. Saya tidak tahu kekuatan apa yang menjadikan saya bisa menangis ngguguk di hadpan Bu Ut. Sambil Bu Ut bercerita bagaimana perjuangan beliau dan dokter yang merawat beliau yang selalu datang ke rumah. 

Cukup lama saya menghabiskan genangan airmata ini. Sampai saya bangkit dan sudah berada di hadapan Bik Roh, dan saya pun memeluknya dan menangis lagi. Barulah saya ke depan untuk bertemu dengan Cak Nun dengan sisa-sisa air mata, dan saya tak mampu berkata-kata.

Kini wirid Padhangmbulan bergema lagi, di dusun yang sama, di pekarangan yang sama, untuk mengantar Sang Penyusun wirid, yang sowan ke haribaan Allah hari itu. 

Ya Allahu Ya Mannanu Ya Kariim

Ya Allahu Ya Rahmaanu Ya Rahim

Ya Allaahu Ya Fattahu Ya Halim

Ya Allahu Ya Rahmanu Ya Rahim

Selamat jalan Guru kami. Saya tak mampu menulis kehebatanmu. 

Menturo – Jogja, 20-24 Januari 2023

Lihat juga

Back to top button