POINT OF NO RETURN
(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Jamparing Asih Bandung, 24 Februari 2023)
Sampai tulisan ini dibuat, tahun 2023 telah berlangsung satu bulan, bertepatan pada 30 Januari. Harapan dan cita-cita awal tahun masih terasa, walaupun aroma-aroma ketidakberkembangan juga mulai terasa. Karena memang kondisi dan keadaan saat ini tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Motivasi semangat perubahan yang “return” (Baca: Rutin) digelorakan di awal tahun, seperti cita-cita baru, pencapaian baru, harapan baru, tingkatan keimanan baru, maqom spiritual baru, bahkan jodoh baru hanya berhenti di ranah formalitas ucapan selamat tahun baru supaya terkesan seperti yang lain dan itu hanya berlangsung pada lima hari pertama awal tahun dan akan kembali return di awal tahun yang akan datang. Semua harapan-harapan tersebut sangat sulit dijumpai di dunia nyata kecuali urusan anggaran program pemerintah yang mana selalu ada rencana anggaran baru di tahun yang baru.
Namun demikian, terlepas dari itu semua, pada akhirnya kita tetap tidak pernah mengetahui persoalan kedalaman batin segenap manusia dalam kehidupan sekitar, terlebih keterlibatannya pada ruang tata kosmik Allah yang sedang berjalan. Apa yang kita amati hanyalah terbatas pada pencernaan secara indrawi yang sangat dipengaruhi oleh kondisi diri sendiri. Bisa saja kita menilai kehidupan ini tidak ada perubahan karena memang diri kita sendirilah yang sebenarnya tidak ada perubahan, padahal siapa yang tahu bahwa kehidupan di luar sana sudah sangat jauh melampaui kita.
Mungkin (walaupun hanya mendekati), begitulah cara berpikir temen-teman lingkar Maiyah Jamparing Asih dalam merespons fenomena sosial, yang berusaha untuk tidak kagetan dengan segala panorama informasi yang tersebar di mana-mana. Tetapi, apabila kita pikirkan kembali, sebenarnya istilah informasi tersebar di mana-dimana tidak sepenuhnya tepat, karena bisa saja yang sebenarnya terjadi adalah kemudahan akses semua orang dalam mendapatkan informasi, sedangkan informasi tidak tersebar hanya mengendap di satu tempat, yang itu-itu saja.
Bertitik tolak dari rangkaian cerita yang telah berlalu dan sedang dilalui, posisi di mana kita sendiri menganggap semua ini sedang berada di titik berbeda dari titik sebelumnya menuju kehidupan yang sedang diperjalankan, begitu banyak kenyataan yang tidak dapat diulangi kembali, di mana kita semua sedang dipertemukan melalui titik tidak bisa kembali,
Dalam keadaan tertentu cara kerja manusia (Creation) pada dasarnya sering mengalami fenomena pengulangan; mengulang-membahas dan kembali mempraktikkan keadaannya terdahulu di keadaannya sekarang (mengalami Repetisi), meskipun kita sadari betul batas ruas “dulu” menuju ”sekarang” itu begitu tipis, sebegitu tipisnya sampai mata lahiriyah sulit terlibat aktif melihat kenyataan tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari returnitas masyarakat Kampung Returniyah yang perekonomiannya bertumpu pada pertanian kopi. Sebagaimana ghalib-ghalib-nya petani kopi, masyarakat kampung tersebut kompak me-return kembali tanah subur yang sejak lama sudah ditanami pohon peneduh terlebih dahulu. Mereka meneliti berbagai indicator pendukung proses penanaman kopi, mulai dari pH tanah, cuaca, gerak angin, ketinggian tanah, sampai pada titik penyemaian bibit kopi dipastikan terbebas dari hama yang menghinggapi tanaman. Lalu dieliminasi benih-benih yang tidak masuk indikator penanaman. Kemudian proses perawatan dan pemeliharaan tanaman berlangsung sekitar 8-9 bulan untuk kemudian dapat dilakukan proses pemanenan.
Wahasil sebahagian hasil panen diolah di rumah menjadi suguhan khas masyarakat komunalitas, seperti suguhan tamu, pertemuan warga, nongkrong, krigan, towongan, ronda, dll. Lalu sebagian hasil panen yang lain dapat dijual ke tengkulak, dari kaum tengkulak dijual ke staf kaum tender tengkulak pasar, kemudian tengkulak pasar menjualnya ke pabrik-pabrik kelontongan se-nusantara yang salah satunya pasokan kopi untuk sementara waktu menetap di Ishvara Caffe ini. Seberagam pengunjung kian berdatangan mulai dari pecinta kopi, penikmat kopi, untuk sekedar ngerumpi, beserta penerima manfaat ngopi bisa langsung pesen di tempat ini.
Rutinitas seperti gambaran di atas merupakan contoh sederhana dari kilas balik masa lalu. Reka ulang kenyataan itu tersimpan dalam benak sanubari kita masing-masing, tertulis ulang, didaur ulang kembali meskipun titik pointnya sebatas pada kacamata yang parsial dan particular. Catatan muqodimah ini kurang begitu persis, kurang mirip, ini semua tiruan, adegan ulang, dari kenyataan di atas sebagaimana bahasa “pengulangan” berlaku tatkala diposisikan sebagai bahan acuan, referensi pandangan hidup tentang bagaimana ke depan kita tidak terlalu risau, cemas, minimal alhamdulillah wasyukrulillah dapat mengenali kejadian yang serupa.
Jadi, secara sederhana, merujuk pada persoalan apa yang akan terjadi seandainya keadaan yang telah berlalu dapat diputar ulang kembali, mengubah manuskrip skenarionya, mengoreksi alur cerita dari kejadian-kejadian di masa silam?, yang kemudian tatkala tersadar dari mimpi terbangun begitu amat berbeda. Bahkan mungkin sebenarnya kita saat ini tidak akan menemukan dan juga tidak perlu repot-repot membaca tulisan ini mulai dari paragraf awal menuju akhir.
Titik di mana kita tidak bisa kembali bukanlah paradoksial untuk disesali, ditangisi, dan diratapi. Tetapi titik di mana kita tidak bisa kembali adalah sebuah tragedy dalam artian tidak bisa kembali menemui yang sejati untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya. Persoalannya adalah mungkinkah semua ini tidak ada ujungnya dan tidak ada titik temunya? Kalau ada di mana awal dan akhirnya?. Meskipun pada akhirnya kembali ke titik awal, titik di mana kita tidak bisa kembali merupakan suatu perjalanan abadi yang penuh rahasia ilahi.
“Demi waktu yang tunduk pada Dzatku. Apakah peradaban manusia yang sedang dibangga-banggakan selama ini, disiasati, ditenaga , keringat diperas sedemikian rupa sedang mengajak kita semua menuju puncak kerugian?, yang mana kerugian itu sendiri dianggap keuntungan, sedang keuntungan itu sendiri dianggapnya sebuah kerugian ? kemudian samar-samar sudah tidak ada lagi jarak antara “kerugian” serta “keuntungan”, melainkah, “siapakah, golongan mana saja yang Allah sendiri meridhoi mereka dan mereka pula ridho akan hadirnya Allah ?
Dengan sekurang-kurangnya dan untuk lebih melengkapi tulisan ini sebagai bulatan pemahaman, alangkah baiknya jika sedulur sekalian, berkenan untuk sama-sama, menghadiri mendiskusikan (Sinau bareng) dalam kegiatan majelis bulanan Jamparing Asih pada tanggal yang sudah tertera.
(Redaksi Jamparing Asih)