MOCOPAT SYAFAAT MEMBACA SEJARAHNYA SENDIRI
(Catatan Majelis Ilmu Mocopat Syafaat Yogyakarta 17 Januari 2023)
“Anda itu datang ke Maiyahan harus memastikan ada yang meningkat dalam diri Anda. Bulan ini Anda datang ke Maiyahan, saat pulang harus Anda pastikan apa yang meningkat dalam diri Anda,” Mbah Nun mengawali sinau perubahan di Mocopat Syafaat edisi Januari 2023.
Malam itu, rundown di Mocopat Syafaat sedikit berbeda. Biasanya, setelah nderes, ada diskusi sesi awal untuk melambari sebelum memasuki diskusi sesi utama. Setelah Dik Faqih nderes Al-Qur`an, Mbah Nun bersama Mas Helmi serta personel KiaiKanjeng dan Letto naik ke podium utama. Sehari sebelumnya dalam acara Kenduri Cinta, Mbah Nun membersamai teman-teman jamaah Maiyah di Jakarta.
“Anda itu di sini adalah murid. Murid itu dalam bahasa Arab berasal dari kata arooda yuriidu muriidan, yang berkehendak,” Mbah Nun melanjutkan sembari menegaskan bahwa untuk meningkatkan diri, Jamaah Maiyah harus mampu merdeka untuk menentukan apa yang akan ditingkatkan dalam dirinya. Maiyahan adalah salah satu media untuk menigkatkan kualitas diri itu. Di Maiyah, kita mendapat asupan ilmu sedemikian banyak dari berbagai narasumber yang memiliki banyak latar belakang ilmu. Maka, setiap individu Jamaah Maiyah adalah orang yang harus mampu menemukan apa yang kurang dalam dirinya untuk kemudian ditingkatkan kualitasnya melalui Maiyahan. Mbah Nun tidak ingin Jamaah Maiyah yang datang tidak meningkat kualitas dirinya dan pada akhirnya justru terseret arus zaman yang semakin tidak karuan ini.
Fenomena mainan bernama lato-lato pun tidak luput dari pengamatan Mbah Nun. Kenapa mainan itu saat ini viral, bahkan bukan hanya anak kecil saja yang menggemarinya, bahkan hingga tokoh-tokoh masyhur di Indonesia pun ikut suka memainkan lato-lato tersebut. Mbah Nun memiliki pandangan bahwa fenomena lato-lato ini adalah pertanda zaman, di mana dua bola yang dibentur-benturkan itu sangat mungkin menjadi sebuah pertanda bahwa kita akan menyaksikan benturan-benturan dalam waktu dekat.
Ini bukan sebuah prediksi peristiwa, namun Mbah Nun memiliki dasar yang cukup kuat untuk menyatakan hal itu. 2023 adalah gerbang awal menuju tahun politik di tahun 2024. Dan kita sudah mengalami peristiwa yang selalu berulang di setiap tahun politik, di mana benturan-benturan terjadi hampir di seluruh kalangan.
“Anda akan memilih untuk menjadi apa? Apakah menjadi bola yang dibentur-benturkan? Menjadi tali yang mengait lato-lato? Atau menjadi tangan yang mengendalikan lato-lato?” Mbah Nun menekankan kepada jamaah yang hadir malam itu untuk menegaskan diri dalam mengambil sikap dalam menghadapi hari-hari ke depan di tahun 2023 ini, yang tidak mungkin kita mampu menghindari pusaran perbincangan politik.
“Andaikan kita sakit, maka kita harus mampu menyembuhkan diri kita,” Mbah Nun melanjutkan bahwa setiap kita harus siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Seandainya kita menghadapi masalah, maka kita harus segera mengambil sikap untuk bagaimana menghadapi dan menyelesaikan persoalan yang kita hadapi, bukan kemudian kita lari dari masalah itu. Dan solusi yang kita pilih pun, semestinya adalah solusi yang output-nya adalah maslahat.
“Maka malam ini, Anda harus menentukan apa yang ingin Anda upgrade dalam diri Anda. Jika pengetahuanmu yang ingin di-upgrade, maka bertanyalah tentang sesuatu yang memang Anda belum memahaminya,” Mbah Nun menegaskan kembali agar setiap Jamaah Maiyah berdaulat untuk menentukan dari dalam dirinya yang ingin di-upgrade melalui Maiyahan ini. “Kita ini ndeder di Maiyahan. Ndeder itu menciptakan benih menjadi tanaman yang seunggul-unggulnya,” lanjut Mbah Nun. Ndeder apa? Tentu apa saja yang memang bisa kita kelola, baik ilmu, akhlak, akal, spiritual, dan lain sebagainya. Sehingga 3-4 jam kita Maiyahan, kita mendapatkan hasil yang optimal untuk meningkatkan diri kita melalui Maiyahan ini.
Nomor “Sholawat Jibril” kemudian dibawakan oleh KiaiKanjeng untuk mengantarkan diskusi selanjutnya yang dipandu oleh Mas Helmi untuk mengulas perjalanan Mocopat Syafaat dan juga KiaiKanjeng. Mas Helmi membuka dengan menceritakan awal mula kelahiran Mocopat Syafaat. Edisi pertama dari Mocopat Syafaat itu diselenggarakan pada bulan Juni di tahun 1999. Maka, di tahun ini memasuki tahun ke-24, dan selalu diselenggarakan setiap tanggal 17 bulan masehi. Saat itu belum ada TKIT Alhamdulillah, melainkan Pondok Pesantren Zaituna.
Mas Helmi menceritakan bahwa saat itu, Mocopat Syafaat tidak dimulai ba’da Isya, melainkan sejak sore, dengan jumlah orang yang tidak terlalu banyak. Maiyahan saat itu dimulai dengan sholat Maghrib berjamaah yang diimami langsung oleh Mbah Nun. Setelah sholat Maghrib hingga menjelang Isya’, jamaah bersholawat bersama dengan diiringi terbangan oleh KiaiKanjeng. Seperti halnya Padhangmbulan, informasinya tersebar secara getok tular saja, karena saat itu juga internet belum seperti sekarang, belum ada WA, belum ada medsos, handphone juga hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Baru di bulan-bulan selanjutnya, jamaah yang berdatangan lebih banyak, forum pun kemudian dimulai ba’da Isya’.
Tema diskusi yang dibahas pun beragam, Mas Helmi menceritakan saat itu Mbah Nun menjadi tokoh sentral yang merespons dari setiap diskusi yang mengalir juga pertanyaan-pertanyaan dari jamaah mengenai apapun saja yang memang ingin mereka ketahui dengan bertanya kepada Mbah Nun. Termasuk kesenian, Mocopat Syafaat menjadi panggung tersendiri bagi setiap kelompok kesenian untuk menampilkan kepiawaiannya dalam berkarya seni.
“Yang dilakukan oleh Mbah Nun di awal Mocopat Syafaat saat itu adalah menjelaskan tentang pentingnya bershalawat,” lanjut Mas Helmi. Hal ini dikarenakan saat itu Mbah Nun bersama KiaiKanjeng berkeliling ke berbagai tempat untuk menghidupkan kembali tradisi sholawat melalui gerakan HAMMAS, Himpunan Masyarakat Sholawat. Di episode awal Mocopat Syafaat itulah yang juga ditandaskan oleh Mbah Nun mengenai segitiga cinta; Allah-Muhammad-Manusia.
Mbah Nun kemudian menjelaskan bahwa apa yang dialami Jamaah Maiyah di Mocopat Syafaat juga forum Maiyahan lainnya ibarat buah mangga. Dengan informasi yang dijelaskan oleh Mas Helmi tadi, Mbah Nun menegaskan bahwa proses lahirnya Maiyahan itu penuh dengan perjuangan dan penderitaan, terutama yang mengalaminya adalah personel KiaiKanjeng itu sendiri.
Pak Bobiet malam itu mengisahkan loro-lopo-nya personel KiaiKanjeng saat itu, dimana media komunikasi sangat terbatas. Ketika Mbah Nun di Jakarta, kemudian meminta personel KiaiKanjeng untuk segera berangkat ke Jakarta, alat komunikasi yang ada hanyalah sebuah telepon rumah di Rumah Patangpuluhan. Kebetulan Pak Bobiet saat itu sudah memasang telepon juga di rumahnya. Maka siapapun yang tinggal di Rumah Patangpuluhan, jika mendapat informasi dari Mbah Nun mengenai acara yang akan dihadiri, akan diinformasikan kepada Pak Bobiet. Kemudian, Pak Bobiet menyambangi personel KiaiKanjeng yang lainnya, satu per satu, saat itu juga. Karena bisanya, ketika Mbah Nun menyampaikan informasi, maka keesokan harinya, personel KiaiKanjeng sudah harus berangkat menuju lokasi acara. Termasuk moda transportasi, seketika itu juga Pak Bobiet mencari kendaraan untuk disewa untuk digunakan.
Jangan dibayangkan tentang kenyamanan apalagi jika dibandingkan dengan hari ini. Diceritakan Pak Bobiet, karena memang kondisi yang masih terbatas, kendaraan yang digunakan untuk ditumpangi oleh personel KiaiKanjeng juga digunakan untuk mengangkut alat musik dan Gamelan KiaiKanjeng. Perjalanan jauh Yogyakarta-Jakarta, umpel-umpelan personel KiaiKanjeng dengan alat-alat musiknya.
Baru kemudian, kondisi perlahan menjadi lebih baik. Mbah Nun pernah membelikan pager untuk kemudahan koordinasi dan persebaran informasi saat itu. Selang beberapa waktu kemudian, Bu Via juga membelikan handphone untuk personel KiaiKanjeng, karena memang saat itu jadwal acara yang harus dihadiri oleh Mbah Nun tidak bisa ditebak, tidak seperti sekarang yang bisa dijadwal jauh-jauh hari. Sering terjadi, Mbah Nun dalam satu hari menghadiri acara di beberapa tempat. Tidak jarang, personel KiaiKanjeng menata alat-alat musiknya saat acara sudah berlangsung, karena memang sebelumnya hadir di acara yang lain.
Termasuk salah satu perjalanan yang mencekam adalah saat di Banyuwangi sedang ramai kasus dukun santet. Saat di tengah perjalanan di sebuah hutan, rombongan personel KiaiKanjeng dicegat oleh beberapa orang, karena saat itu kendaraan dari luar Banyuwangi akan dicurigai. Alhamdulillah, saat itu Pak Bobiet bisa membuktikan bahwa rombongan tersebut adalah rombongan personel KiaiKanjeng yang sudah ditunggu oleh Mbah Nun di sebuah lokasi pengajian. Segerombolan orang yang tadinya mencegat, justru kemudian mengawal kendaraan KiaiKanjeng hingga lokasi acara pengajian.
Pak Nevi kemudian menambahkan catatan sejarah, bahwa selain di Kasihan, forum Maiyahan di Yogyakarta diselenggarakan secara rutin bahkan beberapa kali dalam sebulan, terbatas hanya Mbah Nun dan personel KiaiKanjeng bergiliran di rumah personel KiaiKanjeng, yang saat itu dimulai dari Kadipiro.
Pak Joko Kamto sedikit menambahkan perjalanan KiaiKanjeng, bahwa dulu sempat ada Mini KiaiKanjeng yang hanya disi oleh 5 personel. Sempat juga bertransformasi menjadi Kanjeng Sepuh. Bahkan, menurut Pak Joko Kamto, KiaiKanjeng juga pernah bubar, meskipun hanya satu hari. Karena setelah itu masing-masing personel berembug dan menanting dirinya masing-masing setelah mengidentifikasi persoalan yang dihadapi saat itu.
Berproses kemudian, perjalanan Maiyah dikenal dengan Pengajian Tombo Ati, yang diambil dari salah satu nomor KiaiKanjeng pada album Kado Muhammad. Mas Yoyok kemudian menambahkan bahwa setiap Album yang dilahirkan oleh KiaiKanjeng memiliki catatan peristiwanya masing-masing. Seperti Album Maiyah Nusantara misalnya, adalah sebuah album yang lahir setelah peristiwa KiaiKanjeng bubar hanya satu hari yang diceritakan oleh Pak Joko Kamto sebelumnya.
“Sebenarnya ada beratus-ratus cerita yang bisa dikisahkan, mulai dari yang indah sampai yang konyol-konyol”, Mbah Nun merespons cerita-cerita dari personel KiaiKanjeng yang sebelumnya diceritakan. Ditambahkan oleh Mbah Nun, apa yang sudah diceritakan oleh beberapa personel KiaiKanjeng adalah dalam rangka kita memahami asal-usul sejarah KiaiKanjeng dan juga Maiyah itu sendiri. Menurut Mbah Nun, Maiyahan ini disebut pengajian ya bisa, disebut gerakan shalawat juga bisa, disebut forum rakyat pun bisa, disebut mimbar bebas juga bisa, tetapi muatan dari Maiyah itu sangat multi dimensi ilmu. Karena di Maiyah, menurut Mbah Nun, kita menjadi manusia inklusif, kita menjadi manusia Muhammad, kita menjadi manusia yang merangkum ciptaan Allah degan apresiasi dan kasih sayang.
Sedikit mundur, Mbah Nun mengisahkan peristiwa “Lautan Jilbab”. Bagi Mbah Nun, perjuangan “Lautan Jilbab” itu skalanya lebih kecil dibandingkan dengan Maiyah. Berawal dari pementasan puisi di Sanggar Shalahudin UGM, kemudian berlanjut dipentaskan di Surabaya, Madiun, dan Makassar. Dengan variabel peristiwa tambahan; di mana Mbah Nun melawan pelarangan penggunaan jilbab yang dialami oleh karyawan-karyawan toko milik etnis China di Jogja, hingga Mbah Nun terlibat dalam proses persidangan pegawai negeri yang disidang karena mengenakan jilbab saat itu.
Namun, benih yang ditanam oleh Mbah Nun saat itu bisa kita saksikan hari ini, bagaimana perempuan muslim di Indonesia memiliki kemerdekaannya untuk berhak mengenakan Jilbab. Yang perlu kita catat bersama adalah bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Mbah Nun sejak saat itu, bahkan jauh sebelum Maiyah itu lahir, Mbah Nun memperjuangkan nilai-nilai yang memang layak untuk diperjuangkan tanpa ada pamrih apapun. Murni untuk memperjuangkan nilai.
Dari diskusi sesi awal Mocopat Syafaat edisi Januari 2023 ini saja, kiranya ada banyak sekali hikmah yang bisa kita ambil sebagai pelajaran hidup dan juga untuk menjadi bekal menghadapi dinamika kehidupan di hari-hari kedepan. Tahun politik di depan mata, mau tidak mau kita akan bersenggolan dengan hal itu. Melalui Maiyahan, kita ndeder diri kita masing-masing agar selalu waspada dan siaga sehingga kita tidak ikut terseret arus dalam dinamika yang penuh dengan silang sengkarut ini.