MENYUSURI SEJARAH “AI LOVE U”
(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Sulthon Penanggungan Pasuruan Edisi Juni 2023)
Intensitas bertemu antar penggiat Sulthon Penanggungan cukup rapat sejak syukuran tawashshulan 70 Tahun Mbah Nun yang diselenggarakan live serentak oleh simpul maiyah se-Nusantara dan di pojok-pojok belahan bumi lainnya. Semoga ini menjadi pertanda baik sebagai tumbuhnya semangat kebersamaan. Sejak hari itu bara semangat memang tak pernah padam hingga kegiatan sinau bareng pegiat Maiyah Pasuruan Sulthon Penanggungan (SP) diselenggarakan (Sabtu, 24 Juni 2023).
Backdrop bambu dengan lampu estetik berlogo SP hasil karya bersama menjadi sebuah pemantapan untuk meneguhkan perjalanan istiqamah merawat nilai-nilai Maiyah. Acara dimulai dengan pembacaan Al-Qur’an Surat Ar-Rahman oleh Cak Lukman, kemudian dilanjutkan bershalawat dengan iringan terbang khas para penggiat Sulthon Penanggungan.
Penabuh dan pembawa lantunan shalawat sungguh bersemangat walaupun sedikit berkeringat. Setelahnya dilanjutkan doa-doa khidmat mulai dari doa Khotmil Qur’an, wirid Padhangmbulan, hingga sedekah surat Al-Fatihah kepada para orang tua dan lingkar terdekat penggiat yang sedang berjuang melawan sakit agar diberi kekuatan dan kesembuhan.
Sang moderator Cak Hasan sudah mempersiapkan diri menyambut para jamaah yang sudah tegap bersila memadati hampir seluruh lingkar keliling OTES “Omah Tengah Sawah” dengan nuansa bambu dan lampu sorotnya. Tidak lama kemudian Cak Hasan mengutarakan sapa dan menggarisbawahi tema yang akan akan dipaparkan oleh kedua pemateri berikutnya.
Cak Umar sebagai pemateri pertama membuka cakrawala tentang Artificial Intelligence (AI) yang terkait dengan sejarahnya, bahwa ternyata pelopor sistem robotika pertama adalah seorang muslim yang juga sebagai penulis buku makrifat asal Abbasiyah, Turki selatan bernama “Ibnu Al Razaz Al Jazari”. Bahwa embrio kecerdasan buatan AI sudah berlangsung beberapa abad silam dan yang sekarang berlangsung adalah bentuk pengembangannya. Kita tidak perlu takut, namun harus tetap waspada. Seperti burung yang hinggap di ranting yang kapan saja bisa patah, namun si burung tidak pernah gelisah karena burung lebih percaya pada kekuatan terbang sayapnya bukan pada ranting yang dipijaknya. Demikian Cak Umar saat menganalogikan seekor burung dan ranting pohon.
Kemudian dilanjutkan oleh Mas Luthfi sebagai pemateri kedua terkait maraknya Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang sudah berlaku di setiap aspek kehidupan. Beliau mendasarinya dengan mengutip penggalan ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 29 yang artinya “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu…”. Ringkasnya bahwa tidak ada di dunia ini yang tidak bermanfaat. Tinggal kita sebagai manusia yang berakal memilihnya untuk dijadikan sesuatu yang bermanfaat pula atau malah menjerumuskan kita pada lubang-lubang dosa. Kemudian beliau menjelaskan pengertian-pengertian dasar AI dan yang menarik adalah beliau banyak menuangkan video gambaran teknologi masa kini berbasis AI dengan banyak slide video-video yang unik. Terutama saat mendemokan kecanggihan AI membuat lirik lagu Sulthon Penanggungan. Dengan hanya beberapa detik saja, lirik pun sudah tersaji dengan mudah dan indah.
Raut wajah jamaah yang hadir terlihat ke awang-awang melihat paparan betapa canggihnya teknologi yang dipaparkan oleh kedua pemateri. Sebelum dilanjutkan sesi diskusi, Cak Hasan mempersilakan Cak Ulum Si Pemuda Bergitar untuk melantunkan beberapa tembang agar nuansa Sinau Bareng tetap dalam pijakan kegembiraan. Dibantu ketukan instrumen Kajon oleh Cak Umar melalui lagu berjudul “Rungkad” by Happy Asmara yang dinyanyikan oleh Cak Ulum malam itu membuat suasana seolah wungu. Tak habis di situ karena persembahan kedua melalui lagu “Topeng” by Peterpan menjadikan keberjarakan frekuensi menjadi satu nafas kebersamaan kembali.
Menjelang tengah malam, sesi diskusi dibuka oleh Cak Hasan. Beberapa pemantik pertanyaan dari jamaah memberi outline penekanan yang hampir seragam terkait mempersiapkan generasi muda bahkan anak kita sendiri dengan teknologi yang semakin beringas dan menembus batas menerjang zaman. Dari sudut pandang Mas Luthfi, saling mengingatkan bahwa sebagai orang tua yang mungkin kesulitan mensejajarkan SDM yang dimiliki dengan teknologi hari ini, harus tetap mengikuti perkembangannya. Minimal ‘ngincipi’ atau mengikuti sebisa mungkin agar tidak terlalu tertinggal jauh oleh zaman. Dan orang yang paling bisa bertahan adalah mereka yang adaptif pada segala perubahan zaman. Kemudian Cak Umar memberi pernyataan sedikit untuk bersama-sama menguatkan hati sebagai hamba, bahwa nalar manusia sungguh terbatas. Namun skenario Tuhanlah yang tak terbatas.
Diskusi pun berakhir, kemudian bersama-sama menggemakan “Hasbunallah Wani’mal Wakil, Ni’mal Mawla Wani’man Nashir” yang selanjutnya ditutup doa oleh Cak Taufiq.
(Redaksi SP)