MEMAKNAI KEMBALI KETERASINGAN DIRI

Alhamdulillah, rutinan Pasebanan edisi #94 di bulan Februari 2025 bisa kembali bertempat di Pendopo Desa Pekuwon, Bangsal, Mojokerto. Sesi nderes Al-Quran, Tawashshulan, dan rembug persiapan Milad Paseban Majapahit ke-8, juga berjalan dengan lancar dan khidmat.
Beberapa hal penting sudah disepakati bersama. Hari, tanggal, dan konsep acara, sudah fixed. Semua kebutuhan milad tetap menjadi komitmen bersama. Pre-order Merchandise Milad 8 akan segera dieksekusi awal bulan Maret nanti. Tinggal masalah tempat acara yang belum diputusi bersama. Karena ada beberapa usulan dan pilihan tempat yang berbeda.
Sesi sinau bareng dimulai. Membahas tema tentang “Puasa”. Mentadabburi kembali sebuah esai yang berjudul “Puasa Kaum Ghuraba”, buah karya Mbah Nun.
Ki Lurah, Mbah Samsul, Cak Isa, Cak Novik, Mas Agus, Cak Ikhsan, Cak Roji, Mbak Ifa, Cak Zahid, Cak Sulis, dan Cak Bibit, bergantian mengelaborasi tema. Cak Ronny memoderatori jalannya diskusi. Dulur-dulur yang lain menyimak diskusi malam itu dengan mesra.
Berikut ini ikhtisar tema tentang “Puasa” yang ditadabburi bersama sebisanya:
Silabus Maiyah menjadi satu hal yang patut diapresiasi dan disyukuri bersama. Apapun itu, niat dan tujuannya sudah tentu baik. Semoga selalu bermanfaat bagi dulur-dulur Paseban.
Yang tak boleh terlupakan, tentu saja ucapan terima kasih kepada Mbah Nun, atas luasnya khazanah hikmah kehidupan yang sudah digethoktularkan untuk anak cucu Maiyah. Tugas kita bersama untuk terus berproses, nguri-uri nilai-nilai Maiyah dalam kehidupan kita.
Kalau ibadah puasa Ramadhan, kita jalani sesuai syariat setiap tiba waktunya. Tetapi kalau “puasa kehidupan” adalah usaha tanpa jeda untuk terus berupaya menahan godaan hidup. Tentang bagaimana kita senantiasa nahan kekarepané ati.
Puasa Kaum Ghuraba mengingatkan kita kepada kisah Ashabul Kahfi di dalam Al-Quran.
Biar bagaimanapun juga, orang-orang yang termasuk sebagai Kaum Ghuraba tetap selalu bermanfaat bagi orang lain di sekitarnya. Meski tidak disadari atau diakui oleh orang lain.
Ke-ghuraba-an yang dialami, layaknya orang yang sedang ber-uzlah. Makin mendekatkan dirinya kepada Allah Swt. Puasa kehidupan yang dijalani adalah kesadaran ghuraba.
Menahan lapar dan haus ketika berpuasa Ramadhan juga termasuk nahan kekarepané ati. Persoalan rutinitas peribadatan yang kita jalani adalah persoalan yang sangat pribadi.
Kaum Ghuraba adalah orang-orang yang menuju Tuhan. Keterasingannya memiliki konteks yang berbeda-beda. Tetapi kesejatian hidupnya sama: ihdinashshiratal mustaqim.
Puasa dalam kehidupan adalah tentang satu perjuangan untuk “berpuasa sepanjang zaman, berlebaran di hari perhitungan. Bagaimanapun artinya, kita hayati dan khidmati bersama.
Sebelum zaman Islam, orang-orang kuno di zaman dahulu juga sudah berpuasa. Kuat poso dan kuat laku tirakat. Kaum ghuraba bukanlah orang-orang yang diasingkan oleh zaman.
Keterasingan adalah pilihan. Setiap pilihan yang dijalani, tentu ada konsekuensi yang harus dihadapi. Kalau seseorang sudah paham akan sejatinya kehidupan, sudah tidak akan merasa asing dengan keadaan apapun dalam kehidupannya.
Ingat dhawuh Mbah Nun, “Puasa adalah dosis”. Setiap orang berbeda kemampuannya.
Waktu begitu cepat berlalu. Jam setengah satu. Lantunan sholawat Mahalul Qiyam dan Doa Ihtitam memungkasi pasebanan. Lalu makan-makan. Alhamdulillah. Wasysyukrulillah.
(Redaksi Paseban Majapahit)