MOMEN MENGERATKAN PASEDULURAN

Alun-alun Purbalingga dipenuhi bersaf-saf umat muslim yang menunaikan sholat Idul Fitri. Mas Aji, Mas Hedi, Pak Tono, dan Pak Anang adalah diantara penggiat Maiyah Juguran Syafaat yang ikut menunaikan sholat Ied di hari kemenangan di pusat kota Purbalingga itu.

Tempat tinggal mereka memang tidak jauh dari alun-alun. Sekitar 300 meter saja jaraknya. Tepatnya di sebuah gang kecil persis di depan gedung DPR Daerah Tingkat II Purbalingga. Kerap kali mereka di kalangan dulur-dulur Maiyah disapa dengan sebutan Tim DPR. 

Usai sholat Ied, seperti halnya dilakukan di banyak daerah, mereka kemudian memanfaatkan waktu untuk bersilaturahmi dengan kerabat dan tetangga. Berbaris rapi bersalam-salaman di gang bernama gang kori, saling meleburkan maaf. Di gang kori terbentang spanduk bertuliskan “Gerbang Maaf”. Tahun-tahun terdahulu tulisannya mohon dibukakan pintu maaf, tetapi karena pintu dirasa terlalu sempit maka warga sepakat diubah jadi gerbang maaf. Demikian Mas Hedi berujar. 

Selain silaturahmi, tentu ritual bersantap opor ketupat adalah hal yang tak boleh terlewatkan. Begitulah sekelumit kisah Hari Raya yang telah dilalui sejak sore hari sebelumnya, dulur-dulur Maiyah di gang Kori bersama warga menyemarakkan malam takbiran bersama-sama, lek-lekan di mushola kampung ditemani kopi dan pisang goreng. 

Melalui grup whatsapp dan personal chat sedulur Maiyah satu sama lain saling bertegur sapa dengan washilah ucapan maaf-memaafkan. Seperti kita tahu bersama, kata maaf adalah satu dari empat kata istimewa di dalam proses sesrawungan atau silaturahmi. 

Syawal sebagai bulan silaturahmi memang tampaknya dimanfaatkan betul oleh dulur-dulur Maiyah sebagai momen untuk mengeratkan paseduluran, terutama di lingkaran terdalam yakni lingkaran keluarga. 

Salah seorang dulur Maiyah yang mudik di luar kota menyampaikan tidak sempat silaturhmi, karena waktu mudiknya yang singkat dan harus sambang keluarga yang banyak. Lalu, dulur Maiyah lainnya lagi ada yang sibuk hunting referensi tempat makan yang kekinian dan bernuansa alam, demi memberikan jamuan terbaik untuk kakak dan kemenakannya yang sedang mudik dari luar kota. Lalu, dulur Maiyah lainnya lagi dengan suka cita dan gembira mengisi waktu Lebaran dengan bertugas di posko mudik. 

Ketika saya datang silaturahim ke rumah Pak Titut, beliau baru pulang reuni dengan kawan lama. Berlebaran sekaligus merancang karya pementasan terdekatnya. “DNA bangsa kita ini aslinya guyub rukun, Dik. Tidak suka dibenturkan. Kalau sampai ada benturan, itu ya karena ada yang membenturkan,” wejangan dari Pak Titut.

Suhu panas yang melanda banyak kota di Indonesia bahkan di sejumlah negara tidak terlalu dirasakan di sini. Selain oleh suasana guyub masyarakatnya, yang membikin adem adalah karena hampir setiap hari sejak akhir Ramadan kemarin turun hujan di sini. 

Lihat juga

Back to top button