MEMBACA SEJARAH SURABAYA DAN MERUMUSKAN MAKNA PAHLAWAN

(Liputan Majelis Ilmu Bangbang Wetan Surabaya edisi November 2022)

Majelis Ilmu Bangbang Wetan edisi November telah berlangsung pada Minggu malam (20/11/2022) di Royale Durian, Medokan Semampir, Sukolilo, Surabaya. “Infiltrasi Pseudo-Epic” adalah Majelis Ilmu Bangbang Wetan rutinan kali ini.

Dalam cuaca mendung siang hari, teman-teman penggiat mempersiapkan acara dengan datang lebih awal dari biasanya. Ditemani rintik hujan yang mulai turun, mereka mulai memasang backdrop panggung, memasang beberapa banner bertuliskan, per bagiannya,  “Matahari Memancar dari Timur. Orang-orang Perlu Berkumpul di Timur. Yang Dinanti-nanti Muncul dari Timur. Untuk Menguak Rahasia Bangun dari Tidur”. Banner per bagian kalimat itu di pasang di setiap sisi terop jamaah. Keempat kalimat yang beberapa tahun yang lalu rutin dipasang itu merupakan usulan Mbah Nun. Menurut Mbah Nun keempat kalimat itu merupakan doa beliau, dengan harapan semoga senantiasa kita baca dan kita ingat, minimal satu bulan sekali di setiap berlangsungnya Majelis Ilmu Bangbang Wetan. 

Selain itu, teman-teman juga menata stan yang ideal untuk Buletin Maiyah Jatim dan Kalender Maiyah 2023. Buletin Maiyah Jatim yang diwakili oleh Fajar Wahyoko, Selaku Pimpinan Redaksi baru memperkenalkan kembali BMJ di Majelis Ilmu Padhangmbulan. Pada Majelis Ilmu Bangbang Wetan, Yasin mewakili Fajar Wahyoko yang berhalangan hadir juga memperkenalkan kembali BMJ kepada jamaah yang hadir. Setelah 2-3 tahun terakhir BMJ jeda produksi selama pandemi. 

Berikutnya, Yasin selaku moderator majelis, menjelaskan maksud tema “Infiltrasi Pseudo-Epik”, yang berangkat dari keresahan tim tema melihat momentum peringatan hari pahlawan yang oleh kebanyakan orang diperingati hanya berhenti pada seremonial semata. Sementara  prolog tema mengatakan, “Kemudian muncul pertanyaan, apakah kita hanya merayakan? Sekadar ikut upacara? Ikut berbusana ala pahlawan untuk konten di medsos? Jangan-jangan anak sekolah yang berpakaian polisi saat upacara Hari Pahlawan tidak tahu Bung Tomo itu siapa. Sujiwo Tedjo dalam Jurnal Integrito tahun 2015 menyatakan bahwa menjadi nasionalis sejati bukan karena menghafal puluhan lagu kepahlawanan, bukan pula karena mengenakan pakaian yang dipenuhi lambang-lambang patriotisme. Cukup dengan menjaga lingkungan, menjaga keamanan sekitar, bersikap toleran, hal-hal kecil tapi bermakna. Termasuk mempelajari, menggali nilai-nilai luhur para pahlawan, syukur kalau bisa merawat dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.”

Sejarah Surabaya

Menurut Yasin, salah satu cara menggali nilai-nilai luhur para pahlawan adalah dengan belajar sejarah. Pada malam itu, Pak Tri Priyo Wijoyo, dari komunitas Begandring Soerabaia, berbagi pengetahuan tentang sejarah Surabaya. Pak Wijoyo menyampaikan dirinya lebih fokus pada sejarah masa klasik. Masa klasik merupakan periodesasi zaman kerajaan. Melengkapi penjelasannya, beliau menampilkan beberapa slide gambar visual “Soera ing Baja”, yang ditampilkan pada layar proyektor. 

Pak Wijoyo memulai penjelasannya tentang sejarah Surabaya. Bahwa di Surabaya pernah terjadi peristiwa heroik besar pada 10 November 1945, yang sampai saat ini diperingati sebagai hari pahlawan. Surabaya dijuluki sebagai Kota Pahlawan. Pada bulan November juga di Surabaya masa lalu berdiri sebuah peradaban kerajaan besar yang bernama Majapahit. Kerajaan Majapahit berdiri pada saat Raden Wijaya menobatkan dirinya sebagai raja Majapahit pertama yang bergelar Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardana, pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.

Surabaya diidentikkan dengan ikan sura (hiu) dan baya (buaya), karena pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Surabaya banyak digunakan lambing ikan hiu dan buaya. Jejak peninggalannya masih terlacak. Beberapa lambang lama Surabaya bisa kita temukan di Gedung Syahbandar Tanjung Perak dan Gedung SMA Trimurti Surabaya, yang dahulu sebelum menjadi gedung sekolah merupakan gedung museum Surabaya. Pak Wijoyo menyayangkan kenapa lambang Surabaya sekarang dibuat ikan hiu dan buaya mbulet seakan-akan mengambarkan sedang kejar-kejaran. Padahal kalau melihat lambang lama pada masa kolonial Belanda, ikan hiu dan buaya berada sejajar atas bawah. 

Menurut Pak Wijoyo, lambang Surabaya berasal dari pertarungan ikan hiu dan buaya hanyalah dongeng yang berkembang di masyarakat. Berdasarkan literatur, Pak Wijoyo menemukan alasan Surabaya menggunakan lambang ikan hiu dan buaya yakni karena pada tahun 1800-an, ada salah satu grup band terkenal Hindia Belanda, yang pada waktu itu pada bass drum-nya terdapat lambang ikan hiu dan buaya. Pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda, pada 1 April 1906, membentuk gemeenten (kota praja) Surabaya, berbarengan dengan Malang, Pasuruan, dan beberapa kota lainnya. Pada waktu itu yang menjabat sebagai Burgemeester Soerabaia atau Walikota Surabaya pertama adalah Meener A Meyross, merupakan warga negara Belanda. 

Pak Wijoyo, yang murah senyum dan sesekali melempar jokes yang mengundang tawa jamaah, menyatakan dalam pencariannya pada beberapa naskah kuno tidak menemukan kata sura yang artinya ikan hiu. Beliau menemukan titik terang dalam naskah Ramayana berbahasa jawa kuno, tertulis kalimat, “wuhaya len hyu maso marebut daging” (buaya dan hiu saling berebut daging). Di dalam naskah itu hiu disebut dengan kata hyu bukan sura. Jadi kata “sura” dan “bhaya” sendiri merupakan bahasa sansekerta. Sura berarti berani dan bhaya berarti bahaya. Jadi Surabhaya mengandung arti berani bahaya atau berani dari segala bahaya. Spirit itu menurut Pak Wijoyo, saat ini diteruskan salah satunya oleh Bonek dengan semboyan “WANI!!!”.

Pada zaman H. Soeparno sebagai Walikota Surabaya, tertanggal 18 Maret 1975, diputuskan bahwa tanggal 31 Mei 1293 merupakan hari jadi kota Surabaya. Merujuk peristiwa kemenangan Raden Wijaya mengusir pasukan Tar-tar dari Hujung Galuh (Surabaya). Surabaya juga disebutkan dalam Prasasti Canggu (Trawulan 1) pada 1280 Saka atau 1358 Masehi, zaman pemerintahan raja Majapahit ke 4, Sri Rajasanagara atau biasa dikenal Hayam Wuruk. Prasasti Canggu itu menjelaskan tentang penganugerahan Sima (status istimewa yang diberikan oleh raja kepada desa karena berjasa besar kepada raja atau karena mendapat tugas khusus dari raja) dari Raja Hayam Wuruk kepada desa-desa tepian sungai yang bejasa atas penambangan. “…i Gsang, i Bukul, i Curabhaya, muwah prakaraning naditiro pradeca sthananing”. Curabhaya sekarang dikenal sebagai Surabaya, Gsang sekarang dikenal sebagai Pagesangan Surabaya dan Bukul sekarang dikenal sebagai Bungkul Surabaya. Surabaya juga disebutkan dalam Kakawin NagaraKretagama pada 1287 Saka atau 1365 Masehi, pupuh 17;5, “… yan ring Janggolo lot sabha nrpati ring Curabhaya manulus mare Buwun…”(kalau di Jenggolo, Baginda selalu singgah di Curabhaya. Lalu meneruskan ke Buwun). 

Pak Wijoyo menyampaikan bahwa banyak yang mengira Surabaya itu dulunya adalah Hujung Galuh. Padahal itu dua konteks yang berbeda. Cerita mengenai Hujung Galuh bisa ditemui pada Prasasti Kamalagyan yang terletak di dusun Klagen, desa Tropodo, Krian, Sidoarjo. Prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga sebelum masa Majapahit, tertulis angka tahun 959 Saka atau 1037 Masehi. Prasasti Kamalagyan-lah yang menyebutkan pertama kali Hujung Galuh. 

Pada prasasti tersebut tertulis cerita mengenai solusi untuk mengatasi banjir, karena banyak desa-desa yang kebanjiran, maka raja Airlangga mengambil kebijakan untuk membangun dawuhan atau bendungan. Setelah dibangun bendungan itu, rakyat bersuka cita dengan mengungkapkan, “sabaddhapageh huwus pepet hilinikang banu, ikang bangawan amatlu hilinyangalor, kapwa ta sukhamanah nikang maparahu samanghulu mangalap bhanda ri Hujung Galuh tka” (kokoh kuat terbendung sudah arus air, dengan demikian sungai bengawan bercabang tiga, mengalir ke utara, maka senanglah hati para tukang perahu atau para pedagang yang menggunakan perahu, ke hulu mengambil muatan atau barang di Hujung Galuh atau biasa disebut pelabuhan sungai). Menurut Pak Wijoyo, dulu memang transportasi banyak lewat sungai, sehingga ada istilah pelabuhan sungai.

Pangeram-eram

Kemudian, Mas Dewo n friend mengiringi perjalanan Mas Sabrang MDP dari transit menuju panggung dengan nomor The Scientist dari Coldplay. Malam itu Mas Sabrang memakai bucket hat, kacamata, dan t-shirt Original Merchandise Bangbang Wetan warna merah maroon, mangajak kita lebih legowo dan menerima bentuk ekspresi orang lain mengenai peringatan hari pahlawan. 

Memperingati kepahlawanan, yang hanya berhenti pada perayaan saja, itu tidak apa-apa, kita harus bisa memahami seseorang sesuai kapasitasnya. Karena kapasitas orang berbeda-beda. Ada manusia yang kualitasnya SD dan ada yang SMA. Jika ada yang mengambil sikap meneladani pahlawan dan mencontoh perilakunya itu juga baik. 

Mas Sabrang tidak mempermasalahkan orang yang memperingati kepahlawanan hanya berhenti pada perayaan, karena manusia sebenarnya sering butuh upacara-upacara di dalam hidupnya. Pada pasangan laki-laki dan perempuan yang sudah saling sayang, kurang mantab menjalani hubungan sebelum ada upacara yang menyatakan saling mencintai. 

Upacara-upacara itu kalau meminjam istilahnya Pak Toto Raharjo adalah pangeram-eram. Pangeram-eram adalah sebuah kembang api yang mengingatkan kita terhadap pentingnya sesuatu. Merasa lebih signifikan dengan itu, sebab orang mempunyai caranya sendiri-sendiri. 

Peran Pahlawan dan Penjahat

Pertanyaan berikutnya, apa itu pahlawan? Kalau mau dipetakan lebih dalam, gampangnya semua orang bisa jadi pahlawan, tetapi juga semua orang bisa jadi penjahat. Menurut Mas Sabrang, kita pasti mengalami “pahlawan” dan “penjahat” dalam hidup kita. Konsep pahlawan itu misalnya, dalam suatu tujuan, apakah orang yang membantu atau mempertahankan demi mencapai tujuan itu disebut pahlawan? Dan yang menghalangi tujuan tersebut disebut penjahat? Sesederhana itu sebenarnya konsep tentang pahlawan. Pahlawan itu yang berperan besar terhadap tercapainya suatu tujuan, dengan skala yang berbeda-beda, dari pribadi sampai institusi negara. 

Pahlawan nasional adalah konsep dasar tersebut yang kawin dengan tujuan institusi negara. Sebuah tujuan yang diakui oleh negara dan dianggap yang kita setujui bersama, misalnya tujuan kemerdekaan. Kita semua setuju tujuan kita pada era penjajahan adalah kemerdekaan, maka siapa saja yang membantu kemerdekaan dianggap sebagai pahlawan dan yang menghalangi disebut sebagai penjahat. 

Kalau dalam level personal, tidak cukup mudah menemukan pahlawan dan penjahat. Sebab setiap pahlawan menghasilkan penjahat juga. Misalnya ketika Si A dan B teman kita itu sedang memperebutkan perempuan yang sama. Jika kita membantu si A disebut pahlawan bagi si A dan dianggap penjahat bagi si B, begitu juga sebaliknya. 

Hampir di semua film diceritakan bahwa yang memimpin perubahan disebut penjahat dan yang mempertahankan keadaan disebut pahlawan. Misalnya pada film The Dark Knight, pada alur ceritanya ada dua peran, pahlawan dan penjahat.  Tokoh yang memimpin perubahan itu Joker, sedangkan yang mempertahankan keadaan itu Batman. Berasal dari asumsi bahwa keadaan yang dipertahankan Batman lebih baik daripada perubahan yang dilakukan Joker. 

Lantas apa yang patut kita teladani dari pahlawan? Mas Sabrang mengajak kita untuk menuju tujuan kita masing-masing. Misalnya ada seribu orang berjuang, tiba-tiba ada ketokohannya lebih dominan dari yang lain. Dominan ketokohan itu disebabkan karena ia yang mendeklarasikan atau yang menjadi komandan. Tetapi bukan berarti yang membuat an menyuguhkan wedhang kopi itu tidak pahlawan. Tetapi kalau pada level negara, yang dianggap membantu dan nyambung dengan tujuan besar negara itu yang menjadi komandan. 

Misalnya pada kepahlawanan Jenderal Sudirman.  Jenderal Sudirman merupakan pahlawan negara, dan pasukan yang membantu menandu Jenderal Sudirman yang mengalami sakit tuberculosis ketika melakukan Perang Gerilya di Pacitan 1948-1949 itu sebenarnya juga pahlawan, dalam skala personal, membantu Jenderal Sudirman. Jadi, Jenderal Sudirman adalah pahlawan negara, pasukannya adalah pahlawan pada posisi masing-masing. 

Cara Belajar Sejarah

Mas Acang juga ikut bertanya kepada Mas Sabrang, tentang konsep kepahlawanan yang dikaitkan dengan nilai-nilai kepahlawanan, dan nilai-nilai kemanusiaan jika pahlawan itu dinisbahkan pada sosok. Menurut Mas Sabrang, yang paling dibutuhkan peradaban, orang, kelompok, maupun negara adalah belajar tentang sejarahnya. Belajar sejarah itu sangat penting. Tetapi jangan dibayangkan pelajaran sejarah. Menurut Mas Sabrang yang dimaksud sejarah adalah kita tahu kenapa kita berada di sini, mempunyai cara berpikir yang begini dan percaya yang benar dan yang salah itu begini, dst. 

Kalau sejarah sangat lebar, kita perlu mensimplikasi cara belajar sejarah, tidak harus tahu sejarah semua, tetapi tahu inti-inti dari sejarah, makanya dibutuhkan pahlawan. Pahlawan sebenarnya distilasi dari sejarah yang panjang. Kemudian, kita mensimplikasi belajar kepada pahlawannya saja. Karena pahlawan bagian penting dari sejarah, walaupun tidak semuanya. 

Seperti cerita tentang kepahlawanan Jenderal Sudirman, pasukan yang menandu beliau tidak kalah pentingnya. Pasukan yang menandu tidak kalah istiqamah dengan Jenderal Sudirman dalam perjuangan membela negara, sebab istiqamah menandu Jenderal Sudirman dalam menjalankan misinya Perang Gerilya. Kalau kita mempelajari siapa saja nama pasukan yang menandu Jenderal Sudirman beserta sejarahnya masing-masing kita akan pusing sendiri, maka dari itu perlu ada simplikasi-simplikasi dan distilasi-distilasi sehingga muncullah konsep pahlawan-pahlawan, sebagai titik pusat-pusat yang minimal itu terlebih dahulu dikenal dan dipelajari untuk melanjutkan belajar sejarah yang lebih detail. 

Pada era modern, sebenarnya juga muncul pahlawan-pahlawan baru pada konstelasi yang berbeda. Karena nation state-nya pada era modern tidak begitu dominan. Misalnya kita sekarang lebih kenal Elon Musk dan Steve Jobs daripada mengenal siapa saja muridnya HOS Tjokroaminoto. Karena kehidupan yang kita alami sekarang, sangat terpengaruh oleh keputusan-keputusan mereka yang kita kenal. 

Mungkin memang mereka yang kita kenal itu tidak kita angkat sebagai pahlawan, tetapi hadir sebagai kesadaran yang sama di kepala kita sebagai pahlawan, yang terjadi dari distilasi peradaban sekarang ini. Kalau kita ingin memotret peradaban sekarang ini, yang kita potret kan yang melakukan inovasi-inovasi teknologi. Karena kita sekarang hidup di era tekonologi yang sulit kita bisa lepas darinya. Mungkin wajah dan sebutannya berbeda, tetapi konsep pola tentang kepahlawanan itu tetap berjalan.  

Melihat Sejarah dan Titik Tengahnya

Kita mundur melihat sejarah dan melihat poin-poin penting dalam sejarah tersebut. Sehingga muncullah tokoh-tokoh pencipta teknologi itu sebagai pahlawan teknologi internasional. Walaupun tidak disebut sebagai pahlawan, tetapi kehadirannya seperti pahlawan, karena kita ingat terus-menerus.

Menjawab pertanyaan Barat dan Timur, “Timur sendiri tahu yang penting adalah belajar sejarah agar bermanfaat untuk manusia. Bukan belajar fakta dan nama-nama, sebab apa gunanya menghapal nama-nama kalau kita tidak bisa mengambil pelajarannya,” tegas Mas Sabrang. 

Cerita-cerita di Timur lebih banyak berbicara tentang interaksi manusianya, daripada kebesaran tokohnya. Sedangkan di Barat budaya mencatatnya bagus, yang kemudian muncul cara berpikir reduksionis. Reduksionis adalah cara berpikir sains sehingga ketika melihat pola, yang dilihat adalah titik-titik pentingnya. Sehingga yang muncul adalah pahlawan-pahlawan. Di Barat, soal fakta-fakta sejarah sangat tajam. 

Mas Sabrang berbagi pengalaman, kalau ingin belajar sejarah, intinya yang menang selalu yang tengah. Yang bisa memanfaatkan dua sudut pandang pada tempat yang tepat. Konsep tengah itu sebenarnya kita sudah hapal sejak dulu. Misalnya jika ada dua titik ekstremitas yang berbeda, kita ambil tengahnya dan ditempatkan pada tempat yang tepat. Tetapi terjemahan dari titik tengah itu tidak mungkin bisa pahami, kalau kita tidak tahu polaritasnya. Kita tahu titik tengah jika kita tahu titik ekstremitas kiri, kanan, atas dan bawah. 

Pahlawan bisa kompatibel hanya ketika berada pada zaman atau kondisi yang tepat. Misalnya jika ada pertanyaan kita butuh presiden yang bisa berorasi atau bijaksana? Jawabannya tergantung keadaannya. Pada keadaan perang, kita membutuhkan sosok pemimpin yang bisa membakar semangat. Tetapi pada keadaan stabil, kita membutuhkan orang yang pintar, bukan orang yang provokatif, tergantung keadaanya seperti apa. 

Jadi, memang tidak mudah menemukan titik tengahnya. Butuh orang-orang yang expert dan generalis, dan orang-orang yang expert dan generalis tidak mudah dan tidak banyak di dalam populasi manusia. Kalau sebuah negara gagal mengidentifikasi orang yang bisa memproyeksi masa depan, kemungkinan berhasilnya sangat kecil negara itu untuk beradaptasi. Karena urusannya di dunia ini hanya pada kapasitas adaptasi manusia, sebab keadaan berubah terus. Kita memecahkan semua masalah di dunia, besok pasti muncul lagi masalah. Untuk memecahkan masalah yang ada terus-menerus adalah dengan meningkatkan kemampuan adaptif masyarakat. Sehingga ketika muncul masalah baru, bisa adaptasi menemukan jawaban baru.  

Mas Sabrang dan semua yang hadir setuju bahwa para nabi disebut juga sebagai pahlawan. Sebab dari para nabi bisa kita ambil nilainya seperti pahlawan. Mas Sabrang mengambil kisah Nabi Ayyub AS. Kalau memang disebut pahlawan dan definisi melawan sesuatu demi tercapainya sesuatu, Nabi Ayyub sedang melawan siapa? Pada posisi dirinya terkena penyakit yang menyebabkan keluarnya nanah dari kulitnya dari kepala hingga kakinya, hingga rambutnya pun rontok. Penyakit tersebut dikabarkan adalah penyakit yang menular. Dikatakan bahwa Nabi Ayyub diberi cobaan oleh Allah SWT seperti itu selama 18 tahun. 

“Nilai universal yang bisa saya ambil dari pahlawan dan semua nabi adalah istiqamah pada apa yang dia lakukan. Istiqamah itu tidak memerlukan kondisi khusus, karena semua orang sudah punya kondisinya sendiri-sendiri, dan mempunyai tujuan yang ingin dia capai, sehingga istiqamah terhadap itu,” tegasnya.

Lihat juga

Back to top button