MOMEN PEMILU 2024, DAMAR KEDHATON GRESIK SINAU KEPEMIMPINAN
(Catatan Reportase Majelis Ilmu Telulikuran Maiyah Damar Kedhaton Gresik edisi ke -85)
Damar Kedhaton (DK) Gresik menggelar diskusi dengan tema “Kepemimpinan” di Pondok Humanunggal, Dusun Kemuning, Desa Menunggal, Kecamatan Kedamean, Jumat (02/02/2024) malam. Diskusi ini merupakan edisi ke-85 dari kegiatan rutin Majelis Ilmu Telulikuran (MIT) yang diadakan setiap bulan. Diskusi diawali dengan pembacaan prolog oleh Cak Amin Kemeh. Selengkapnya bisa klik di laman http://mymaiyah.id/2024/02/01/kepemimpinan/
Setelah prolog dibacakan, acara berlanjut dengan diskusi yang dipandu oleh Cak Pitro. Beberapa jamaaah yang hadir dengan berbagai latar belakang, seperti Cak Ateng, Kaji Bombom, Cak Teguh, Cak Fauzi, Cak Irul, Kang Imron, dan Kang Joyo menyampaikan pendapatnya tentang Kepemimpinan.
Cak Ateng mengawali diskusi dengan mengkritik salah satu dulur DK yang pernah menjabat sebagai perangkat desa, namun kemudian ia mengundurkan diri. Menurut Cak Ateng, hal ini sangat disayangkan, karena dulur tersebut telah berhasil membuat daerahnya menjadi mercusuar, tetapi tidak melanjutkan kiprahnya sebagai pemimpin.
Kemudian Kaji Bombom memberikan pandangannya tentang tema kepemimpinan. Ia mengutip perkataan Henry Ford, pendiri perusahaan mobil Ford, yang mengatakan bahwa seseorang tidak harus memegang posisi untuk menjadi pemimpin. Ia juga menekankan bahwa tidak ada kebetulan yang betul, melainkan ada hikmah di balik segala peristiwa. Kaji Bombom kemudian pamit untuk pulang lebih awal, karena ada urusan lain yang harus diselesaikan.
Sesi elaborasi tema kemudian dilanjutkan oleh Cak Pitro, yang menceritakan pengalaman kehidupan dalam bermasyarakat. Ia mengatakan bahwa banyak teman, tetangga, dan sebagainya yang datang kepadanya untuk berkeluh kesah tentang berbagai masalah. Cak Pitro kemudian mengajak mereka untuk bermaiyah, yaitu berdiskusi dengan menggunakan akal sehat dan hati nurani, tanpa mengandalkan dogma atau doktrin tertentu.
Pendapat berikutnya dari Cak Fauzi, ia mengatakan bahwa, perlu bagi kita semua untuk menentukan kriteria pemimpin sebelum mengambil keputusan untuk nyoblos di Tempat Pemungutan Suara (TPS) nantinya.
“Semuanya sudah lengkap dan jelas, sudah saya tuliskan dalam prolog. Kali ini, saya hendak menyampaikan bahwa, kita perlu menghitung ulang, kriteria pemimpin yang bagaimana yang akan kita pilih nantinya, ” jelasnya.
Ia jug mengatakan bahwa, kita berkumpul rutin tiap bulan ini dalam rangka niat menolong Indonesia, bukan niat untuk menolong diri sendiri atau kelompok tertentu.
Sementara itu, Cak Teguh menyampaikan bahwa kita tidak sedang mencari siapa, tetapi apa. Ia menegaskan bahwa semua calon pemimpin sudah jelas, baik dari segi latar belakang, visi, misi, maupun program yang dicanangka. Ia menambahkan bahwa kita harus mencari apa yang ditawarkan oleh calon pemimpin tersebut, apakah sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat Indonesia.
Ia juga mengatakan bahwa kepemimpinan tidak hanya secara wilayah dan geografis, tetapi juga bisa kepemimpinan pada diri sendiri. Ia mencontohkan bahwa Damar Kedhaton adalah salah satu bentuk meniatur kepemimpinan, bagaimana masing-masing dari individu yang hadir, bergerak secara mandiri serta tanpa ada iming-iming materi.
“Kita bergerak sepanjang 85 edisi selama ini tidak ada sponsornya. Kita tidak ada iming-iming apapun secara materi. Kita mampu dan bisa berjalan sejauh ini. Sebaliknya, coba kita lihat fenomena timses kontestan politik hari ini. Bagaimana mereka ada gerakan jika ada uang atau feedback secara materi, ” ungkapnya.
Sedangkan, Cak Irul mengajak kita untuk belajar dari para pemimpin sebelum era republik, yang banyak diabaikan dalam konteks pemilu saat ini. Ia mengatakan bahwa mereka adalah pemimpin yang memiliki jiwa patriotik, religius, dan kultural, yang mampu mempersatukan dan mempertahankan Nusantara kala itu.
Cak Irul juga menjelaskan konsep kepemimpinan dari latar belakang sejarah atau cerita dalam pewayangan. Menurutnya, saat itu ada sosok yang mampu menjaga kelestarian secara adil dan semuanya tertata dengan baik.
“Ada banyak pemimpin sebelum era republik. Kita juga perlu belajar ke sana. Mereka banyak diabaikan dalam konteks pemilu saat ini, dianggap dongeng belaka,” ujarnya.
Cak Irul juga membawa konsep kepemimpinan yang Njowo, yaitu kepemimpinan yang welas asih, bijaksana, dan berwibawa.
“Konsep kepemimpinan yang Njowo, yang kita butuhkan saat ini. Njowo kepada rakyatnya yang dipimpin,” paparnya.
Sementara itu, Kang Joyo menegaskan bahwa mencari pemimpin itu harus dengan welas asih, yaitu dengan hati yang penuh kasih sayang dan kepedulian. Ia mengatakan bahwa kita harus memilih pemimpin yang paling minim mudharat, yaitu yang tidak akan merugikan rakyat dan bangsa. Ia juga mengatakan bahwa kita harus berhati-hati dengan pemimpin yang hanya pandai berjanji, tetapi tidak bisa membuktikan kinerjanya.
“Nek nggolek pemimpin iku sing welas asih. Mengko muncul Wicaksono, dipilih sing paling gak onok atau minim mudharat e,” tuturnya.
Diskusi berlangsung dengan sangat antusias dan interaktif. Mereka yang hadir saling bertukar pikiran dan pengalaman tentang tema kepemimpinan. Jika kita tengok khazanah budaya Jawa, kita dapati berbagai kearifan konsep kepemimpinan. Misalnya seperti yang pernah di-wedhar Ki Hajar Dewantara ; Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Atau juga wasita sinandhi yang serupa lagu dolanan Gundhul-Gundhul Pacul, misalnya.
Dari sumber mata air Qur’an, Mbah Nun pernah mengajak kita menghayati dialektika kandungan Al Hasyr ayat 22-23 ataupun An-Naas ayat 1-3 sebagai bekal menyarikan metode kepemimpinan.
Sementara itu, pada bagian penutup sebuah Tajuk berjudul Kepemimpinan Hidup Warga Negeri Maiyah (17 Februari 2018) Mbah Nun berpesan:
“Maka setiap dan semua warga Negeri Maiyah adalah kaum Muhajirin sepanjang hidupnya, sekaligus kaum Anshor sepanjang usianya. Kalau mereka warga Indonesia, maka mereka tidak numpang, bergantung dan minta tolong kepada Indonesia. Melainkan memiliki bekal ilmu dan pengalaman, serta kesanggupan dan keikhlasan, untuk menolong Indonesia. Meskipun sekadar urusan sedebu di kampungnya”.