NATA PIKIR, EMPAT LAPIS BAWANG INTEGRITAS DIRI

(Catatan Majelis Ilmu Juguran Syafaat Purwokerto, 29 April 2023)

Juguran Syafaat edisi April 2023 berlangsung lancar dan mudah-mudahan berkah dan mberkahi. Edisi kali ini terbilang istimewa karena setidaknya tiga hal. Pertama, ini adalah momen puncak dari milad satu dekade Simpul Maiyah Banyumas Raya. Sejak 2013 lalu sudah berkumpul, melingkar dan telah meruangi berjalin multi relasi bentuk-bentuk sesrawungan. Dari bentuk paling longgar, orang yang tidak saling kenal jadi bertukar kontak, hingga berperjalanan bersama, berbisnis bersama, bahkan menikah dan beranak-pinak lantaran kenal dan sambung diwasilahi oleh adanya Juguran Syafaat.

Edisi ini istimewa, alasan kedua adalah karena ini adalah momen Idul Fitri. Maaf memaafkan memang adalah peristiwa setiap hari sepanjang hayat, akan tetapi banyak orang yang tidak menyempatkan diri meminta maaf dan memberi maaf lantaran berbagai alasan. Melalui momen Syawalan, seolah menjadi mekanisme autodebet untuk kita mem-balance kesalahan dan kealpaan. Oleh karena itu sesi awal dari Juguran Syafaat edisi 121 ini didahului dengan sesi Syawalan antar penggiat dan jamaah.

Kemudian yang ketiga adalah di edisi ini istimewa karena kurikulum tema Maiyahan caturwulan pertama tahun 2023 jangkep sudah malam hari itu. Sebagaimana anjuran Mbah Nun untuk masing-masing kita mengembangkan riset sendiri, pada empat bulan pertama ini dipilih tema besar tentang membangun integritas diri.

Di Maiyah, kita dilatih untuk terbiasa berpikir detail. Bab integritas diri misalnya, supaya lebih lantip, kita kupas ke dalam empat lapis bawang, dalam empat edisi forum. Apa saja empat lapisan itu dielaborasi satu-persatu setiap bulannya. Kita ini jujur atau pamrih, kita ini tulus atau culas setidaknya bisa ditinjau pada empat lapisan personalitas diri, yakni: tabiat diri, sifat diri, etika dalam perilaku, dan ide terdalam atau value yang kita anut.

Jika tabiat diri adalah sesuatu yang sudah gawan bayen, sedangkan sifat diri adalah sesuatu yang sudah diintervensi oleh circle sesrawungan yang seseorang pilih. Demikian pula etikabilitas adalah sesuatu yang tidak bisa lepas dari value yang kita anut. Kalau tidak inheren, perilaku baik tanpa value yang jujur itu namanya pencitraan. Di sisi sebaliknya, seringkali pilihan perilaku seseorang tidak mengenakkan. Padahal maksud terdalamnya adalah sesuatu yang baik dan tulus.

Kira-kira terbayangkah energi marem dan mongkog dari mengerjakan sebuah majelis dengan keutamaan dan berlimpah keistimewaan seperti di atas? Hal itu bisa banget untuk dijadikan sangu sebulan untuk memberikan konteks di setiap fase hidup yang sedang kita jalani dan kerjakan.

***

Sejak lepas maghrib divisi sound dan para musisi sudah mengakrabi kabel dan equipment untuk bisa menyajikan tata suara yang ternyaman. Ada trouble pada mic wireless yang sempat bisa diatasi, tetapi kelanjutannya sepertinya harus dibawa ke servisan untuk penanganan lebih lanjut. Sempat mati lampu, tetapi tidak mengganggu jalannya persiapan. Tepat jam 20.00 moderator yang sudah menempatkan diri, dengan tepat waktu mengawali forum.

Sesi awal diisi dengan ikrar halal bihalal diwakili oleh Hirdan dari tim anak muda dan Kang Riswanto mewakili para kamituwa. “Mudah-mudahan salah dan keliru yang terjadi satu sama lain belakangan ini, adalah sesuatu yang bersifat teknis belaka. Bukan berasal dari sesuatu yang sistemik dan fundamental. Sehingga pada malam hari ini bisa kita satu sama lain ikhlas memaafkan,” ujar Kukuh selaku moderator.

Beranjak pada sesi berikutnya adalah pembacaan tilawah tartil terpimpin (3T) didahului dengan bersama-sama membaca sepuluh kali ayat kursi. Malam hari itu ayat pilihannya yakni ‘ain terakhir surat Al-Baqarah. Mengestafeti nuansa, Kang Riswanto, Mas Toto dan Very menyambung dengan beberapa bait shalawat diikuti seluruh jamaah.

Di sesi-sesi awal Naim dan Kusworo terlibat di depan ikut terlibat memandu jalannya forum. Setelah Naim mengupas makna dan refleksi Idul Fitri, Kusworo menyambung dengan menggali interaksi awal dengan audiens yang telah hadir.  Salah seorang jamaah berasal dari Gang Jengkol Purbalingga mengaku sudah tiga kali datang ke Juguran. Ia merasa betah dan nyaman di sini. Jamaah lainnya dari dusun Galuh, Mas Irham namanya, ia seorang guru agama muda. Ia sharing pengalamannya mengajar dan mengapikasikan nilai dan metode ber-Maiyah di dalam kepengasuhannya di sekolah.

“Apa saja yang sudah diterapkan, Mas? Bisa ceritakan contohnya?” Kusworo menggali. Mas Irham menjawab dua hal. Pertama, adalah bagaimana pendekatan dakwah yang cair dengan melibatkan budaya. Kedua, adalah bagaimana ia lebih memberikan respek kepada anak didik, tidak mengkerdilkan dan mengecilkan hati mereka.

Dua orang pemudik yang ikut urun respons ada dari Surabaya dan dari Cikarang. Seorang jamaah bernama Pyar, kuliah di Politeknik Astra di Cikarang. Mumpung sedang mudik lebaran ia tidak menyia-nyiakan untuk datang Juguran. Ia juga sharing bagaimana pengalamannya ber-iktikaf di Ramadan lalu, anak kost yang memburu jamuan buka puasa dan sahur di Masjid.

Sedangkan jamaah pemudik yang satunya yakni dari Surabaya, ia kuliah di jurusan psikologi. Ia memberikan beberapa contoh dekonstruksi ilmu olah jiwa di Maiyah dengan teori-teori psikologi yang ia dapatkan di kampus. “Menurut saya melihat dari materi yang diajarkan lebih tepatnya bukan psikologi namanya, tetapi mentalogi,” ujarnya.

“Jadi sinau Anda di Maiyah memperkaya khasanah keilmuan yang Anda dapatkan di kampus, betul ya begitu?” Kukuh menandaskan.

***

KAJ Accoustic nyaris lengkap hadir personil-personilnya malam hari itu. Di jeda sesi ada ritual potong tumpeng dilanjutkan dengan makan bersama seluruh jamaah yang hadir. Pak Sugeng dan Adi di divisi perwedangan memastikan piring dan isinya cukup, jangan sampai ada yang tidak kebagian. Sementara itu, sepanjang jeda sesi makan bersama, KAJ Accoustic mengatmosferi kebersamaan dengan sejumlah nomor-nomor pilihan.

Malam hari itu bergabung juga Mas Igo Saputa, seorang mantan kuli tinta yang sekarang menjadi pejabat muda yang cukup bersinar di Pemkab Purbalingga. Selain kesibukannya sebagai pegawai, ia menulis beberapa buku sejarah lokal. Ia juga mengelola sebuah kafe yang cukup hidup dengan kegiatan-kegiatan komunitasnya di sana. “Sebelum penjajah datang, bangsa kita ini adalah bangsa yang memiliki kepercayaan diri tinggi,” papar Mas Igo. Memang betul, kepercayaan diri adalah masalah yang saat ini cukup serius.

Oleh karena itu, membuat karya-karya sederhana dan merawatnya memang adalah cara agar kita tidak terjerembab pada kondisi lack of confident.

Al-istiqomah khoirun min alfi karomah,” Mas Umar, owner dari Waroeng Juguran yang malam hari itu bergabung membersamai menguatkan pentingnya istiqamah. Tentu kalau beliau yang ngomong, nyetrumnya sampai ke ubun-ubun. Sebab memang sudah ia praktikkan di dalam holding bisnis yang ia kelola. Jatuh, bangun, jatuh lagi dan bangun lagi. Ia bercerita sekilas pahit getirnya perjalanan hidupnya sebagai seorang entrepreneur. Tidak mudah, penuh tantangan. Sebuah refleksi hidup seseorang dari bagian dari populasi yang hanya 1,6% banyaknya dari seluruh penduduk negeri ini.

***

Mas Agus Sukoco mengelaborasi tentang apa itu etos membeli. “Kalau ada orang datang ke warung makan, ada yang niatnya memang membeli, jadi ia datang disambut, mejannya dibersihkan, dilayani dan dihormati. Berbeda dengan orang yang datang ke rumah makan niatnya hanya kepengin makan, mengemis, meminta-minta, maka dia akan diremehkan. Pelayan kemudian melayani dengan awang-awangen. Kalaupun diberi makan sekadarnya. Kemudian yang ketiga adalah orang yang datang ke rumah makan dengan membawa golok. Mengancam. Perlakuan kepadanya hanya sebatas karena rasa takut,” urai Mas Agus. “Sejatinya ketika dalam hidup, dari tiga kategori itu, kalau kita memilih yang pertama, etos kita adalah etos membeli, maka semesta akan melayani dan menghormati kita”, lanjutnya.

“Jadi, kalau mau sugih, sikap mentalnya adalah berani membeli. Bagaimana membelinya, yakni membeli dengan sikap sanggup bekerja keras. Bukan hanya ingin menjadi kaya, tapi malas bekerja keras,” lanjutnya lagi.

Klasifikasi tiga sikap mental tersebut nampaknya cukup membantu untuk menjawab sebetulnya apa yang sedang kita bela, apa yang sedang kita pihaki. Apakah martabat dan kehormatan dalam hidup, atau sekadar perolehan materi, atau arogansi gagah-gagahan dalam hidup. Sebetulnya yang sedang kita kerjakan hari ini berpihak kepada yang mana? Sebetulnya apa ide dasar, gagasan paling fondasi, niat paling halus di dalam diri? Ini adalah pertanyaan reflektif yang dapat dijawab oleh masing-masing, atau dibawa pada konteks peristiwa hidup masing-masing setidaknya hingga sebulan nanti kita juguran lagi.

Begitulah Juguran Syafaat menjadi sehari jeda untuk nata pikir. Syukur-syukur bisa ada yang dibawa untuk 29 hari berikutnya. Pertanyaan reflektif yang bertujuan untuk meng-encourage integritas diri. Sebab integritas itu bukan materi kognitif, yang begitu dipaparkan dan dipahami langsung khatam. Kita membangunnya sepanjang hidup. Memang di umur berapa kita boleh pensiun untuk membangun integritas? Jawabannya, tidak ada pensiunnya.

***

Lalu Mas Agus merespons tentang inferioritas alias krisis percaya diri sebagaimana dipantik oleh Mas Igo. “Analoginya begini Mas, suatu ketika saya menginap di sebuah rumah kosong, sampai pagi baik-baik saja. Lain waktu, saya mendapat cerita banyak tentang informasi mistik tempat itu. Di kesempatan berikutnya saya menginap lagi, sudah merinding saja itu tidak berani,” ulasnya.

Jadi, hari ini kita tenggelam dalam inferioritas oleh akibat dari terlalu banyaknya informasi yang masuk. Informasi atas apa saja. Maka, ada kondisi di mana justru tidak tahu banyak, justru malah menyelamatkan.

Juguran terus bergulir dengan ulang alik dari gayeng dan khusyuk. KAJ Accoustic mengendurkan tensi ketika diskusi men-dakik. Sejumlah respons lain, di antaranya dari Rohmah, Bunda KLC dan Pak Tono.

Pak RT yang sudah menjabat entah berapa belas periode itu bercerita tentang manajemen mushalla di kampungnya. Bagaimana mushalla yang identik sebagai fasilitas ibadah mahdhoh belaka itu, ternyata apabila jamaahnya diorganisasi dengan baik dan menjadi fasilitas untuk ibadah muamalah yakni gotong royong dukung-mendukung dalam persoalan ekonomi warga. Bentuknya mungkin masih sederhana, yang berlebih diberi pipa untuk menyantuni yang berkekurangan. Tetap pemahaman yang sudah tepat sedari fundamentalnya adalah modal dasar untuk manajemen mushalla yang kian meningkat ke depan.

Sementara itu Bunda KLC berbagi tentang berbagai ancaman kesehatan mental akibat screen culture. Sedangkan Rohmah berbagi tentang minimnya empati di era yang begitu canggih hari ini. “Kenapa kadang kita merasa sulit memahami cara berpikir orang lain yang berbeda? Sebabnya adalah karena kita terjebak dalam keengganan untuk bepindah posisi pandang. Empati kita menjadi lemah karenanya,” ujar Rohmah. Menurutnya, yang diperlukan hari ini adalah memperluas khasanah dan melebarkan lingkar pandang.

Ini nyambung dengan bahasan edisi bulan lalu, bahwa ke dalam dan keluar harus seimbang. Ke dalam kiat merefleksi diri, keluar kita gemar memperluas wawasan.

“Untunglah manusia dibekali antibody. Andai tidak, dengan besarnya ancaman mental dan kesehatan hari ini peradaban manusia sudah mati gasik. Bahwa bentuk antibodinya seperti apa, kita belum banyak waktu niteni bentuk-bentuk perlindungan Allah. Jadi wajar kalau hari ini kita tidak banyak paham bentuk antibodinya. Mudah-mudahan Allah menghidayahi,” saya urun merespons.

***

Usai Mas Toto membawakan lagu “Bismillah”, mewakili Mas Doni KiaiKanjeng yang malam hari itu sedianya hadir tetapi karena faktor kesehatan sehingga berhalangan, tibalah kita di sesi soft-landing. “Sadar atau tidak, hari ini kita untuk bergembira total itu susah sekali,” ujar Mas Agus. “Ini sebab kita itu mengejar ilusi-ilusi yang diyakni penting, padahal pada subtansinya ia tidaklah penting,” Mas Agus mengurai.

“Dalam beragama misalnya, betapa kita sibuk mengejar sanad. Saking sibuknya sampai tidak sempat menggunakan agama untuk memaknai hidup,” urainya lagi.

Quote dari Mas Sabrang yang baru saja di post sore hari itu menjadi pamungkas diskusi di lewat tengah malam hari itu, “Adaptation is the only currency”. Adaptasi sebagai satu-satunya mata uang yang berlaku di era yang begitu cepat dan makin cepat ini. Era yang penuh gelombang dan turbulensi.

Qul in ḍlalaltu fa innamā aḍlillu ‘alā nafsī, wa inihtadaitu fa bimā yụḥī ilayya rabbi.

Lihat juga

Back to top button