RENJANA NASIONALISME

LEPAS dari raganya, melesat ke Jonggring Salaka. Bimbang Prabu Kresna setelah bertemu dengan Bisma, Resi Durna dan Prabu Joko Pitono. Opsi pembatalan perang Baratayudha digantikan dengan pemilu rakyat Astina sangat masuk akal. Pemilu dinilai lebih demokratis dan lebih beradab ketimbang perang fisik. Tapi opsi itu jelas melanggar dari pakem yang telah dituliskan oleh para Dewata atas Perang di Padang Kurusetra.

Sepeninggal sukma Sri Kresna, meringkuk sang Triwikrama di halaman Istana, semakin membesar raganya. Meski terdiam namun semakin menakutkan. Bala Kurawa dan anak-anak Pandawa bahu membahu mengusir Avatar Prabu Kresna itu, berwujud raksasa sebesar gunung anakan yang sedang tertidur. Antareja-Antasena yang sangat bersemangat mengawal konsolidasi Pandawa-Kurawa langsung bereaksi melihat ancaman keamanan yang ada. Kecintaannya terhadap persatuan Astina tidak memperhitungkan keselamatan diriya. Spontan membelah, menduplikasi diri menjadi ratusan wujud Naga mengepung sang Triwikrama, menyergapnya dengan melepas Upasanta. Seketika tewas, sang Raden Anta mati tanpa tahu lawan yang dihadapi.

****

TIDAK banyak yang bisa diharapkan pasca Tragedi Kanjuruhan bila bangsa ini tidak mampu mengambil pelajaran. Riuh ungkapan simpati kepada keluarga yang ditinggalkan bisa jadi akan berlalu begitu saja seiring waktu. Kesedihan lambat laun mungkin dapat terlupakan. Namun 35 dari korban nyawa adalah anak-anak yang tentu sangat diharapkan sebagai generasi penerus oleh orangtua mereka. Namun harapan itu kini telah pupus. Keluarga dari 132 korban tentu juga berharap keadilan ditegakkan. Sedangkan terbunuh satu nyawa saja dengan tanpa sebab seakan-akan membunuh semua umat manusia, lantas kita sebagai sebuah bangsa sejauh mana akan memberikan keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan. Sebenderang apa Negara mampu mengungkap fakta kelam supaya dapat menyibak gulita kasus ini?

Lihat juga

Tragedi Kanjuruhan adalah puncak gunung es dari kesembronoan pengelolaan sepakbola di Indonesia. PSSI sebagai federasi sepakbola di negeri ini tak kunjung mampu membereskan masalahnya sendiri. Atau memang mereka memelihara masalahnya sendiri? Federasi yang seyogianya mengurusi olahraga hampir selalu menjadi panggung politik bagi pengurusnya. Bangsa ini seolah-olah kekurangan insan sepakbola yang sangat mengerti sepakbola sehingga akhirnya pengelolaan sepakbola pun dipimpin oleh mereka yang sama sekali tidak memahami kultur sepakbola Indonesia.

Institusi Kepolisian pun terseret dalam kasus tragedi Kanjuruhan ini. Setelah terpojok dalam kasus penembakan anggotanya terhadap anggota yang lainnya, kini pun menyeruak kasus baru, salah satu anggotanya justru terlibat dalam peredaran narkoba. Tak tanggung-tanggung, ia menjual 5 kg barang bukti yang seharusnya dimusnahkan.

Negara yang diharapkan hadir untuk menyapa anak-anaknya yang sedang malang ditimpa musibah ini, nyatanya tak sepenuhnya menyatakan diri untuk berpihak kepada para korban. TGIPF yang disusun oleh Pemerintah memang menyelesaikan tugasnya, tetapi mereka belum sama sekali mencapai pada limit yang seharusnya bisa mereka capai. Pemerintah Indonesia saat ini adalah rezim yang sangat frontal untuk berani menabrak banyak cita-cita reformasi. Omnibus Law dapat dirampungkan dalam waktu yang sangat cepat meskipun penolakan demi penolakan muncul dari rakyat. Rezim penguasa Indonesia hari ini mampu mendamaikan partai politik, bahkan hampir tidak ada oposisi di parlemen. Memang benar, suasana politik negara ini dalam rentang 1 dekade terakhir tampak tenang-tenang saja. Namun, apakah kehidupan demokrasi seperti ini yang kita harapkan?

Tragedi Kanjuruhan sangat berbeda peristiwanya jika dibandingkan dengan peristiwa seperti Tsunami di Aceh, Gempa bumi di Jogja, Lombok atau berbagai peristiwa alam yang menelan korban jiwa. Tragedi Kanjuruhan adalah sebuah tragedi yang sebenarnya sangat mungkin untuk dicegah. Para stakeholder pengelola sepakbola kita adalah orang-orang yang memiliki otoritas dan kekuatan untuk mencegahnya. Tetapi mereka tidak melakukannya. Hentakan peristiwa itu menggugah semangat kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa. Empati kita sebagai sebuah bangsa berhambur, melimpah ruah. Kalap mencari rusak-rusak untuk segera diperbaiki. Para suporter sepakbola pun bersahutan untuk kemudian berangkulan, mereka bersepakat damai. Belum semuanya memang, masih memerlukan proses panjang untuk mencapai sempurnanya kedamaian antar suporter sepakbola.

Namun, apakah tumbuhnya kebersamaan kita hanya didasarkan atas derita dan adanya musuh bersama saja? Soalnya selang beberapa waktu musuh bersama tak lagi ada, begitu saja kebersamaan dapat terlupakan. Sebagaimana pasca pandemi Covid-19 yang digadang dapat me-restart peradaban menjadi New Normal yang lebih baik. Yang terjadi ketika keadaan dirasa sudah baik-baik saja, diam-diam kasak-kusuk di belakang lanjut saling jegal, melanjutkan agenda lama yang tertunda. Lanjut keruk dan jarah dengan segala potensi untuk memperkaya diri tanpa peduli ada kewajiban untuk berbagi. Manipulasi demi meraih ambisi kembali dieskalasi. Benar bahwa setelah kemerdekaan penjajahan oleh bangsa lain telah usai, tapi berikutnya sesama anak bangsa justru berebut saling menguasai dan tega mematikan hingga memakan saudaranya sendiri.

Perlukah diagendakan secara rutin tragedi dan bencana supaya bangsa dan negara ini senantiasa berada pada jalur meraih cita-cita luhur bangsa? Apakah Resesi Global di tahun 2023 nanti mesti terjadi supaya kesadaran kita sebagai sebuah bangsa mendapat porsi perhatian dalam setiap bekerja, berbisnis, berolah raga, berdagang, belajar, beragama dan dalam berbagai aktivitas kehidupan kita. Atau jangan-jangan kalaupun resesi itu benar-benar terjadi, kita akan sama saja karena sudah kebal, bebal dan tidak peduli dengan sesama.

Peringatan tahunan hari kemerdekaan 17-Agustus-2022 mungkin sudah tak lagi bertaji dalam memelihara semangat patriot kebersamaan kita. Karena kita juga lebih memilih sibuk berdendang dan bergoyang untuk ojo dibanding-bandingke. Mungkin juga 28-Oktober-2022 esok akan berlalu begitu saja tanpa adanya gaung sumpah pemuda 1928. Kalaupun ada sekadar simbolis alakadarnya tanpa benar-benar ada Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa. Sebagaimana masih adanya keraguan atas nyatanya Pancasila lantaran keadilan sosial bagi seluruh rakyat tidak kunjung wujud.

Kita sebagai manusia Indonesia ini tidak kurang alasan untuk mencintai Negaranya. Sebagai manusia Indonesia, kita ini tidak kurang alasan untuk berteriak lantang tentang kesatuan dan persatuan. Kita juga tidak kurang alasan untuk berjanji setia sehidup semati untuk NKRI. Kita, sama sekali tidak kekurangan alasan untuk mengungkapkan Renjana Nasionalisme.

Kenduri Cinta edisi Oktober 2022 mengusung Renjana Nasionalisme. Bertepatan dengan bulan Sumpah Pemuda dan bulan kelahiran Rasulullah Muhammad Saw., seperti biasanya kita berkumpul saling berbagi kegembiraan sembari mensyukuri kebersamaan sebagai sesama anak bangsa sekaligus sebagai hamba-hamba yang dilahirkan sebagai anak manusia dalam berbagai bangsa-bangsa supaya saling mengenal di muka bumi. Tentu berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di dalam maupun luar negeri akan menarik untuk diperbincangkan. Seringkali ada ekspektasi berlebihan hingga menuntut didapat solusi berbagai persoalan secara instan, semoga tidak berujung kekecewaan. Kecintaan Kenduri Cinta kepada Indonesia adalah proses panjang penuh perjuangan meskipun itu tidak diperhitungkan. (Redaksi Kenduri Cinta)

 

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button