Meski Cuaca Dingin, Jamaah Maiyah Solo Raya Tetap Tawashshulan
Oktober datang. Pancaroba tiba. Hari-hari diguyur hujan deras, disertai angin kencang. Rata—–dimana-mana. Senin (10/10/2022) acara Tawashshulan Solo Raya edisi kedua digelar di tempat dan waktu yang sama. Masjid Wisanggeni, Gatak, Sukoharjo, menjadi titik lokasi. Sejak siang awan hitam berarak. Pekat. Tak perlu menunggu lama, banyu langit pun tumpah ruah ke tanah. Basah.
Rencana kami untuk datang ke lokasi siang hari tertunda. Hujan, petir, dan hawa dingin bikin ciut nyali. Rasa aras-arasen muncul. “Udan-udan ki penake yo kruntelan ning kamar”, begitu hati kecil berbisik. Namun pikiran tak menyetujuinya. Apapun kondisinya, kami harus berangkat. Dengan sangu Bismillah, bakda Maghrib kami gas menuju Wisanggeni.
Faktor cuaca nyatanya cukup berpengaruh. Jamaah yang hadir di acara Tawashshulan Solo Raya jilid 2, tidak lebih banyak dari edisi perdana. Tak apa. Seperti yang telah dipesankan oleh Mbah Nun, dan juga Mbah Pur, mau banyak atau sedikit jamaah yang datang, Tawashshulan harus tetap istiqomah jalan.
Pukul delapan lewat, Mas Islamiyanto ditemani rekan panitia naik ke panggung. Tidak ada raut lelah dan wegah (malas) di wajah beliau. Padahal semalam beliau habis Maiyahan bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng di Jepara. Perihal istiqomah, Mbah Nun dan bapak-bapak KiaiKanjeng adalah teladan sempurna. Jiwa pelayan sejati. Dan rasanya malu semalu-malunya jika kita (terutama saya) Jamaah Maiyah kok malas-malasan, nglokro, dan kakehan alesan.
Sebelum memulai tawashshulan, Mas Islami menghaturkan terimakasih kepada seluruh Jamaah yang hadir. “Adem-adem ngene, panjenengan kersa rawuh untuk menyapa Allah, para Malaikat, dan Kanjeng Nabi. Mugi-mugi Gusti Allah remen, kabul sedaya hajat”, jamaah mengaminkan serentak. Tawashshulan edisi kedua Oktober ini bertepatan dengan malam ke-15, Rabiul Awal. Bulan agung kelahiran Kanjeng Nabi. Untuk itu, Mas Islami mengajak para jamaah untuk bertawashshul, berdzikir, berwirid, bershalawat kepada Kanjeng Nabi dengan hati yang mawas dan ikhlas.
Sekira 1 jam, jamaah khusyuk merapal ayat, menggemakan shalawat. Suasana yang adem menjelma sejuk dan hangat. Rampung tawashshul, sahabat sekaligus guru Mas Islami yakni KH. Ahmad Hafidz M.Ag diundang bergabung naik ke panggung. Beliau adalah dosen UIN Surakarta. Menyinggung tentang Maulid Nabi, Yai Hafidz mengatakan, “Ora enek enteke pak, bu, kita mengingat-ngingat Kanjeng Nabi. Maksudnya, Kanjeng Nabi itu laksana samudera ilmu. Banyak sekali intan mutiara yang bisa kita temukan dengan cara menyelami dan mendalami perangai beliau.”
Kemudian Yai Hafidz menjelaskan sebuah qasidah yang isinya menceritakan tentang sosok Kanjeng Nabi. Berikut baitnya.
محمد بشر لا كالبشر بل هو ياقوت بين الحجر
“Muhammadun basyaru laa kal basyari bal huwa yaaquta bainal hajari”. Nabi Muhammad adalah manusia, tetapi tidak seperti manusia biasa. Ia bagaikan intan diantara bebatuan.”
Dalam qasidah tersebut, Kanjeng Nabi diumpamakan laiknya batu intan. Ia tampak cemlorot (berkilau) diantara hamparan, serakan, dan tumpukan batu-batu hitam. Begitulah perumpamaan sekaligus fakta Kanjeng Nabi. Muhammad adalah Nur. Cahaya yang mencahayai semesta.
Di sela diskusi, Mas Is mencairkan suasana dengan mengajak jamaah bersenandung. Mereka dibagi 3 kelompok untuk menyanyikan nomor lir ilir, ya thoyibah, dan sholawat badar, secara bersamaan. Musiknya sama, tapi liriknya beda-beda. Masing-masing kelompok menyanyikan lagu sesuai instruksi. Ada yang tepat, ada juga yang kurang tepat. Meski demikian semua turut bergembira. Hal tersebut merupakan ilustrasi kecil bahwa kita beda itu nggak papa. Boleh. Monggo-monggo saja. Asal ora sak karepe dewe. Kudu manut sama imam di depan. Dan dalam skala hingga urusan apapun, imam terbaik (suri teladan) kita ialah Nabiyullah Muhammad Saw.
Menyambung apa yang dipaparkan oleh Mas Islami terkait imam/teladan, Yai Hafidz menjelaskan bahwa ada 3 tahapan dalam upaya meneladani Kanjeng Nabi. Pertama, taqlid yang berarti mengikuti dengan prinsip pokoknya mengikuti. Yang kedua, ittiba’ yakni mengikuti dan mengetahui sumber ilmunya, baik dari dalil Al-Quran maupun hadits Nabi. Dan ketiga, ijtihad artinya usaha sungguh-sungguh untuk mengikuti, mengumpulkan sebanyak-banyaknya sumber ilmu, kemudian mengembangkannya dengan pertimbangan matang dan kebijaksanaan, sampai mendapatkan manfaat dari ilmu tersebut.
Taqlid, ittiba:, ijtihad adalah sebuah proses. Tahapan naik kelas. Untuk menempati posisi mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) tidak bisa dicapai secara instan atau tiba-tiba. Melainkan harus aktif memperdalam ilmu (mengolah, mengembangkan, menjadikan manfaat) dengan cara istiqomah sinau. Sinau kepada guru, kiai, mursyid, dan para masyayikh. Dengan jalan tawashshulan dan Sinau Bareng (Maiyahan) yang kita ugemi selama ini, semoga kita memperoleh rahmat Allah untuk diperkenankan gondhelan bahkan rangkulan dengan manusia intan bernama Muhammad Saw.
Malam kian temaram. Suara magis Mas Is melantunkan Syiir Tanpo Waton mengelus-elus perasaan. Mengantar jamaah menuju pungkasan. Tepat pukul 11 malam, acara Tawashshulan dipuncaki doa bersama. Yai Hafidz memimpin, jamaah menyahut dengan amin, amin, Ya Rabbal ‘alamiin.
10 – 12 Oktober 2022