Merefleksikan Viralnya Mbah Nun
Beberapa hari setelah viral omongan Mbah Nun soal Fir’aun di BangbangWetan, saya pelan-pelan belajar dari peristiwa ini. Sebab, datangnya peristiwa tentu ada hikmah atau pelajaran yang pastinya bisa dipelajari.
Bergantung penerimanya. Kadang ada yang bisa mengambil hikmah, kadang juga sulit, karena sudah terlanjur didahului kedengkian, sehingga pelajaran itu terlewat begitu saja.
Terlepas dari benar salah, baik buruk, dan pantas tidaknya, Mbah Nun pun sudah meminta maaf dan sedikit menjabarkan duduk permasalahannya di YouTube. Kemudian didetailkan lagi di Mocopat Syafaat dan dilengkapi dengan penjelasan Sabrang yang menurut saya sangat kompleks.
Dari peristiwa ini saya mulai sadar, betapa banyaknya orang yang ingin menyerang Mbah Nun. Terlebih di kalangan para aktivis, ulama’, akademisi, dan lain sebagainya. Seolah-olah ini momen pas untuk menyerang Mbah Nun. Bahkan mungkin bagi sebagian orang, rasanya tidak enak kalau tidak ikut andil dalam peristiwa ini.
Mirisnya lagi, kenapa budaya kita seakan-akan senang kalau ada orang salah. Kesalahan sudah sama seperti nasi tumpeng yang dijadikan rebutan orang-orang kelaparan. Semua berusaha sebisa mungkin dapat tumpeng itu, meski hanya secuil.
Tumpeng itu makanan yang lengkap. Ada bermacam-macam lauk pauk. Jika orang mengambilnya lengkap, maka akan terasa kelezatannya. Tetapi kebalikannya, jika orang hanya mengambil secuil, maka ia hanya bisa merasakan sedikit kelezatan dari tumpeng itu. Sama halnya dengan kasus ini. Banyak orang hanya mengambil secuil. Ia tidak bisa menangkap secara lengkap dari sumber masalahnya.
Makanya, ini soal penerimaan. Tidak semua orang bisa menerima peristiwa dengan baik. Belum tentu orang pengalamannya banyak, bisa menerima dengan baik. Begitu juga sebaliknya, belum tentu orang berpengalaman sedikit, tidak bisa menerima. Yang bisa menilai secara arif bijaksana hanya dirinya sendiri, dengan kadar kualitas diri yang dimiliki.
Saya yakin, hampir semua jamaah Maiyah pasti tahu sedikit tentang banyak hal dari Mbah Nun. Peristiwa semacam ini bukan pertama kali terjadi. Kasus Lapindo, Reformasi, bahkan sampai detik ini, isu-isu semacam itu masih digaungkan. Parahnya lagi, isu Mbah Nun sebagai simpanan Cendana pun tak lupa dilemparkan begitu saja.
Untuk kadar pengetahuan tahu sedikit tentang banyak hal, saya hanya bisa husnudzon terus-menerus kepada Mbah Nun. Karena selama ini, secara tidak langsung, Mbah Nun memberi dampak positif yang begitu besar dalam hidup saya.
Beliau tidak mau disebut ulama’, tapi sepanjang hidupnya, sering dijadikan rujukan banyak orang untuk bertanya tentang masalah spiritualitas. Banyak yang tidak mengakui dia sebagai sastrawan, tapi tulisan sastra, teater, dan esainya melebihi orang-orang yang mengatakannya.
Bukan sebagai tokoh politik, tetapi sering dijadikan rujukan para politikus. Bukan seorang seniman budayawan, tapi ia berhasil membuat musik Gamelan KiaiKanjeng yang masih berjalan sampai hari ini.
Benar yang dikatakan Mbah Nun, ia hanya figur pelengkap. Kalau butuh, baru orang bertandang menemuinya. Kalau tidak butuh, Mbah Nun ditinggal. Menunggu momen yang amat genting untuk mereka kembali lagi. Bahkan bisa pula, sama sekali tidak diharapkan.
Terlebih, dari peristiwa ini, saya lebih banyak melihat bagaimana tingkat kedewasaan masyarakat kita yang jauh dari kata bijaksana dalam bermedsos. Terutama para orang-orang yang mungkin sudah menunggu lama peristiwa ini. Sehingga, ketika tumpeng datang, semua orang di sekitarnya berebut ikut mengambil. Tidak peduli siapa dia, baik tukang cendol, sate, kuli bangunan, ulama’, Kyai, guru, dan lain-lain.
Untuk mengambil tumpeng, tidak perlu sekolah jauh-jauh. Kalau soal siapa yang banyak, bergantung siapa yang dapat duluan. Kakau soal siapa yang bijak? Yang bijak adalah dia yang bisa menyikapi apa yang datang pada dirinya, meski secuil.