SABAR MENJADI MURID
(Pengantar Majelis Ilmu Padhangmbulan, Mentoro Sumobito Jombang, Rabu, 7 Desember 2022)
Pada bulan penghujung tahun ini Pengajian Padhangmbulan dilaksanakan pada Rabu (7/12/2022) di desa Mentoro Sumobito Jombang. Satu tahun nyaris berlalu dan cakrawala pergantian tahun membentang depan mata. Namun, adegan demi adegan pada menit selanjutnya sungguh gaib bagi mata pandang kita yang serba terbatas.
Kita mengimani kegaiban karena ia satu-satunya jalan keluar yang diberikan Allah. Iman dibangun bukan tanpa dasar atau fondasi ilmu. Minimal kita memiliki bahan-bahan yang rasional untuk mengimani kegaiban. Bahan-bahan ini tidak digunakan untuk merasionalisasi “objek” atau “sasaran” kegaiban, melainkan untuk menemukan pijakan dan jawaban mengapa kita beriman kepada yang gaib.
Bangunan berpikir (bun-yanu al-tafkir) diupayakan secara terus menerus melalui sinau bareng agar kita menyadari—sekalipun sudah bergelar doktor berpangkat profesor berjubah mursyid—pengetahuan manusia sesungguhnya hanya setetes di tengah samudera ketidaktahuan.
Jangankan menembus rasionalitas alam malakut jabarut, tidak seorang pun termasuk dirinya sendiri mengetahui kapan akan wahing.
Kita mengerti sesuatu yang tidak dimengerti orang lain. Sebaliknya, orang lain memahami sesuatu yang kita tidak memahaminya. Kita pandai pada bidang tertentu tapi ndlahom pada bidang yang lain. Pada konteks kesadaran itu saling merendahkan hati di sinau bareng merupakan sikap kunci kita bersama.
Dialektika pengetahuan dan ketidaktahuan dijalin tidak untuk ngendas-ngendasi, menang-menangan, atau mencari benere dewe, melainkan untuk merajut komponen bangunan berpikir. Komponen-komponen itu akan terhubung dan membentuk struktur berpikir jika kita menempatkan diri sebagai subjek bukan objek.
Menjadi subjek pembelajar artinya kita aktif partisipatif, nyiduk atau bahkan menimba di sumur ilmu. Subjek atau fail pembelajar disebut murid, orang yang menghendaki ilmu. Indikator keaktifan ditandai oleh kemauan bertanya, menganalisis, menafsirkan, mengevaluasi, dan membuat penilaian tentang apa yang dibaca, didengar, dikatakan, dan dituliskan.
Kita belajar kepada Nabi Musa tentang makna kesabaran dan berpikir kritis ketika berhadapan dengan Nabi Khidir. Kesabaran benar-benar diuji dan sikap berpikir kritis dipertanyakan kembali. “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku,” kata Nabi Khidir. “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (Q.S. Al-Kahfi: 67-68)
“Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.”
“Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,” kata Nabi Khidir. (Q.S. Al-Kahfi: 69-70)
Antara berpikir kritis dan sami’na wa atha’na memerlukan ordinat keseimbangan yang tepat. Jarak tipis di antara keduanya diisi oleh sikap sabar. Kisah Nabi Musa mengajarkan pentingnya kesabaran sekaligus ketepatan menentukan akurasi berpikir kritis dan sikap sendhika dhawuh. Ada saat kita menggunakan kaca mata ilmu dan ada momentum kita memasang kaca mata iman.
Sayangnya, kita masih berpikir dikotomi sehingga belum menemukan pijakan yang seimbang saat memahami peristiwa ilmu dan peristiwa iman yang dikandung satu kejadian tertentu. Akibatnya figur mistis Nabi Khidir mendominasi isi otak kita sehingga sikap kritis Nabi Musa menjadi lemah.
Parahnya lagi sikap kritis dianggap su’ul adab. Sedangkan sendhika dhawuh pada titah figur dimanipulasi menjadi tali otoritas yang mengikat leher.
Majelis Ilmu Maiyah melakukan tajdid dan furqon atas fenomena itu. Bersabar dan menjadi subjek pembelajar yang memiliki ketepatan mata pandang mari dinikmati bersama dalam Pengajian Padhangmbulan di desa Mentoro Sumobito Jombang.